Akhir Rasa Itu

8 Juni 2009

Sabtu kemarin aku Liqo’ (Lq) setelah bulan Mei sama sekali gak pernah Lq. Kalian tau gak, terasa ada cahaya iman yang mengisi kembali ruang-ruang kosong di hatiku. Ruang-ruang kosong yang menjadi awal kekeringan imanku sehingga bermuara pada sebuah kesalahan fatal yang harus segera kuakhiri.

Si Fulan. Dia bukan sebuah kesalahan, namun dia menjadi bagian dari kelalaian imanku dan ujian bagi keistiqomahanku. Dia datang sesaat setelah kuikrarkan bahwa aku akan menghilangkan “tuhan-tuhan” di hatiku agar Allah swt. menjadi the one and only. Ya, aku sadar bahwa selama ini di hatiku telah bercokol “tuhan-tuhan” tandingan tanpa kusadari. “tuhan” itu adalah sesuatu yang telah membuatku terlalu nyaman dan membuatku begitu takut kehilangan. Entah mengapa, waktu itu dalam beberapa ta’lim berturut-turut, aku memperoleh materi yang sama. Yaitu tentang Syirik. Bukan hanya menyembah berhala yang menyebabkan syirik, tapi juga ketergantungan kita pada makhluk melebihi pada sang Pemilik makhluk. Tepat setelah ikrar itu, dia dikirim untuk mengujiku.
Aku menyesal tidak menghindarinya dari awal. Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku mampu memutuskan untuk menjauh darinya. Tanpa kusadari, hatiku telah menjadi nyaman karena dia. Parahnya lagi, mungkin kenyamanan itu menggeser kenyamanan yang harusnya dirasakan hatiku dalam setiap sujudku. Astagfirullah! Untuk semua ini, aku memang mesti berkorban. Aku memang harus merasakan rasa sakit karena disapih dari kebutuhanku. Kebutuhan untuk dekat dengannya. Namun aku hanya dapat berharap bahwa rasa sakit yang kurasakan ini semoga menjadi penghapus dosa-dosaku. Amin….

Hari Sabtu itu juga, aku memutuskan bahwa aku harus menghentikan rutinitas yang selama ini kulakukan untuknya. Hal yang kulakukan setiap hari. Itu karena aku menyadari bahwa setiap aku melakukannya, aku perlahan merasa nyaman. Rasa nyaman bukan karena Allah. Padahal, kata aa’ Gym, hati-hatilah bila merasa nyaman dengan selain Allah, apalagi rasa nyaman itu tidak menyebabkan semakin dekatnya kita pada Allah. Jangan sampai dia membuatku nyaman dan membuatku bergantung padanya, padahal dia hanya makhluk.
Setelah shalat Dhuha, aku membaca sms yang baru saja dia kirim. Dia mengucapkan terima kasih. Aku… sempat goyah lagi dengan niatku. Aku gak tega meninggalkan rutinitas itu. Tapi alhamdulillah, Allah sungguh menyayangiku. Allah menguatkan hatiku. Sakit memang… sampai air mataku harus terus mengalir. Ya, tangisan karena hatiku harus mengembalikan tempat yang menjadi jatah Rabbnya. Dalam proses pengembalian itu, hati akan tersakiti. Tapi apa boleh buat, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma, begitu pula surga. Aku hanya yakin akan satu hal, bahwa rasa sakit yang kurasakan ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan derita yang akan kualami bila aku terjerumus ke dalam neraka. Rasa sakit ini juga tidak ada harganya bila dibandingkan dengan surga yang Dia janjikan. Aku sungguh tak akan rugi bila rasa sakit ini akhirnya membuatku lebih dekat dengan jannah-Nya.
“Kaki ini tidak akan berhenti melangkah sampai tiba di jannah-Nya”.

***

Aku gak nyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Malam itu—saat kuyakini keputusanku, aku emang udah kena gejala flu, sehingga kepalaku jadi sakit. Sakit kepalaku jadi semakin sakit karena nangis.

Ya Allah, aku telah—sedang berusaha—untuk melepasnya dari hatiku. Bila memang kami tidak bisa menjalin hubungan atas dasar cinta karena-Mu, maka pisahkanlah hatiku dan dirinya karena-Mu. Engkau mengatakan bahwa semua orang yang berhubungan di dunia akan saling menyalahkan di hari kemudian, kecuali orang yang melandaskan hubungannya karena-Mu. Bila hubungan kami tidak terjalin karena-Mu, aku sungguh takut dan tidak ingin saling menyalahkan dengannya di hari kemudian. Dan bila ini adalah caranya, maka bantu aku untuk ikhlas, ya Allah….

Kulihat di cermin, mataku merah banget. Kantung matanya bengkak karena nangis. Malam itu, lalu keesokan paginya, aku terus nangis. Kemarin siang pun, saat ada acara di kampus, aku menangis di pelukan sahabatku karena dia.

Aku ingin mencintainya dan memperhatikannya. Aku gak peduli bagaimana perasaanya terhadapku, karena itu memang gak penting. Tapi kini, aku tidak boleh lagi memperhatikannya dengan cara itu. Toh, ukhuwah itu dijalin bukan dengan banyaknya sms atau kata-kata indah, tapi dengan mengingat saudaranya dalam doanya. Biar Allah yang mencintai dia seutuhnya, yang menjada dia sepenuhnya. Aku cukup melangkah sampai di sini. Karena langkah yang lebih jauh lagi hanya akan membawa mudharat bagi aku, hatiku, dan juga dirinya.

Bila aku memang menyayanginya, aku tentu tidak akan larut dalam egoku untuk tetap menjalankan rutinitas seperti dulu, yang jelas hanya akan menyebabkan murka Allah. Bila aku memang menyayanginya, maka aku tidak akan mau menjadikan diriku penyebab murka Allah jatuh padanya. Bila aku tetap dengan caraku yang dulu, semua yang kurasakan ini tidak lebih dari nafsu semata, yang akan membakar kami—aku dan dirinya. Bila aku memang menyayanginya, tentu aku tidak akan melakukan hal-hal yang hanya akan menjauhkannya dari ridho Allah. Bila aku menyayanginya, maka aku harus ikhlas untuk melepasnya dari hatiku. Izinkan aku Ya Allah….

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment