When I was (part I)


Waktu itu aku lagi buka-buka komputer. Tanpa sengaja kutemukan sebuah dokumen yang aneh menurutku. Judulnya,
Pesan Untuk Kedua Kakak Kalau Misalnya Saya Sudah Tidak Ada”.

Kata-kata dalam judulnya lumayan panjang dan membuatku berpikir cukup panjang untuk yakin bahwa ini ditulis oleh adik bungsuku. Melihat waktu pembuatannya, tulisan ini dibuat saat dia masih duduk di bangku kelas 1 SMP.

Kuputuskan untuk membuka dokumennya.

“Untuk Kakak Nila yang sangat saya sayang. Ka, maaf kalo selama ini saya sering mengolok-ngolok kakak, tetapi dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat menyayangi kakak. Walaupun saya sering marah kalo kakak menyuruh saya, tetapi saya sangat ihklas. Itu hanya karna saya ingin melihat kaka marah. Ka, jujur saya ingin merasakan sekali saja diperhatikan oleh kaka saya. Terkadang saya iri kalo melihat teman saya bermain atau jalan-jalan sama kakak mereka. Karna setahu saya, kaka hanya sibuk dengan pelajaran dan sekolah kaka sendiri. Walaupun saya tau kakak berjuang keras untuk sekolah dengan baik hanya karna ingin melihat saya, kakak Herul dan Mama bahagia tetapi saya ingin sekali kaka bisa mengerti saya. Ka hanya itu satu satunya yang dapat membuat saya bahagia.”

“Untuk yang tersayang Kakak Haerul maaf kalo selama ini saya suka membangkan kepada kaka; walaupun saya tahu bahwa teguran kaka itu hanya demi kebaikan saya; karna kaka tidak mau melihat saya ditindas oleh siapapun kecuali mama ,bapa ,kaka nila dan kakak Haerul. Kakak hanya ingin melihat saya hidup tanpa ada tindasan dari orang lain.”

Ada gumpalan rasa yang susah diterangkan saat selesai aku membacanya. Pesan yang singkat namun bermakna.

Yah, aku dulu memang tidak banyak menyiapkan waktu untuk adik-adikku. Apalagi menginjak bangku SMA, aku akhirnya diizinkan untuk mengikuti kegiatan ekskul sebanyak yang kumau. Hampir setiap hari aku pulang sore dari sekolah, kadang sampai menjelang maghrib, pernah juga sampai shalat maghrib di mushalla sekolah. Hal tersebut terus berlangsung setiap hari.

Saat pulang dari sekolah, aku biasanya mengahbiskan waktu untuk beristirahat, kerja PR, atau nonton tv. Aku jarang meluangkan waktu untuk bermain bersama adik-adikku. Padahal adikku yang bungsu sebenarnya sedang membutuhkan perhatian yang lebih. Aku pun, termasuk orang yang tidak bisa diganggu. Apalagi saat aku bekerja di depan komputer, maka pintu kamar akan kukunci. Aku tidak bisa mengerjakan apa-apa saat ada orang yang terus mengajakku berbicara atau ada yang mengotak-atik barang-barang di kamarku.

Pernah, adik bungsuku entah kenapa kepengen banget masuk kamarku padahal aku lagi ngerjain tugas di komputer. Dia terus memaksa, akhirnya kuperbolehkan masuk dengan syarat: gak boleh ngajakin aku ngobrol, gak boleh megang atau mindahin barang apa pun di kamar, gak boleh ngomentarin apa-apa tentang tulisanku, atau apa pun, hanya boleh diam di atas tempat tidur. Dia pun setuju. Awalnya si bungsu mulai tidur, sampai akhirnya merasa suntuk sendiri dan keluar meninggalkanku sendiri.

Dulu mungkin—memang—aku terlalu disibukkan oleh berbagai organisasi dan lomba-lomba yang selalu kuikuti. Aku merasa rumah adalah tempat istirahat. Namun, tanpa kusadari aku melupakan adikku yang ternyata juga butuh dimengerti. Kuminta seisi rimah untuk mengerti kebutuhanku berorganisasi, mengerti kesibukanku di sekolah, mengerti bahwa aku butuh istirahat saat tiba di rumah, tapi aku kadang lupa untuk mengerti mereka.

I’m sorry!

By: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment