Hujan di Bulan Juni

15 Juni 2009
Sekarang aku lagi kejebak hujan di Murashalah. Aku duduk sendiri di teras akhwat. Kulihat tetes-tetes hujan yang membentuk aliran tepat di hadapanku. Di sekelilingku, dunia terasa kelabu. Langit tidak menunjukkan birunya karena awan enggan bergeser dari egonya. Di hadapanku, sebuah pohon yang besar dan rindang berhenti menggerakkan ranting-ranting dan dedadunan seiring semakin derasnya hujan.

Lampu jalan sebagian telah dinyalakan. Pukul 05.05 p.m. Hari mulai gelap. Kutengok hatiku yang sejak tadi menerawang jauh ke beberapa tempat, berbagai situasi, dengan kondisi yang nyaris sama. Aku pernah bilang gak, kalo aku melihat hujan, aku jadi sedih? That’s exactly what I feel now. Hatiku mengintai momen-momen sedih dan mengharukan yang masih tersimpan dalam memoriku. Momen bersama semua yang kucintai. Momen yang menindih hatiku dan menampakkan sebuah rasa yang kusebut kerinduan. Aku merindukan semua yang kucintai, yang kutinggalkan demi meraih impianku.

Melihat sekelilingku yang nampak kelabu, mencium bau debu basah yang perlahan tertelan hujan, dan mendengarkan setiap tetes gemericik air hujan, membuatku teringat rumahku nun jauh di Kabupaten Maros sana. Rumah yang menemani jalannya usiaku dan merekam setiap episode hidupku. Episode yang kelak harus kupertanggungjawabkan. Rumah yang sangat sederhana, bersahaja, namun penuh cinta. Rumah di mana bapak dan ibuku dengan leluasa mengungkapkan kecintaan pada kami, anak-anaknya.

Melihat pepohonan yang diguyur hujan, hatiku membawaku pada sosok ibuku. Dia bagaikan pohon besar yang berada di seberang jalan, tepat di hadapanku. Pohon itu kuat. Walaupun angin menghantamnya dan hujan menggoyahkan kehangatannya, dia tetap kokoh. Pohon itu rindang. Saat terik, banyak orang yang berteduh di bawahnya untuk menghindari sengatan matahari atau untuk sekedar merasakan kesejukannya.

Ibuku, wanita yang usianya telah lebih dari separuh abad harus berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna, begitupun Beliau. Dalam upayanya untuk menjadi yang terbaik, kadang dia khilaf, tapi toh, Allah menilai prosesnya. Saat Bapak masih ada, Ibu menjadi istri yang sabar merawat Bapak yang diuji dengan beberapa penyakit. Ketika usiaku—anak sulungnya—baru menginjak usia 14 tahun, Ibu harus menjadi single parent karena ternyata jatah Bapak hidup di dunia telah sampai pada penghujungnya. Ibuku juga harus sabar menghadapi kelakuan adik-adikku yang masih belum dewasa, ABG yang sedang mencari jati diri dengan sikap sensasionalnya. Tanpa didampingi seorang suami, dia berjuang sendirian. Tapi aku tahu, Allah tidak mungkin menguji hamba-Nya di luar kapasitas mereka. Allah Maha Mengetahui dan Dia tahu bahwa ibuku kuat menghadapi ini semua walau tanpa Bapak di sampingnya.

Aku hanya berharap bahwa ibuku dapat sabar dan berlapang dada, karena sesungguhnya setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Ini tak lebih dari sebuah cara bagi Allah untuk mencintainya, karena Allah ingin menaikkan derajatnya melalui kesabaran Beliau. Dan aku tahu bahwa Allah telah menyiapkan kekuatan baginya. Hanya perlu bersabar, terus berdoa, berikhriar, dan tawakkal. Kesabaran bukanlah duduk diam menanti semua berubah baik, tapi kesabaran adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita.

Nun jauh di sana, ibuku menantiku dengan sabar. Jika ada orang yang paling tersiksa oleh kerinduan karena aku tidak ada, maka orang itu adalah ibuku. Aku seharusnya ada untuk mendampinginya menghadapi adik-adikku, menghadapi semua ujian yang sedang dia hadapi tanpa Bapak. Namun, aku belajar dari dia tentang esensi cinta. Bahwa cinta bukanlah ego. Cinta akan merelakan orang yang dicintai pergi bila itu memang lebih baik. Walaupun dia kangen, dia tak kan mau mengusikku saat tahu bahwa aku sedang ujian. Dia sungguh mencintai dengan sabar, tanpa embel-embel egoisme.

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Akhir Rasa Itu

8 Juni 2009

Sabtu kemarin aku Liqo’ (Lq) setelah bulan Mei sama sekali gak pernah Lq. Kalian tau gak, terasa ada cahaya iman yang mengisi kembali ruang-ruang kosong di hatiku. Ruang-ruang kosong yang menjadi awal kekeringan imanku sehingga bermuara pada sebuah kesalahan fatal yang harus segera kuakhiri.

Si Fulan. Dia bukan sebuah kesalahan, namun dia menjadi bagian dari kelalaian imanku dan ujian bagi keistiqomahanku. Dia datang sesaat setelah kuikrarkan bahwa aku akan menghilangkan “tuhan-tuhan” di hatiku agar Allah swt. menjadi the one and only. Ya, aku sadar bahwa selama ini di hatiku telah bercokol “tuhan-tuhan” tandingan tanpa kusadari. “tuhan” itu adalah sesuatu yang telah membuatku terlalu nyaman dan membuatku begitu takut kehilangan. Entah mengapa, waktu itu dalam beberapa ta’lim berturut-turut, aku memperoleh materi yang sama. Yaitu tentang Syirik. Bukan hanya menyembah berhala yang menyebabkan syirik, tapi juga ketergantungan kita pada makhluk melebihi pada sang Pemilik makhluk. Tepat setelah ikrar itu, dia dikirim untuk mengujiku.
Aku menyesal tidak menghindarinya dari awal. Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku mampu memutuskan untuk menjauh darinya. Tanpa kusadari, hatiku telah menjadi nyaman karena dia. Parahnya lagi, mungkin kenyamanan itu menggeser kenyamanan yang harusnya dirasakan hatiku dalam setiap sujudku. Astagfirullah! Untuk semua ini, aku memang mesti berkorban. Aku memang harus merasakan rasa sakit karena disapih dari kebutuhanku. Kebutuhan untuk dekat dengannya. Namun aku hanya dapat berharap bahwa rasa sakit yang kurasakan ini semoga menjadi penghapus dosa-dosaku. Amin….

Hari Sabtu itu juga, aku memutuskan bahwa aku harus menghentikan rutinitas yang selama ini kulakukan untuknya. Hal yang kulakukan setiap hari. Itu karena aku menyadari bahwa setiap aku melakukannya, aku perlahan merasa nyaman. Rasa nyaman bukan karena Allah. Padahal, kata aa’ Gym, hati-hatilah bila merasa nyaman dengan selain Allah, apalagi rasa nyaman itu tidak menyebabkan semakin dekatnya kita pada Allah. Jangan sampai dia membuatku nyaman dan membuatku bergantung padanya, padahal dia hanya makhluk.
Setelah shalat Dhuha, aku membaca sms yang baru saja dia kirim. Dia mengucapkan terima kasih. Aku… sempat goyah lagi dengan niatku. Aku gak tega meninggalkan rutinitas itu. Tapi alhamdulillah, Allah sungguh menyayangiku. Allah menguatkan hatiku. Sakit memang… sampai air mataku harus terus mengalir. Ya, tangisan karena hatiku harus mengembalikan tempat yang menjadi jatah Rabbnya. Dalam proses pengembalian itu, hati akan tersakiti. Tapi apa boleh buat, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma, begitu pula surga. Aku hanya yakin akan satu hal, bahwa rasa sakit yang kurasakan ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan derita yang akan kualami bila aku terjerumus ke dalam neraka. Rasa sakit ini juga tidak ada harganya bila dibandingkan dengan surga yang Dia janjikan. Aku sungguh tak akan rugi bila rasa sakit ini akhirnya membuatku lebih dekat dengan jannah-Nya.
“Kaki ini tidak akan berhenti melangkah sampai tiba di jannah-Nya”.

***

Aku gak nyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Malam itu—saat kuyakini keputusanku, aku emang udah kena gejala flu, sehingga kepalaku jadi sakit. Sakit kepalaku jadi semakin sakit karena nangis.

Ya Allah, aku telah—sedang berusaha—untuk melepasnya dari hatiku. Bila memang kami tidak bisa menjalin hubungan atas dasar cinta karena-Mu, maka pisahkanlah hatiku dan dirinya karena-Mu. Engkau mengatakan bahwa semua orang yang berhubungan di dunia akan saling menyalahkan di hari kemudian, kecuali orang yang melandaskan hubungannya karena-Mu. Bila hubungan kami tidak terjalin karena-Mu, aku sungguh takut dan tidak ingin saling menyalahkan dengannya di hari kemudian. Dan bila ini adalah caranya, maka bantu aku untuk ikhlas, ya Allah….

Kulihat di cermin, mataku merah banget. Kantung matanya bengkak karena nangis. Malam itu, lalu keesokan paginya, aku terus nangis. Kemarin siang pun, saat ada acara di kampus, aku menangis di pelukan sahabatku karena dia.

Aku ingin mencintainya dan memperhatikannya. Aku gak peduli bagaimana perasaanya terhadapku, karena itu memang gak penting. Tapi kini, aku tidak boleh lagi memperhatikannya dengan cara itu. Toh, ukhuwah itu dijalin bukan dengan banyaknya sms atau kata-kata indah, tapi dengan mengingat saudaranya dalam doanya. Biar Allah yang mencintai dia seutuhnya, yang menjada dia sepenuhnya. Aku cukup melangkah sampai di sini. Karena langkah yang lebih jauh lagi hanya akan membawa mudharat bagi aku, hatiku, dan juga dirinya.

Bila aku memang menyayanginya, aku tentu tidak akan larut dalam egoku untuk tetap menjalankan rutinitas seperti dulu, yang jelas hanya akan menyebabkan murka Allah. Bila aku memang menyayanginya, maka aku tidak akan mau menjadikan diriku penyebab murka Allah jatuh padanya. Bila aku tetap dengan caraku yang dulu, semua yang kurasakan ini tidak lebih dari nafsu semata, yang akan membakar kami—aku dan dirinya. Bila aku memang menyayanginya, tentu aku tidak akan melakukan hal-hal yang hanya akan menjauhkannya dari ridho Allah. Bila aku menyayanginya, maka aku harus ikhlas untuk melepasnya dari hatiku. Izinkan aku Ya Allah….

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS