22 Jam Terpanjang

Baru-baru ini, aku melalui 22 jam terpanjang yang pernah kurasakan. Pagi itu, semua terasa begitu tergesa-gesa. Aku dan teman-temanku yang lain harus mempersiapkan perjalanan ba’da Subuh kami dari Surabaya menuju Bandung dengan mengendarai Pregio. Sama sekali tidak ada yang buruk dengan semua itu. Hanya saja, pagi itu, kami seolah baru dimuntahkan oleh kelelahan panjang, sehingga tidak ada satu pun dari kami yang bangun Subuh tepat waktu walaupun semua alarm dibunyikan. Aku pun sama sekali tidak mendengar apa-apa, apadahal alaramku berbunyi 4.20 pagi.


Begitu bangun, aku segera wudhu. Setelah shalat Subuh dan menunggu yang lainnya menggunakan kamar mandi, sekarang giliranku. Aku tidak sempat mandi lagi, karena udah sikat gigi sebelum shalat, aku hanya cuci muka. Yah, ini memang bukan persiapan yang baik untuk menempuh perjalanan jauh. Tapi aku tau, waktunya tidak akan cukup bila 5 orang perempuan di kamar itu mandi sebelum berangkat. Aku tidak akan menceritakan siapa selain aku yag tidak mandi—aku bahkan tidak ingat lagi—tapi yang kutau, kami telat. Tidak mandi sebelum perjalanan jauh tak kulakukan tanpa persiapan. Malamnya aku udah mandi, keramas, dan segala macam, jadi gak perlu merasa hm.... Ups. It’s me!

Setelah semua penghuni kaar cewek di rombongan kami telah siap, aku mengecek anak-anak cowoknya. And guess what! Mereka belum pada siap. Hmmph... padahal tadi Subuh, saat ditelepon, mereka bilang udah siap berangkat. Well, kuakui aku ini orangnya sering ngaret, karena aku gak suka nunggu. Makanya, saat menghadapi anak-anak cowok yang telat membuatku menunggu selama 4 kali dalam 5 pertemuan, aku harus sedikit mengelus dada.

Seperti biasa, kalo mereka udah membuatku menunggu beberaoa menit di mobil, itu tandanya mereka harus kujemput. Kali ini pun aku memutuskan untuk menjemput mereka di kamarnya. Oke, suatu kemajuan, karena saat kujemput, aku gak perlu nyamperin mereka ke kamar, karena mereka udah siap di depan gedung asrama dan berjalan menuju mobil. Aku pun memutar arah dan berjalan dengan cepat—seperti biasa—dan menuju mobil.


Ngomong-ngomong soal menjemput anak-anak cowok di kamar mereka, aku pengen nyeritain satu pengalaman ter... well, aku gak tau ini pengalaman ter-apa, tapi aku senang menceritakannya.


Here we go! Pagi itu, seperti biasanya, anak-anak cewek udah rapi dan siap berangkat, sedangkan para cowok belum muncul batang hidungnya di depan bangunan asrama. Sesuatu yang kubenci dari hal ini adalah; aku dan anak-anak cewek lainnya, harus buru-buru menyiapkan semuanya, kami menjadwalkan mandi maupun menyetrika pakaian agar bisa selesai tepat waktu. Kami tidak bisa berlama-lama menikmati mandi pagi agar tidak telat. Setelah kami semua siap, cowoknya belum pada muncul. Berdasarkan pengalaman hari-hari sebelumnya, saat kami siap, mereka baru antri untuk mandi sambil baring di atas tempat tidur. Good!


Kuputuskan untuk menjemout mereka. Dalam beberapa menit, aku tiba di lantai 2, di depan kamar 222, tempat anak-anak cowok kampusku nginap. Aku mengetuk pintu dan beri salam. Beberapa kali kulakukan, tidak ada jawaban dari dalam. Mm... maaf, tapi ini terpaksa kulakukan. Asumsi umumku berkata bahwa jika tidak ada jawaban dari dalam berarti ruangan itu kosong, tapi ke mana mereka jika tidak ada di kamarnya dan juga tidak ada di mobil padahal kami harus segera berangkat. Akhirnya, aku mengintip lewat lubang kunci. I meant no harm.


Ups... seharusnya kalo mereka sudah meninggalkan kamar, lubang kuncinya kosong. Tapi kulihat kunci masih tergantung di lubang kunci. Aku menyimpulkan bahwa masih ada orang di kamar tersebut. Kuketuk kamar itu sekali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Aku mulai penasaran. Kulihat di samping kamar itu ada jendela besar seukuran pintu. Beberapa jendelanya hanya kaca, bukan untuk dibuka-tutup. Kucek jendela terakhir yang masih tertutup gorden dan yah, terbuka. Jendela itu mengubungkan bagian depan dengan balkon belakang kamar anak-anak cowok. Kuputuskan untuk masuk lewat jendela. Ini darurat, kalau tidak, aku tidak akan melakukan hal ini, hehe....


Aku tiba di balkon mereka. Kuketuk pintunya, tetap tidak ada jawaban. Ada apa ini sebenarnya. Baiklah, mereka tidak memberi jawaban, padahal kunci masih terpasang di bagian dalam pintu depan, sedangkan di bawah, di lapangan parkir tepatnya, mobil dan semuanya sudah menunggu mereka.


Akhirnya kuputuskan untuk masuk saja, karena kebetulan pintu belakang kamar mereka tidak dikunci. Dan... ternyata, dua makhluk aneh—dua orang cowok utusan kampusku—duduk manis di tempat tidur mereka. Entah apa dan mengapa, mereka jelas-jelas mendengar ketukan pintunya sejak tadi tapi tidak satu pun dari mereka yang membukakan pintu. Di kamar itu, seharusnya juga ada mahasiswa dari kampus lain, tapi semuanya sudah berangkat, yang tersisa hanya kedua teman-temanku. What the... mmph....


Wo0keey... sekarang kita kembali pada cerita perjalanan pulang dari Surabaya menuju Bandung.


Kami meninggalkan asrama haji Surabaya sekitar hampir pukul 7 pagi, padahal kami rencana berangkat tepat setelah shalat Subuh. Saat tiba di sebuah mini market, tiba-tiba aku mules. Huhu... untung ada kamar mandinya. Thanks God.


Tiba jam makan siang, kami makan di sebuah rumah makan Padang. Mm... aku suka banget kepala ikannya. Yummy! Salah seorang temanku, ade kelas tepatnya, sangat suka mendesain sisa makanan setelah kita makan. Ini kali kedua kulihat dia bermain dengan sisa-sisa makanan. Ide mendandani sisa makanan itu cukup kreatif, tapi agak sedikit memualkan. Melihat semua tercampur aduk seperti... well, tidak perlu dideskripsikan.


Setelah makan siang, aku minum obat anti mabuk—mabuk darat. Wow, reaksinya sangat cepat. Tidak berapa lama setelah mobilnya jalan, aku telah masuk ke dunia mimpi. Entah ada kejadian apa saat aku tidur. Aku terbangun—hanya mendengar, namun belum sanggup membuka mata—saat mendengar orang-orang memanggil nama Bowo. Ada apa dengan Bowo?


Aku tidak merasakan gerakan maju mundur sebagai efek percepatan atau perlambatan mobil. Sepertinya mobil memang sedang berhenti. Semua masih terus menyebut-nyebut nama Bowo. Akhirnya kupaksakan diri untuk membuka mata walaupun sangat berat. Bowo udah gak ada—di mobil. Dia berdiri di depan pintu mobil, di sampingnya ada seorang wanita paruh baya sedang memeluknya. Bowo memanggil wanita itu Tante. Bukan... dia tidak dijemput oleh “tante”, tapi yang menjemputnya beneran tantenya, saudara dari orang tuanya. Alhamdulillah. Semua orang melepas kepergian Bowo dengan tantenya di suatu tempat di wilayah Jawa, I really didn’t know where we were. Semua orang melambaikan tangan pada Bowo kecuali aku sepertinya. Bukan... bukan karena aku benci Bowo karena dia telat mulu, atau karena dia selalu mengatai kami—mahasiswa cewek rombongan kampus—sebagai anak-anak aneh, bukan pula karena dia selalu numpang nge-charge HP di kamar kami, tapi karena aku memang udah gak punya tenaga, jangankan mau memberikan lambaian tangan perpisahan pada Bowo, buka mata pun kayaknya susah banget.


Aku kembali melanjutkan tidur. Huh, dasar, entah ini pure pengaruh obat atau karena aku memang capek, malamnya kurang tidur, kemarin siangnya jadwal padet, atau karena emang aku doyan tidur, seperti julukan yang diberikan bapakku, sang Putri Bantal dari negeri Al-Kasur.


Kali ini, saat aku terjaga, perlahan kubuka mata. Mobil telah berhenti. Semua orang yang duduk di jok di hadapanku, termasuk driver nya pun telah tiada, maksudnya tidak terlihat olehku. Entah semuanya ke mana. Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan di mana mereka, aku ngantuk, lalu kulanjutkan tidurku. Saat pikiranku melayang perlahan menuju perbatasan antara dunia nyata dan alam mimpi, kudengar beberapa orang dari jok belakang menyuruhku bangun karena mau lewat, dan aku sepenuhnya menghalangi jalan.


Duh, aku tidak tau untuk apa mereka keluar, tapi aku benar-benar tidak punya tenaga untuk bangun. Ngantuk berat! Kulihat di sampingku, semua orang juga udah gak ada. Awalnya aku hanya tidur dengan posisi duduk, akhirnya aku baring. Ups, ternyata semakin menghalangi jalan. Okey, aku tidak tau mereka yang kejebak macet di jok paling belakang tau kelemahanku atau tidak, tapi tiba-tiba ada yang mencolekku. Dari tadi mereka coba membangunkan, kurasakan ada yang menggoncang-goncangkan bahuku, or anywhere in my body, tapi aku tidak merasa terganggu. Hanya saja, aku benci dicolek, atau disentuh dengan ujung jari. Tindakan mereka mencolekku membuat aku teriak kencang di mobil. Mungkin seperti orang histeris, aku teriak sambil menghentak-hentakkan kaki, seolah aku ini pengendali bumi yang menghentak bumi untuk menyerang lawan.


Well, tindakan mereka cukup berhasil untuk membuat bergeser dan mebiarkan mereka keluar. Ternyata semua orang mampir di mushalla untuk shalat Dzuhur. Akhirnya kuputuskan—memang harus kulakukan—untuk turun dari mobil dan shalat Dzuhur. Saat turun, aku sempat oleng dan hamoir jatuh. Untuk ada Diah yang dengan sigap meraihku....


Hari mulai sore. Aku, Depoy, dan Anti memulai transfer-transfer foto. Dari HP Anti dan Depoy, ada sekitar 250an foto, belum dari camdi dan HP Teh Martha. Setelah transfer foto selesai, kami menyadari sesuatu. Cemilan habis, dan kami laper lagi. Oh, God! Waktu itu kami udah di Jogja. Semua sepakat untuk membeli gorengan. Lalu mata kami bertindak jeli memandang ke sebelah kiri dan mencari tukang jual gorengan. Setelah lama jelalatan, mata kami akhirnya menemukan tukang gorengan tapi sayangnya kami kurang koordinasi dengan driver. Mobil tetap melaju melewati tukang gorengan, dan dalam beberapa detik, tukang gorengannya telah terlewati cukup jauh.


Okay, kali ini driver mulai berhati-hati sampai akhirnya kami menemukan tukang gorengan berikutnya. Di mobil, ada 9 orang, dan Teh Martha membeli 50 biji gorengan untuk kami. Aku tidak tau pasti gorengannya habis atau tidak, yang jelas, aku makan lebih banyak singong goreng daripada bala-bala, padahal bala-bala is my favourite. (Penting ya?)


Perjalanan terus dilanjutkan. Adzan Maghrib berkumandang, dan diputuskan untuk mencari mesjid terdekat. Aku gak tau pasti kai mampir di pom bensin mana, yang jelas, kamar mandinya bauuu banget.... Saat di tempat wudhu, untuk akhwat, kerannya ada sekitar 4 buah. Yang 3 dari 4 keran itu tertutupi dari pandangan dunia, halah!! Depoy, tidak berjilbab, wudhu di keran nomor satu, yang terlihat dari luar. Saat aku sedang memakai jilbab, tiba-tiba salah teman-temanku yang berjilbab pada teriak. Ternyata ada seorang cowok yang ngira temptat itu tempat wudhu cowok dan NYARIS melihat temen-temenku yang berjilbab lagi wudhu. Menurut teori Depoy, mungkin dari belakang Depoy terlihat kayak cowok, makanya si cowok yang tadi ngira itu tempat wudhu cowok.


Perjalanan terus berlanjut. Kami makan malam sekitar setengah dua belas malam. Wow, untung tidak ada yang sedang terikat program diet. Dalam perjalanan ini, kami kerjaannya makan lalu tidur di mobil. But we enjoyed this, anyway. Hoho.....


Kami mampir di rumah makan Pringsewu kalo gak salah. Hal yang kusuka dari tempat itu, karena sembari menghidangkan makanan, seorang pegawai akan memperlihatkan kami sebuah sulap kartu. Otomatis semua mata menuju padanya. Apalagi kali ini, Anti dan Depoy yang duduk di ujung meja yang berbeda dengan tempat pegawai itu berdiri sampai harus nyamperin si pegawai biar bisa melihat trik magic dari dekat. Saat sulap plus triknya selesai dipaparkan oleh si pegawai, kami pasti dihadiahi kartu sulap, setelah fokus kami kembali ke meja maka, semua makanan telah terhidang. Jadi, kami tidak perlu repot-repot melihat pelayang menghidangkan makanan di meja panjang untuk kami karena kami fokus nonton sulap. Tepat setelah sulap selesai it’s like a magic, makanan pun telah siap. Seneng dech!!!


Salah seorang temanku, adik kelas, memesan es jeruk. Dia mengeluh, kok, es jeruknya asem. Entah itu pengaruh ngantuk atau kecapean di mobil, dia lupa ngaduk es jeruknya, sedangkan gula cair dari es itu masih utuh di bagian bawah. Setelah diaduk, es jeruknya masih rada asem. Ya iyalah. Jeruk nipis yang dipasang di ujung gelas, ikut jatuh ke jusnya. Sepertinya temanku yang satu itu memang lagi bermasalah dengan es jeruk. Tidak ada sendok untuk mengeluarkan jeruk nipis dari es jeruk, akhirnya kusuruh dia mengambilya dengan tangan, toh, jeruknya mengapung. Setelah itu, aku bilang ke dia untuk menghisap jeruk nipisnya, dan auw... alisnya mengernyit dan matanya berkedip, ekspresi kekecutan. Semua orang di meja kami tertawa melihat tingkahnya, saat dia mengeluh jeruk nipisnya kecut. Maaf. Aku gak bermaksud membuat hidupnya bersama es jeruk semakin tertekan, tapi aku cuman bercanda. Aku gak tau ada orang yang mau mengikuti saranku untuk mengisap jeruk nipis padahal dia dari awal mengeluh tentang rasa kecut. I’m sorry.


Perjalanan berlanjut, kami tiba di Banjar. Aku tidak tau pasti Banjar itu di mana, tapi salah seorang temanku harus turun di tempat ini. Sebenarnya aku itu orang yang tidak terlalu peduli hal-hal detail (pada kondisi umum), makanya kalo di perjalanan, aku kadang gak tau dari mana lewat mana dan sedang di mana, yang jelas kutau bahwa aku pasti sampai di tempat tujuan.


Entah sekitar jam berapa, yang jelas udah hampir Subuh, aku bangun. Kubalas sms yang ada sejak sekitar sejam yang lalu. Iseng aku menengadah langit. Ada bulan di sana. Tapi aku tak tau kenapa, bulan malam itu bukan bulan yang bisa kunikmati keindahannya, seperti biasa aku saat melihat bulan. Bulan itu putih, tapi ada awan hitam yang terus berjalan menutupinya perlahan, lalu menampakkannya lagi. Rada horor ngeliatnya.


Aku tiba di kostan Eel—karena aku memutuskan untuk ngetem dulu di tempat Eel sebelum pulang—sekitar pukul 5 subuh 13 Agustus 09. Kemarin, kami berangkat pukul 7 pagi 12 Agustus 09. Sekitar 22-23 jam perjalanan terpanjang yang pernah kurasakan.


oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment