When I was (part II)


Saat aku masih tinggal di rumah, aku sering dibuat jengkel oleh kedua adikku. Mereka akhirnya mengakui, mereka memang suka melihatku marah, ngamuk, dan ngambek, makanya mereka sering uuhhh…. Nyebelin.

Dulu itu aku…
Males banget keluar rumah. Pokoknya pagi ke sekolah, sore pulang sekolah, selebihnya aku gak kepengen lagi menginjak teras rumah. Males. Makanya, setiap aku mau jajan sesuatu, pasti minta tolong ke adikku, khususnya adikku yang bungsu. Tapi sayang, dia komersil banget. Kalo aku pengen jajan yang harganya Rp 1000, dia kadang minta gaji seribu juga, tidak jarang dia bahkan minta gaji plus harus dibagi jajanannya. Nyebelin gak tuh. Setiap aku bilang sebel ke dia, paling dia bilang, “Yaudah, beli sendiri aja.” Hm… akhirnya aku pun ngalah, karena gak mungkin aku keluar beli jajan sendiri. Males.

Dulu itu aku…
Egois banget. Sebagai seorang anak perempuan, anak sulung pula, seharusnya aku mau mengalah pada adikku. Tapi kata mengalah selalu ingin kuhapuskan dari kamusku. Kenapa selalu aku yang mengalah (lagu?). Misalnya, abis makan, adikku yang kedua (cowok) gak ngeberesin meja makan. Pasti aku akan ngamuk abis-abisan. Kalo Ibu liat, pasti aku yang disuruh ngeberesin mejanya. Padahal bukan aku yang makan. Kalo “si cowok” minta tolong diambilin segelas air, aku pasti bakalan ngomel panjang lebar dan bilang bahwa dia gak berhak nyuruh-nyuruh aku. Padahal, setelah kurubah sikapku, ternyata dia bisa lebih pengertian. Aku mulai terima kalo dia minta tolong diambilin apa-apa, aku juga mulai terima kalo harus ngeberis meja bekas dia makan. Akhirnya, dia menjadi patuh, aku minta tolong apa-apa dia mau. Mungkin selama ini dia gak tau harus belajar dari siapa cara untuk mengerti orang lain, tapi setelah melihat contoh dari kakaknya—hehe—dia akhirnya tau dan mau SEDIKIT mengerti orang lain.

Dulu itu aku…
Bukan Nila yang kuinginkan. Walaupun Ibu dan Bapak selalu membanggakanku di depan adik-adikku sebagi sosok teladan, tetap saja ada hal dari diriku yang sangat perlu untuk diubah. Memang Nila juga manusia yang jauh dari sempurna, apalagi untuk dijadikan sebagai teladan. Tapi itulah mereka—my Mom and Dad—yang selalu melihatku dari sudut pandang lain. Walau aku masih jauh dari sempurna, mereka selalu menganggapku sebagai anugerah terindah dari Allah. Mereka masih selalu melontarkan kata-kata, “Kalian contoh dong, Kakak Nila, dia itu… bla… bla… bla….”. yah, mungkin aku dulu itu seperti itu. Aku yang sekarang sudah seperti apa, aku pun belum sepenuhnya tau. Yang jelas aku terus berusaha untuk menempa diriku menjadi a better Nila.

by: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment