CINTA SAMBEL PETE’

Menelaah makna cinta, tidak akan cukup seluruh kata untuk mendeskripsikannya. Cinta tak henti-hentinya menjadi inspirasi dan menjadi alasan untuk bertahan, alasan untuk maju, dan alasan untuk mengalah. Mencintai adalah berkorban, mencintai adalah tertawa untuk orang lain meski dirimu sendiri tak sanggup untuk sekedar mengurai sepotong senyuman. Cinta adalah alasan mengapa bumi berputar, cinta adalah alasan mengapa bunga-bunga tetap bermekaran, cinta adalah alasan mengapa saat ini kita dapat bertemu melalui ukiran kertas yang menjadi jelmaan dari suara yang berbisik di hatiku.

Welcome to the world where you and me will gather. Together we explore the love.

Mau tahu tentang cinta? Tanyakan kepada ibumu, tanyakan kepada ayahmu mengapa engkau dilahirkan. Mungkin akan dijawab, “Karena cinta.” Hatinya bisa saja berkata hal yang sama atau...sebenarnya hati kecilnya berbisik, “Kecelakaan, Nak.” Kecelakaan atas nama cinta dan pemakluman atas nama cinta. Cintakah itu, atau dia adalah nafsu yang sedang memerankan tokoh cinta. Di panggung sandiwara mungkin dia berlabel cinta, namun sampai tiba di batas waktu, dia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Nafsu.

Tanyakan lebih dari sekedar kelahiran, tanyakan tentang penciptaan. Mengapa ada aku dan kamu, mengapa moyang kita diciptakan. Ternyata bukan kau, bukan pula aku yang pertama kali menanyakan hal ini. Jibril pun menanyakan hal yang sama saat Allah hendak menciptakan moyang dari moyangku dan moyang dari moyangmu sebagai khalifah di muka bumi ini.

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”

Allah menjawab,“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.”

Bila bertanya tentang cinta, maka inilah cinta. Karena Allah Ar Rahman Ar Rahim, diciptakanlah manusia lalu diajarkannya apa yang belum Allah ajarkan kepada hamba-hamba Nya sebelum manusia.

Namun, kuberitahukan kepadamu apa yang kuketahui, ingin kuhindari dan sedang kujauhi. Kesombongan. Rasa sombong adalah bentuk pengkhianatan cinta, penyelewengan atas anugrah yang diberikan kepadanya. Seperti iblis yang enggan bersujud untuk menghormati Adam lantaran rasa sombong yang menggrogoti jiwanya. Lalu hanya murka Allah baginya.

Ingat ketika dulu bapak moyang kita Adam a.s. memakan buah dari pohon yang Allah bahkan melarang untuk mendekatinya. Allah tetap menerima kesungguhan Nabi Adam yang menyesali kesalahannya. Allah menerima tobat Beliau. Tanyakan pada hatimu hal serupa yang kutanyakan pada hatiku. “Bukankah ini semua cerminan cinta sang Khaliq pada hamba-Nya?”

Cinta Allah bukan sekedar ampunan bagi siapa yang mau bertobat, namun bumi beserta isinya pun diamanahkan kepada kita untuk diolah, dikelola, dijadikan sumber kehidupan di dunia sebagai bekal di akhirat. Kurang apa lagi Allah mencintai kita, surga disediakan-Nya, jalan menuju surga ditunjukkan-Nya, neraka pun diciptakan-Nya agar kita condong kepada surga-Nya.
Kau...aku...kita tak perlu jadi pecinta yang hebat untuk memulai, tapi kita bisa memulai untuk menjadi pecinta yang hebat dengan menyadari segala nikmat yang Allah berikan yang harus kita syukuri dengan hati, lisan, dan perbuatan.

Belum cukupkah cinta Baginda Rasulullah saw. untuk menjadi teladan bagi kita? Allah memilih Beliau untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada seluruh uman manusia. Namun yang Beliau lakukan bukan hal yang mudah. Perjuangannya meletihkan, tapi beliau tidak mengeluh, justru Beliau tetap larut dalam perjuangan tanpa henti. Menurutmu apa yang membuat Beliau bertahan walau tersakiti? Semua karena cinta, cintanya pada Rabbnya dan cintanya pada umatnya.

Maukah kau mendengar kisah perjuangan cinta rasulullah? Kisah yang baru saja kubaca semalam, kisah yang selama ini kuabaikan karena terlena oleh dongeng Beauty And the Beast, kisah cinta Romeo dan Juliet, dan perjuangan cinta pangeran dalam kisah Sleeping Beauty. Ayolah...kau harus mendengar kisah ini. Aku tidak mau kita tidak bisa menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur kelak tentang siapa rasul kita. Cukup dengarkan kisah ini lalu ceritakan kepada saudara-saudaramu, anak-cucumu kelak, dan umat muslim di seluruh dunia. Jadikan ini sebagai pembangkit ghirah di saat engkau letih berjuang.

Pada usia 40 tahun, Muhammad saw. menerima pengangkatannya sebagai Rasul. Wahyu pertama yang diterimanya, membuat Beliau pulang ke rumah dengan gemetar. Untung saja istri Beliau yang begitu bijak menyelimuti dan menenangkan Beliau hingga Rasulullah saw. pun tertidur.

Waraqah, penganut agama Nasrani yang mempelajari Injil dan Taurat berkata kepada rasulullah,“Quddus, Quddus! Hai (Muhammad) anak saudaraku, itu adalah rahasia yang paling besar yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Wahai kiranya aku dapat menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup, dapat melihat ketika engkau diusir oleh kaummu.”

Nabi lalu bertanya, “Apakah mereka (kaumku) akan mengusir aku?”

Waraqah menjawab, “Ya, semua orang yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa ini, mereka akan dimusuhi. Jikalau aku menjumpai hari dan waktu engkau dimusuhi itu, aku akan menolong engkau sekuat tenagaku.”

Meski mengetahui betapa berat rintangan yang sedang menanti perjuangan kerasulannya, Beliau tidak gentar. Bahkan, setelah cukup lama beliau menyebarkan Islam di Mekkah, paman Rasulullah saw. menyampaikan ancaman pemuka Quraisy pada Beliau bila tetap meneruskan dakwahnya. Menanggapi hal itu, Beliau berkata dengan tegas:

“Demi Allah wahai pamanku! Sekiranya mereka meletakkan matahari di sebelah kananku, bulan di sebelah kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan pekerjaan ini, meski aku akan binasa karenanya, aku tetap tidak akan meninggalkan pekerjaan ini.” Rasulullah pun berpaling dan menangis. Betapa teguh hati rasulullah untuk memperjuangkan agama Allah.

Pada tahun ke 5 kerasulannya, beliau harus menghijrahkan sahabat-sahabatnya karena Beliau tidak tahan melihat mereka terus disiksa oleh orang-orang Quraisy. Sedangkan Rasulullah saw. sendiri tetap berada di Mekkah untuk menyebarkan Islam kepada kaumnya.

Keluarga Rasulullah pun tak urung terhindar dari siksaan orang Quraisy. Keluarga Beliau yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang membela Rasulullah sekuat tenaga akhirnya diboikot oleh pemuka Quraisy. Mereka memutuskan segala hubungan pernikahan, jual beli dan saling mengunjungi dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Selama pemboikotan yang berlangsung sekitar dua tahun itu, Rasulullah saw. dan keluarganya menderita kemiskinan dan kesengsaraan.

Itu hanya sekelumit penderitaan yang dialami rasulullah saw. dalam menyebarkan agama Islam demi menunjukkan jalan kebenaran kepada kita semua. Belum lagi berbagai percobaan pembunuhan dan pengkhianatan kepada Nabi Muhammad saw oleh orang-orang kafir dan orang munafik. Namun pernahkah Rasulullah saw. mendoakan agar Allah menurunkan azab kepada mereka seperti yang ditimpakan pada umat Nabi Nuh atau Nabi Luth? Tidak. Rasulullah saw. justru terus mendoakan mereka agar mereka berpaling dari kesesatan.

Di akhir hayat rasulullah, Beliau menyebut-nyebut nama umatnya, “Umatku... umatku... umatku....” Kutanyakan padamu, tidakkah engkau merasakan getaran cinta Rasulullah saw. kepada umatnya, kepadaku, juga kepadamu? Saat Beliau merasakan sakitnya saat nyawa Beliau dicabut, lagi-lagi Beliau memikirkan nasib umatnya. “Bila aku saja merasakan sakit seperti ini saat nyawaku dicabut, apatah lagi bila nyawa umatku dicabut.” Seandainya bisa, Rasulullah saw. menginginkan cukup Beliau saja yang merasakan sakitnya sakaratul maut, biar rasa sakit seluruh umatnya ditanggungnya sendiri agar umatnya tidak merasakan sakit yang Beliau rasakan waktu itu. Bila Rasulullah saja, manusia termulia, kekasih Allah, senantiasa memikirkan kita, sudahkah kita menyediakan cinta untuk Beliau? Sudahkah kita bershalawat saat mendengar nama Beliau? Sudahkan kita menjalankan sunnah Beliau? Pedulikah kita pada apa yang Beliau katakan? Sedangkan Beliau sendiri menaruh rasa sayang, khawatir dan peduli pada kita, sedangkan kita manusia yang nista ini, pernahkan mempertimbangkan perasaan Beliau dalam bertindak? Maukah kita menjadi bagian dari kekecewaan Rasulullah?

Saudaraku... Rasulullah berjuang, sahabat berjuang, mengapa kita bisa punya alasan untuk tidak berjuang? Sedangkan cinta Beliau pada kita adalah cinta yang tak perlu disangsikan.

Saudaraku, kita ada karena cinta. Sekeliling kita ada karena cinta. Terlalu banyak yang telah diberikan cinta kepada kita. Maka persembahkanlah sesuatu untuk cinta.

Cinta itu bukan untuk dibiarkan bergitu saja, jangan diam tapi bergeraklah. Sebagai generasi muda Islam, kita harus memberi kontribusi dalam membangun peradaban. Tanyakan pada hatimu, apakah kau tidak malu bila agama Allah telah tersebar dan peradaban telah terbangun namun kita tidak ada andil di dalamnya?

Jalankan perananmu sebagai pelajar! Sejak engkau disekolahkan oleh ibu dan ayahmu, mereka selalu berdoa agar engkau meraih keberhasilan. Setiap langkahmu tak lepas dari doa mereka hingga nanti mereka terlelap di pembaringan terakhir dan tak mampu lagi menengadahkan tangannya untuk mendoakanmu. Pada setiap langkahmu dititipkan potongan-potongan harapan agar kau bisa menjadi yang terbaik. Saat kau lelah, kedua lengan hangatnya selalu siap untuk merangkulmu, menyediakan segala yang kau butuhkan meski mereka tak kalah lelah. Saat kau terpuruk dan tak ada seorangpun yang memandangmu, mereka selalu ada untuk berkata kaulah yang terbaik. Bila kau terjatuh, mereka akan menjadi orang pertama yang mengulurkan tangannya dan menjemputmu dengan secercah cahaya yang dikulum dalam senyumnya. Saat kecilmu kau bermain pisau, mereka akan menegurmu, bila kau tetap diam, mereka mungkin memarahimu atau bahkan akan melayangkan pukulan agar kau melepaskan pisau itu. Kau mungkin menangis dan marah dengan semua ini. Namun mereka tidak peduli dengan marahmu, karena mereka lebih peduli pada keselamatanmu, mereka sayang pada dirimu, karena mereka mencintaimu.

Apakah kau temukan alasan dari orang tua semacam itu untuk lalai dari tugasmu? Kau pelajar muda muslim. Tidak malukah engkau setelah semua yang mereka berikan, sedangkan engkau hanya duduk berpangku tangan, tidak peduli pada omongan dosenmu di kelas, terdiam saat kau kembali ke rumah, hingga kau tidak memperoleh manfaat dari perananmu sebagai pelajar? Tidakkah kau merasa bersalah atas setiap doa dan harapan yang dititipkan orang tuamu namun kau lalaikan? Tidakkah engkau merasa cinta pada mereka sehingga kau membiarkannya kecewa? Tidak takutkah kau bila ajal menjemput mereka sedangkan di akhir hayatnya mereka memperoleh kekecewaan atas kelalaianmu? Kuberitahukan padamu, bila kau saksikan ajal itu menjemput mereka di depan matamu sedangkan hal terakhir yang kau berikan pada mereka adalah kekecewaan, air mata akan mengalir dari kedua pangkal matamu. Tapi jangan kau remehkan air mata itu. Untuk menetes ke pipimu, dia akan membuat hatimu remuk dan menyesakkan dadamu. Namun bila kau tahan, itu justru akan lebih menyakitkanmu. Hatimu akan tersayat menjadi sobekan-sobekan kecil, tulang-tulangmu serasa kelu sehingga tanganmu tak dapat kau gerakkan meski sekedar untuk mengelus dada. Jangan katakan aku tidak memperingatkanmu tentang semua ini bila ternyata kelak kau temui kejadian serupa.

Jalankan peranmu sebagai seorang anak! Saat kau masih bayi, kau ditimang dan dinyanyikan lagu pengantar tidur. Mereka rela menjadi penyanyi walau bersuara sumbang, menjadi pelawak meski garing, demi melihat sepotong senyuman dari bibirmu dan gurat-gurat kebahagiaan di pipi mungilmu. Mereka rela kelaparan demi mengisi perutmu, rela menangguhkan keinginannya untuk memiliki pakaian baru meski pakaiannya telah usang demi memenuhi kebutuhanmu. Peluh-peluh menetes di tubuh mereka demi mengais rupiah untukmu. Meskipun lelah, mereka tetap berjuang. Getar-getar cinta yang memenuhi diri mereka yang membuatnya melakukan semua ini untukmu.

Apakah kau masih bisa menyia-nyiakan orang tuamu, enggan datang kepadanya ketika kau dipanggil? Lalu saat mereka tua, saat badannya tak mampu lagi digerakkan dan terpaksa buang air di tempat tidur, apakah engkau akan berpikir dua kali untuk merawatnya? Apakah kau akan takut tanganmu bau saat membersihkan kotorannya, sedangkan dulu mereka tidak pernah mengkhawatirkan yang demikian saat kau masih kecil? Mungkin kau bisa berkata tidak saat ini karena orang tuamu masih sanggup melakukannya sendiri. Tapi yang kuinginkan adalah pembuktianmu, mungkin 5-10 tahun lagi atau 10-20 tahun lagi. Sesungguhnya Allah yang menjadi saksi atas kata yang berbisik di hatimu.

Jalankan peranmu sebagai saudara dan sahabat! Rasulullah saw. bersabda bahwa tidak dikatakan sempurna iman seorang muslim sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Kutanyakan padamu tentang cinta pada saudaramu yang bersemayam atau mungkin tertidur lelap di hatimu sehingga ia hanya diam saat seharusnya kau bergerak untuk menyelamatkan saudaramu. Apa kau tinggal diam bila orang yang kau cintai berada di tepi jurang dan hampir terjatuh? Aku tidak tahu cinta yang seperti apa yang kau namakan cinta, namun bagiku cinta itu akan menggerakkanku untuk menarikanya dari tepi jurang. Meski harus kusakiti dia, yang jelas dia jauh dari tempat itu. Mungkin dia akan membenciku, namun aku yakin Allah kelak akan membuka matanya bahwa ini semua kulakukan karena aku mencintainya. Mungkin cinta itu tidak akan dia sadari di dunia, namun di akhirat kelak, semua pasti terbuka.

Bila mengaku cinta, mengapa tak kau tegur saudaramu saat melampaui batas? Mengapa sengaja kau lembut-lembutkan teguranmu padahal ia sebentar lagi jatuh ke jurang? Mengapa kau hanya diam? Itukah yang kau sebut cinta? Sebodoh itukah cinta? Selemah itukah cinta? Atau benar kecurigaanku, itu bukan cinta. Cinta untuk saudara yang Allah amanahkan kepada kita ternyata belum ada.

Cinta itu ibarat sambel pete’, dia pedas, bikin mulut bau, tapi bikin orang mau lagi. Ketika benar-benar mecintai, kita akan rela menegurnya walau berbuah kemarahan darinya, toh, itu memang demi kebaikannya. Kita pun akan menegurnya, memarahinya, atau kalau perlu memukulnya agar dia menjauh dari tepi jurang meskipun itu akan berbuah kebencian darinya. Ya, kau mungkin sakit hati atas kebenciannya, itulah rasa pedas yang akan kau temukan dalam cintamu. Karena kebenciannya padamu, mungkin dia akan menjauhimu seperti menjauhi orang yang habis makan pete’. Tapi semua itu tetap tidak akan merubah cintamu dan tidak pula mengurangi kekuatan cinta untuk terus menjauhkan orang yang kau cintai dari hal-hal yang bisa menjerumuskannya. Meski mungkin kau tak bisa lagi menegurnya atau memarahinya atas kesalahan yang dia perbuat, kau akan terus menyebut namanya dalam doa-doa malammu saat kau berkhalwat dengan Rabbmu.

Seorang sahabatku yang kucintai karena Allah dan peduli padaku karena Allah berkata, “Mungkin aku orang tebodoh di dunia yang setiap hari mengkhawatirkan teman-temannya, tapi dia sendiri tidak pernah dipikirkan oleh temannya kecuali hanya sedikit dari mereka. Apa yang harus kulakukan? Mana suaramu?”

Kukatakan dengan santai, “Tau arti cinta? Tau kesederhanaannya? Cinta itu merasakan tanpa minta dirasakan, memikirkan meski kita diabaikan. Bukankah cinta pada saudara-saudara memang amanah dari Allah? Mencintai karena Nya, peduli karena Nya, mendoakan karena Nya. Toh, balasan yang dijanjikan memang bukan dari saudara yang kita cintai tapi dari Dzat yang menganugerahkan cinta itu.”

“Aku tahu hal itu,” katanya, “Aku tidak berharap mendapat balasan untuk diriku sendiri. Aku hanya mau kita dan saudara-saudara yang lain saling memperhatikan.”

Akhirnya aku mengerti apa yang dia maksud. Dia merindukan cinta yang tak sekedar dideklarasikan atau hanya dirasakan. Dia menginginkan cinta yang punya pembuktian. Cinta yang punya kekuatan untuk membimbing orang yang dicintai menuju kebenaran. Cinta yang menyebabkan kita memperoleh naungan di hari kemudian saat tidak ada lagi naungan selain dari-Nya. Saat itu dipanggillah beberapa golongan untuk memperoleh naungan tersebut. Salah satunya adalah golongan orang yang saling mencintai karena Allah.

Cinta telah membawa kita sejauh ini. Cinta dari saudaramu telah membangunkanmu dari tidur panjang yang berujung kelalaian. Cinta dari orang tuamu telah hidupmu memiliki tujuan. Cinta dari rasulmu telah menunjukkanmu jalan menuju surga Rabbmu. Cinta dari Rabbmu telah memberikan semua yang kau butuhkan meski tak kau minta. Maka jadikanlah cinta itu alasan bagimu untuk maju.

Saudaraku, ini saatnya kau bertindak, jangan tinggal diam. Setelah semua ini, apakah kau masih punya alasan untuk tetap diam? Kecuali bila hatimu memang terbuat dari batu dan tidak ada tempat di dalamya untuk cinta. Saudaraku, bergeraklah, raih duniamu dan kumpulkan bekal untuk akhiratmu. Kelak kita harus menjadi muslim yang unggul tidak hanya secara kuantitas tapi juga kualitas.

Hal terakhir yang ingin kukatakan,
“Sampai jumpa di naungan Allah di hari kemudian. Di sana kita bersama bertasbih mengagungkan asma-Nya lantaran cinta tak bertepi yang dianugerahkan-Nya pada kita, lalu berterima kasih atas nama cinta Rasulullah saw., orang tua, dan saudara-saudara kita.”

“Selamat berjuang atas nama cinta.”

written by: Nila Sartika Achamdi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Babies' Brain Development

It is important to develop the brain of the baby as early as possible. Because an early development can give a better quality. There are some ways to make the baby’s brain grow faster.

Baby’s brain has the fastest growth when the baby is still in uterus. That’s why the baby needs healthy food in the greatest time development of baby’s life. Beside enough healthy food, mother has to stabilize her psychological. Because a bad condition of mother’s psychological influences the baby. While giving healthy food and keep mother’s psychological, a routine sport can also support the uterus environment.

ASI (Air Susu Ibu) or the original milk from the mother is the most important food since the baby came to the world. Based on researches, baby which gets ASI has more eating appetite. It means a bigger chance to support baby’s brain by food. Moreover, there are about 11 scientists proved that if baby got ASI, the baby would has a bigger chance to move a step forward. Because ASI consists of 400 nutrients which we cannot find in formula milk. For example, ASI has enough cholesterol for increasing brain’s development.

Music is also such a way to make the baby calm. Music is a brain stimulant for baby. The research showed us that the premature baby has a more developed brain when listening to the classic music. The scientists said that music can organize the neurons which are about creative thinking. According to the doctors, music has effect to make calm the listener. In addition, if the baby is calm, baby will have a bigger chance to learn.

In conclusion, those are the ways to develop baby’s brain. Because the earlier development can make a better quality for baby.

written by: Nila SArtika AChmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kerajaan XI IA 1

Written by:Nila Sartika Achmadi

Konon di sebuah masa, hiduplah kerajaan yang aman, damai, dan sejahtera. Rajanya adalah Baginda Jupridin yang doyan makan kacang. Hingga akhirnya dia memerintahkan Dewi Nila, salah seorang dari tujuh dewi yang sering turun kebumi saat ada pelangi, untuk menghidupkan kacang yang ada di kebunnya. Tapi, Dewi Nila salah kira, dia mengira bahwa kacang itu harus hidup layaknya manusia. Bekerjasama dengan sekuntum bunga Melati dan tumbuhan Muniran, Dewi Nila memohon kepada sang Pencipta untuk menghidupkan kacang itu. Lalu mereka membawanya kepada Baginda Jupridin. Beliau menjadi sangat tekejut, kacang yang hanya diharapkan tumbuh subur di kebun agar kerajaan bisa terlihat Asri-anti juga agar baginda bisa mudah makan kacang, Tenri Sannah-sanna kini menjadi seorang manusia.

Baginda Jupridin menjadi gusar. Sebuah pertanyaan terus menghantuinya ”Apakah ini tidak melanggar Norma adat dan menyalahi Fitrah?” Kemudian duet penasihat Yusuf bin Husain dan Farid bin Huzein mengusulkan untuk mengadakan rapat dengan seluruh warga di rumah keAgungan istana. Akhirnya mereka berIkram untuk memelihara jelmaan kacang itu dan sepakat bahwa hal itu bukanlah pelanggaran Norma dan Fitrah.

Pada hari Jumat-hir, Baginda Jupridin memberikan nama resmi kepada kacang itu. Namanya adalah…Achan’k. Baginda berpesan untuk senantiasa melakukan Amaliah-amaliah, tapi jangan sampai Ria!

Karena sangat sayang kepada Achan’k, Baginda menghadiahinya trio dayang andalan yang terdiri dari Irma, Rahma dan Wiwi, juga tiga orang penjaga bernama Erdi, Divar, dan Lutfi. Bahagianya Achan’k (^_^)! Bukan hanya itu, dia juga memperoleh tiket semalam di Musdalifah.

Sekarang, Achan’k beserta trio dayang andalan, dan tiga orang algojo berangkat ke Musdalifah. Di perjalanan, rombongan Achan’k menjadi sangat takjub, seekor anjing lucu dan seekor kucing manis terlihat begitu akrab. Mereka juga pandai berbicara, nama anjing itu adalah Shipo dog dan kucingnya bernama Uchi cat. Karena terlalu asyik, Achan’k tidak sadar bahwa seekor ular sedang mengincarnya, hingga ular itu mematuk langannya. Semua orang menjadi panik. Lalu seorang tabib sakti yang berasal dari celupan Ilahi lewat. Tabib itu bernama Sibghatullah. Dia memberinya Asy-Syifa yang sangat manjur.

Achan’k dan rombongan sudah merasa lapar. Bekal mereka pun sudah habis. Kemudian mereka singgah diwarung milik Erna dan Naima untuk makan dan membeli berbagai cemilan. Salah satu cemilan yang dia beli adalah kacang Sukri, yang rencananya akan dijadikan oleh-oleh untuk Baginda.

Setibanya di Musdalifah, Achan’k bertemu orang yang mengaku Malaikat Ri-wan yang ingi membawanya ke surga. Tetapi rombongan Achan’k ternyata diterbangkan menuju suatu kerajaan yang dikepalai oleh Raja Damang. Ternyata surga yang dimaksud adalah SMANSA Maros, he he he !!!!


This is a gift for my friends, just to remind that we ever be together in our class room, and I want to be forever in their heart

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

A COCKLE WITHOUT PEARL

Latterly, the influence of foreign culture grows bigger. It is caused by a larger coverage area of mass media, such as television, radio, etc. There is a faction whose goal is just to get profit. They are the capitalist who use the power of mass media to make a same appetite as a pop culture for the amenity of getting much profit.

In this case, teenagers become a delicious target. In their labile, teenagers trend to imitate. Because they have not got their spirit yet. They think, by following the pop culture they will be received in their own society. That’s why, they just become the copy-cat of pop culture’s icon

Many teenagers have no appreciation anymore to the culture. They are crazy about the pop culture. While there is no icon of it that can save the culture’s authority. They just make it worse. Because when they save the culture, the capitalist will not get a same appetite of the public and it will be more difficult to get profit. The teenagers do not want to know anymore that the heritage of their ancestor needs to be paid attention. The heritage is the culture. Whatever they say, the culture will be in the responsibility of each generation. Nevertheless, for the teenagers, the culture is going to be a conservatism which can bring them left behind.

In this globalization era, all of countries try to be the modern ones by making some changing in the society. Modern is defined as a threaten of western people’s developing, or imitate the technology, education, economical, and industry of western countries. However in the way, they get more than what they need. They are not only interested with the positive side of modernization, they prefer to the imitating of life style of western people, the clothes, how they talk, also the attitude. Actually it is more than a modernization, it is a westernization.
It causes many people do not recognize their culture anymore. The capitalist by mass media which is helped by globalization era, do an erasing process of the identity of Indonesian people. It means the erasing of Indonesian’s self esteem.

Actually, we have to try to love what we have. Because if we do not do that, we will have nothing. If so, we are not more than a lost amnesia child in the jungle. He has nothing, weather guide or his identity. We have to wake up, never stay in the dark of detached.

The culture is guide for the owner. It shows the way to do many things. If we see the cultures of Indonesia, we will be proud of our country. We have many cultures, because each ethnic has their own culture. The differences become a challenge to maintain the one heart of our country. It is the spirit of Bhinneka Tunggal Ika.
To prove that the culture can be a guide, it is an identity, and its is the symbol of Bhinneka Tunggal Ika, here will be an example of the culture of Buginess and Makassarness ethnic in South Sulawesy.

The culture of Buginess and Makassarness is consist of custom in the society. The custom is based to five fundamental aspects of pangaderreng (custom and manners). It is concluded in ASBIRAWA ( Ade’, Sara, Bicara, Rampang, and Wari).
Ade’ is part of pangaderreng which is consist of ade’ akkalabinengeng and ade’ tana. Ade’ akkalabinengeng is norm about marriage, method of clan, rights and obligations, and domestics ethics. Ade’ tana is a norm about governance. Construction and observation of the execution of ade’ is done by several custom functionaries, such as: pakatenni ade’, pampawa ade’,and parewa ade’.

The second is Sara. It is a part of pangaderreng which is based to Islam.
Next is Bicara. It is about activities and concepts prestiptive law and justice. It is different with just speak or talk. It is about delivering speech regarding the prestiptive law.

Then about Rampang. It is a propos to poem and analogy. As a part of pangaderreng, rampang keeps the certainly and the continuity of an oral decision. It also makes some analogies of cases and what the government should decide.
The last is Wari (indeeling in standen), it is the part of pangaderreng which is used to classify many things related to the human’s life.

Those are the aspects which describe the mind of Buginess and Makassarness. Those makes identity, prestige and self esteem for the ethnic. It is bore a new concept namely siri’. For the Buginess and Makassarness, there is three marriage which are included to the ideal ones.

First, assiialang marola. This is the marriage with cousins of first degree. The cousin of first degree is child of our parent’s brother or sister.
Second, assialanna memang, it is a marriage with cousins of second degree. The second degree is the cousin which is the child of our parent’s cousin of first degree. Third, ripadeppe mabelae, it is a marriage with cousins of third degree. The third degree cousin is the child of our parent’s second degree cousin.
Those all the ideal marriages. Other than it, the ideal marriage is not obligation, therefore many people get marriage not with their cousins.

The people have opportunity to choose woman for their marriage. But they may not get marriage with their parents, their brothers or sisters, son and daughter in law, parents in law, uncle and aunt, nephews and nieces, grand parents, and grand children.

The marriage with those people is called salimara’ (forbidden) marriage.
The Buginess and Makassarness have a customing house and customing clothes. The house of Buginess and Makassarness is included of three parts. Kelle balla is a part of the house which is used to welcome visitors, living room, bed room, and kitchen. Pammakkang is used to keep heirloom. And the last is passiringang, it is used to keep the farming tools.

The bigger, the more beautiful and the more perfect facilities in the house describe the higher of the nobility. For example lompo, it is a big house for the noble, while balla is a house for general citizen.

The Buginess and Makassarness have a customary clothes named baju bodo, it is a sarong with bright color and the motif is squares. The color are usually red, pink, blue, and green.
The custom and manner is a guide for the people to show them what should be done. It is also such an identity, because the culture describes it. Indonesia have many different cultures. For example the traditional dances; turtor dance from Batakness, piring dance from Minangkabauness, jaipong dance from Sundaness, reog dance from Javaness. The differences is such a symbol of Bhinneka Tunggal Ika.
We have to develop the national culture, therefore the identity of our country will not be erased. Because we are the new generation which should keep the culture from ancestor.

National culture is for developing of national culture insight in all sides in our life. It also has a goal to strengthen the personality and self esteem of our country and to be the reason to be proud of our country.
In developing the national culture we need ability to increase the value of national culture and we have to be ready to make a filter from the foreign culture. Because not all of things from foreign can give positive effect in our life.
To develop the national culture, it is needed to make the society understand of the importance of the culture. So that the society can be proud of what they have. And step by step they can love the culture because of the pride. It is such a way to everlasting the culture. We also need to avoid the feudalism. It is a system which glorify the capitalist. While the capitalist is a creature which can erase the national identity also the self esteem of Indonesian people.
Actually the pride of the national culture is not enough to save the national culture itself. The using of Indonesian language is needed to be increased. Because Indonesian language is used as the symbol of national pride, the symbol national identity, and the connector of each side of the country.
Indonesian language may not become a guest in its own home. For example, in the label of food, the foreign language become he first one, and Indonesian is only as a translator. Indonesian language is lack of their right and their position as a host.

We cannot close our eyes that we do need to be able to have capability in foreign language. Because it is such a connector with other countries. But the position in our country may not be higher than our own language.
Those the way to be proud of our culture, to be proud of our identity and to everlasting the culture. We may not be a cockle without pearl. The cockle will prefer when they have a pearl to be wanted. It is not more than a food when it does not produce pearl.

Indonesian people is not more than a cockle without pearl when they forge their culture. Like that cockle which can be eaten only; the Indonesian people just become target of reaching a big profit by the capitalist. They have nothing to be brought and say that it is mine.
You are just a cockle without pearl when forgetting your culture.

written by: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dear Ayoe

Tersembunyi sosok pilu di balik mega
merangkul haru tetes-tetes cinta

Jantungku berdebar kencang
saat tersibak sesaat tirainya
Nafasku tersentak
kala menggema
deru nafasnya

Gadis kecil berbaju ungu
Menarik manja ujung jilbaku

Jantungku berdebar
Nafasku terhentak
Kuterperanjat

Dia terkulai layu
Menatap sayu
Merengek padaku
“Jangan tinggalkan aku!”

Februari 07
by: Nila Sartika Achmadi

"puisi ini kutujukan untuk saudaraku Ayoe cute, kubuat beberapa saat sebelum kita berpisah"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kaukah itu?

Mentari bertahta di junjunganku
Gagah, penuh kharisma
Kaukah itu?
Mesi tak Kau jawab
Kutau itu bukan Kau
Rambulan hinggap sejenak di dadaku
Putih...dan kian suci
Kaukah itu?
Mesi tak Kau katakan
Kusadar itu bukan Kau
Lantas siapa?
Di mana Dia yang kucari?

Cintaku tak kunjung terjawab
bila tak kutemukan yang kucinta
Pujaku tak jua berarti
bila tak tahu kutujukan siapa

Bukan mentari
Bukan pula rembulan
Lantas siapa?

Mungkin Dia yang kucinta
Ada di balik mentari dan rembulan
Mungkin Dia yang kupuja
Memang seniman ulung yang merangkai bulan dan matahari

written by: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pa Citak
(Pacaran Ala Cinta Kodok)

written by: Nila Sartika Achmadi
“Masa-masa remaja memang saat terheboh sepanjang usia kita.”
Setidaknya itulah yang terpikir olehku kini di usiaku yang akan menginjak sweet seventeen. Uh, kapan sweet seventeen itu datang? Tiap hari kutanyakan itu pada hatiku. Namun kuhibur diriku dengan berkata, “Ini memang bukan sweet seventeen, but it’s my nice sixteen,” sambil kuputar badanku di depan kaca dan senyum-senyum sendiri. Sweet seventeen, nice sixteen, uh, dari tadi Bahasa Inggris terus, ya. Tapi begitulah, namanya juga era globalisasi, asal sudah bisa pake bahasa Bule’, semuanya keren, deh. Memangnya mau dibilang big baby kalau tidak tahu Bahasa Inggris? Oh, no.
Kalau berbicara soal remaja, yang terpikir pastinya adalah pemberontakannya, ribuan pertanyaaannya, perdebatan, persahabatan, hingga percintaan. Kompleks, itulah masa remaja. Aku memang tertarik waktu Papa bilang bahwa masa remaja adalah puncak pemberontakan manusia sebagai seorang anak, sebagai bagian dari masyarakat, juga sebagai hamba Tuhannya. Aku juga senang mendengar Mama bercerita tentang persahabatan tanpa akhir—meski kadang jadi sok solider—yang dilaluinya saat masih remaja dulu. Namun aku lebih girang ketika diam-diam Papa dan Mama curhat padaku tentang cintanya di masa muda. He…he…hitung-hitung pengalaman, siapa tahu bisa jadi pelajaran.
Pokoknya, mereka seolah kembali muda saat bercerita tentang masa remaja mereka. Masa pacaran yang gila, juga sakitnya saat mereka patah hati. Wess..., “ngiris,” katanya.
Duk...duk..., duk..duk.... Bumm, yee... welcome to my sweet seventeen. Jarum jam menunjukkan pukul 12/1 (pukul 12 lewat 1 detik) tanggal 12/1 (tanggal 12 bulan Januari¬).
Akhirnya aku tiba juga di usia 17 tahun. Usia yang sangat kutunggu-tunggu, boleh jadi juga hal yang sangat dinantikan oleh remaja-remaja lain. Yah, ini tidak lebih dari sekedar keinginan seorang remaja untuk memperoleh kebebasan. Karena asumsi masyarakat bahwa usia 17 tahun adalah masa awal remaja untuk mampu menimbang baik buruknya sesuatu. Jadi, orang tua tidak perlu terlalu khawatir—setidaknya itu yang ada di pikiran kebanyakan remaja, mungkin termasuk aku. Jadi ingat lagunya Melly Goeslaw,
“Bebaskan aku oh, Mama
kuingin coba semua
hidupku tak berarti tanpa
mencoba semua.”
(soundtrack film Eiffel...I’m in Love)
Hal yang wajar jika remaja menginginkan sebuah ruangan bermerk kebebasan. Bayangkan saja, sejak kecil mereka berada di bawah pengawasan orang tua 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pokoknya, everytime and everywhere lah. Tapi, kebebasan bukan berarti liar, bukan berarti hidup tanpa aturan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung—kata-kata ini dikutip saat mama lagi ngomel.
Malah remaja dan cintanya adalah hal paling unik, dan tak henti-hentinya mengisi ruang teristimewa di galeri masa remaja. Bagiku sendiri, cinta adalah kata termanis, meski mungkin hiperbolis kalau kukatakan tak tertandingi. He...he....
Ngomong soal cinta, ada berbagai kisah yang dapat kita kutip. Di Indonesia, ada kasih tak sampainya Siti Nurbaya-Samsul Bahri. Di negeri Tirai Bambu, ada kisahnya Sampek-Engtay. Ada lagi kisah Layla-Majnun, dan yang paling laris adalah cerita tentang Romeo-Juliet yang mati konyol atas nama cinta, he...he....
Setiap makhluk bernyawa pasti merasakan yang namanya cinta. Seorang pembunuh bayaran saja—populer dengan sebutan Hit Man—bisa merasakan getar-getar cinta, apalagi orang-orang yang bahkan tidak mampu membunuh seekor kecoa —nyindir nih, ye.
Tapi mungin, sekarang telah terjadi evolusi cara pengekspresian cinta dari zaman kakek-nenek dulu sampai zaman sekarang. Ada adaptasi, seleksi alam, dan mutasi—ayo, pasti ada yang teringat buku Biologinya, kan. Orang-orang dulu mengekspresikan cintanya dengan cara yang lugu—bukan lucu dan guriting (^_^)—penuh etika, kalem—eh...eh... bukan kayak lembu (“,)—juga penuh pertimbangan norma. Pokoknya, keep my finger for them, lah.
Namun, dengan batasan tersebut, mereka masih dapat menikmati yang namanya fese romantis. Perasaan yang tertata membuat mereka terlihat lebih anggun dalam pengekspresiannya.
Meski demikian, aku merasa sangat susah untuk menjadi anggun seperti mereka. Jatuh cinta saja, entah sudah yang keberapa kali, padahal aku baru kelas XI SMA. He...he.... Tapi kalau ditanya apa definisi cinta, aku sendiri susah menjawabnya. Buka kamus, yuk!
Berdasarkan kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS. Poerwadarminta, arti cinta itu ada 4. Kalau kita lihat di kamus Oxford, arti cinta lebih kompleks lagi. Untuk cinta yang digolangkan sebagai noun (kata benda), ada sekitar 6 definisi, sedangkan untuk kata cinta yang tergolong verb (kata kerja) ada 3 definisi. Uh...entahlah, cinta memang memusingkan, bahkan Ti Pat Kay punya pepatah sendiri tentang cinta. “Cinta, deritanya tiada pernah berakhir.”
Tapi, yang membuat aku bertanya-tanya, mengapa rasa cinta itu berpindah-pindah. Mengapa aku tidak hanya mencintai satu orang lak-laki saja, lalu biarlah cintaku untuk dia saja, sampai kumenutup mata—kayak lagunya Acha.
Entah, aku ini orangnya bagaimana, tapi kadang aku melakukan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya. Ini dia salah satunya.
Pacaran. Hayo...siapa yang lagi pacaran ? Ah, aku tidak nyindir orang lain, kok. Hm.... Pacar itu batang inai sebangsa Leswonia. Biasanya dipakai sebagai pemerah kuku. Warnanya merah bata, habis itu lama-lama hilang, kalau mau pakai lagi.
Mungkin itu analoginya. Pacaran adalah sebuah warna bagi jalan hidup kita. Suatu saat nanti kalau hilang atau bosan, bisa diganti “pacar” baru.
Ya, mungkin begitulah nasib orang-orang yang pacaran—aku, kamu, dan mereka. Cinta atau tidak saja belum jelas, eh, mau jalin hubungan. Belum lagi, cintanya lompat sana-sini. Kayak kodok saja. Bisa dibayangngkan bagaimana jadinya kalau kodok pakai pacar. Rasanya tidak jauh beda dengan manusia yang pacaran.
Kodok pakai pacar, lompatnya ke sana ke mari dengan kuku merah bata—kodok punya kuku tidak, ya?—sedangkan manusia yang pacaran, cintanya berpindah-pindah, pacarnya juga berganti-ganti.
Uakh... tidak... mana mungkin kusamakan diriku dengan kodok.
Ya, iyalah. Kodok yang lompat-lompat, tidak butuh aturan, kan, kalau masih perawan atau perjaka, lompatnya ke arah sini, yang sudah nikah, lompatnya ke sana. Sama saja dengan pacaran, ikatannya tidak jelas, aturannya tidak ada.
Tapi, ini bisa jadi jalan untuk mengenal lebih jauh calon pasangan hidupku.
Ce...ile.... Memangnya kamu kalau pacaran tidak pernah pakai jaim—jaga imej—ya? Pasti ada saja, hal yang kamu sembunyikan, kalau bukan untuk kelihatan sempurna di hadapan doi, setidaknya biar kamu tidak kelihatan hancur-hancur amat.
Tapi, kami kan, saling cinta, wajarlah kalau kami pacaran.
Uh... cintanya kok, diagung-agungkan. Lagian, perasaan kamu untuk sekarang ini, masih cinta kodok. Tidak ada ikatan, tidak jelas tujuannya, lompat-lompat lagi. Ini sih, pacaran ala cinta kodok.
“Hai kaum Hawa, pacaran itu sarat dengan berbagai pelecehan. Mulai dari pelecehan fisik, sampai denga pelecehan psikis. Pelecehan fisik, misalnya yang sampai fisiknya “digerayangi” sama manusia yang dianggapnya pacar. Pemerkosaan atas nama cinta juga tidak jarang terjadi. Maklumlah, perempuan itu hatinya gampang luluh, jadi ya...gitu deh. Kalau pelecehan psikis misalnya tidak PD, munculnya rasa takut kehilangan (possesive), ketergantungan, bahkan tidak merdeka dalam mengambil keputusan.”
“Hai kaum Adam, tidak malukah kalian, mempermainkan makhluk yang berasal dari golongan ibu kalian—bahasanya kayak titah raja. Seharusnya kalian menjaga para perempuan, mengayomi mereka, bukan malah sebaliknya. Jika mereka terbawa nafsu, seharusnya kalian bisa meluruskannya, bukan malah membuatnya semakin salah arah. Kalian kan, lebih bisa mengesampingkan perasaan dan mendahulukan logika, secara fisik kalian juga lebih baik. Tapi mana tanggung jawab kalian. Payah.”
“Dasar, kodok-kodok muda.” Mama terlihat mengakhiri latihan pidatonya sambil tertawa cekikikan di depan cermin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS