CINTA SAMBEL PETE’

Menelaah makna cinta, tidak akan cukup seluruh kata untuk mendeskripsikannya. Cinta tak henti-hentinya menjadi inspirasi dan menjadi alasan untuk bertahan, alasan untuk maju, dan alasan untuk mengalah. Mencintai adalah berkorban, mencintai adalah tertawa untuk orang lain meski dirimu sendiri tak sanggup untuk sekedar mengurai sepotong senyuman. Cinta adalah alasan mengapa bumi berputar, cinta adalah alasan mengapa bunga-bunga tetap bermekaran, cinta adalah alasan mengapa saat ini kita dapat bertemu melalui ukiran kertas yang menjadi jelmaan dari suara yang berbisik di hatiku.

Welcome to the world where you and me will gather. Together we explore the love.

Mau tahu tentang cinta? Tanyakan kepada ibumu, tanyakan kepada ayahmu mengapa engkau dilahirkan. Mungkin akan dijawab, “Karena cinta.” Hatinya bisa saja berkata hal yang sama atau...sebenarnya hati kecilnya berbisik, “Kecelakaan, Nak.” Kecelakaan atas nama cinta dan pemakluman atas nama cinta. Cintakah itu, atau dia adalah nafsu yang sedang memerankan tokoh cinta. Di panggung sandiwara mungkin dia berlabel cinta, namun sampai tiba di batas waktu, dia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Nafsu.

Tanyakan lebih dari sekedar kelahiran, tanyakan tentang penciptaan. Mengapa ada aku dan kamu, mengapa moyang kita diciptakan. Ternyata bukan kau, bukan pula aku yang pertama kali menanyakan hal ini. Jibril pun menanyakan hal yang sama saat Allah hendak menciptakan moyang dari moyangku dan moyang dari moyangmu sebagai khalifah di muka bumi ini.

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”

Allah menjawab,“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.”

Bila bertanya tentang cinta, maka inilah cinta. Karena Allah Ar Rahman Ar Rahim, diciptakanlah manusia lalu diajarkannya apa yang belum Allah ajarkan kepada hamba-hamba Nya sebelum manusia.

Namun, kuberitahukan kepadamu apa yang kuketahui, ingin kuhindari dan sedang kujauhi. Kesombongan. Rasa sombong adalah bentuk pengkhianatan cinta, penyelewengan atas anugrah yang diberikan kepadanya. Seperti iblis yang enggan bersujud untuk menghormati Adam lantaran rasa sombong yang menggrogoti jiwanya. Lalu hanya murka Allah baginya.

Ingat ketika dulu bapak moyang kita Adam a.s. memakan buah dari pohon yang Allah bahkan melarang untuk mendekatinya. Allah tetap menerima kesungguhan Nabi Adam yang menyesali kesalahannya. Allah menerima tobat Beliau. Tanyakan pada hatimu hal serupa yang kutanyakan pada hatiku. “Bukankah ini semua cerminan cinta sang Khaliq pada hamba-Nya?”

Cinta Allah bukan sekedar ampunan bagi siapa yang mau bertobat, namun bumi beserta isinya pun diamanahkan kepada kita untuk diolah, dikelola, dijadikan sumber kehidupan di dunia sebagai bekal di akhirat. Kurang apa lagi Allah mencintai kita, surga disediakan-Nya, jalan menuju surga ditunjukkan-Nya, neraka pun diciptakan-Nya agar kita condong kepada surga-Nya.
Kau...aku...kita tak perlu jadi pecinta yang hebat untuk memulai, tapi kita bisa memulai untuk menjadi pecinta yang hebat dengan menyadari segala nikmat yang Allah berikan yang harus kita syukuri dengan hati, lisan, dan perbuatan.

Belum cukupkah cinta Baginda Rasulullah saw. untuk menjadi teladan bagi kita? Allah memilih Beliau untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada seluruh uman manusia. Namun yang Beliau lakukan bukan hal yang mudah. Perjuangannya meletihkan, tapi beliau tidak mengeluh, justru Beliau tetap larut dalam perjuangan tanpa henti. Menurutmu apa yang membuat Beliau bertahan walau tersakiti? Semua karena cinta, cintanya pada Rabbnya dan cintanya pada umatnya.

Maukah kau mendengar kisah perjuangan cinta rasulullah? Kisah yang baru saja kubaca semalam, kisah yang selama ini kuabaikan karena terlena oleh dongeng Beauty And the Beast, kisah cinta Romeo dan Juliet, dan perjuangan cinta pangeran dalam kisah Sleeping Beauty. Ayolah...kau harus mendengar kisah ini. Aku tidak mau kita tidak bisa menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur kelak tentang siapa rasul kita. Cukup dengarkan kisah ini lalu ceritakan kepada saudara-saudaramu, anak-cucumu kelak, dan umat muslim di seluruh dunia. Jadikan ini sebagai pembangkit ghirah di saat engkau letih berjuang.

Pada usia 40 tahun, Muhammad saw. menerima pengangkatannya sebagai Rasul. Wahyu pertama yang diterimanya, membuat Beliau pulang ke rumah dengan gemetar. Untung saja istri Beliau yang begitu bijak menyelimuti dan menenangkan Beliau hingga Rasulullah saw. pun tertidur.

Waraqah, penganut agama Nasrani yang mempelajari Injil dan Taurat berkata kepada rasulullah,“Quddus, Quddus! Hai (Muhammad) anak saudaraku, itu adalah rahasia yang paling besar yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Wahai kiranya aku dapat menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup, dapat melihat ketika engkau diusir oleh kaummu.”

Nabi lalu bertanya, “Apakah mereka (kaumku) akan mengusir aku?”

Waraqah menjawab, “Ya, semua orang yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa ini, mereka akan dimusuhi. Jikalau aku menjumpai hari dan waktu engkau dimusuhi itu, aku akan menolong engkau sekuat tenagaku.”

Meski mengetahui betapa berat rintangan yang sedang menanti perjuangan kerasulannya, Beliau tidak gentar. Bahkan, setelah cukup lama beliau menyebarkan Islam di Mekkah, paman Rasulullah saw. menyampaikan ancaman pemuka Quraisy pada Beliau bila tetap meneruskan dakwahnya. Menanggapi hal itu, Beliau berkata dengan tegas:

“Demi Allah wahai pamanku! Sekiranya mereka meletakkan matahari di sebelah kananku, bulan di sebelah kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan pekerjaan ini, meski aku akan binasa karenanya, aku tetap tidak akan meninggalkan pekerjaan ini.” Rasulullah pun berpaling dan menangis. Betapa teguh hati rasulullah untuk memperjuangkan agama Allah.

Pada tahun ke 5 kerasulannya, beliau harus menghijrahkan sahabat-sahabatnya karena Beliau tidak tahan melihat mereka terus disiksa oleh orang-orang Quraisy. Sedangkan Rasulullah saw. sendiri tetap berada di Mekkah untuk menyebarkan Islam kepada kaumnya.

Keluarga Rasulullah pun tak urung terhindar dari siksaan orang Quraisy. Keluarga Beliau yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang membela Rasulullah sekuat tenaga akhirnya diboikot oleh pemuka Quraisy. Mereka memutuskan segala hubungan pernikahan, jual beli dan saling mengunjungi dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Selama pemboikotan yang berlangsung sekitar dua tahun itu, Rasulullah saw. dan keluarganya menderita kemiskinan dan kesengsaraan.

Itu hanya sekelumit penderitaan yang dialami rasulullah saw. dalam menyebarkan agama Islam demi menunjukkan jalan kebenaran kepada kita semua. Belum lagi berbagai percobaan pembunuhan dan pengkhianatan kepada Nabi Muhammad saw oleh orang-orang kafir dan orang munafik. Namun pernahkah Rasulullah saw. mendoakan agar Allah menurunkan azab kepada mereka seperti yang ditimpakan pada umat Nabi Nuh atau Nabi Luth? Tidak. Rasulullah saw. justru terus mendoakan mereka agar mereka berpaling dari kesesatan.

Di akhir hayat rasulullah, Beliau menyebut-nyebut nama umatnya, “Umatku... umatku... umatku....” Kutanyakan padamu, tidakkah engkau merasakan getaran cinta Rasulullah saw. kepada umatnya, kepadaku, juga kepadamu? Saat Beliau merasakan sakitnya saat nyawa Beliau dicabut, lagi-lagi Beliau memikirkan nasib umatnya. “Bila aku saja merasakan sakit seperti ini saat nyawaku dicabut, apatah lagi bila nyawa umatku dicabut.” Seandainya bisa, Rasulullah saw. menginginkan cukup Beliau saja yang merasakan sakitnya sakaratul maut, biar rasa sakit seluruh umatnya ditanggungnya sendiri agar umatnya tidak merasakan sakit yang Beliau rasakan waktu itu. Bila Rasulullah saja, manusia termulia, kekasih Allah, senantiasa memikirkan kita, sudahkah kita menyediakan cinta untuk Beliau? Sudahkah kita bershalawat saat mendengar nama Beliau? Sudahkan kita menjalankan sunnah Beliau? Pedulikah kita pada apa yang Beliau katakan? Sedangkan Beliau sendiri menaruh rasa sayang, khawatir dan peduli pada kita, sedangkan kita manusia yang nista ini, pernahkan mempertimbangkan perasaan Beliau dalam bertindak? Maukah kita menjadi bagian dari kekecewaan Rasulullah?

Saudaraku... Rasulullah berjuang, sahabat berjuang, mengapa kita bisa punya alasan untuk tidak berjuang? Sedangkan cinta Beliau pada kita adalah cinta yang tak perlu disangsikan.

Saudaraku, kita ada karena cinta. Sekeliling kita ada karena cinta. Terlalu banyak yang telah diberikan cinta kepada kita. Maka persembahkanlah sesuatu untuk cinta.

Cinta itu bukan untuk dibiarkan bergitu saja, jangan diam tapi bergeraklah. Sebagai generasi muda Islam, kita harus memberi kontribusi dalam membangun peradaban. Tanyakan pada hatimu, apakah kau tidak malu bila agama Allah telah tersebar dan peradaban telah terbangun namun kita tidak ada andil di dalamnya?

Jalankan perananmu sebagai pelajar! Sejak engkau disekolahkan oleh ibu dan ayahmu, mereka selalu berdoa agar engkau meraih keberhasilan. Setiap langkahmu tak lepas dari doa mereka hingga nanti mereka terlelap di pembaringan terakhir dan tak mampu lagi menengadahkan tangannya untuk mendoakanmu. Pada setiap langkahmu dititipkan potongan-potongan harapan agar kau bisa menjadi yang terbaik. Saat kau lelah, kedua lengan hangatnya selalu siap untuk merangkulmu, menyediakan segala yang kau butuhkan meski mereka tak kalah lelah. Saat kau terpuruk dan tak ada seorangpun yang memandangmu, mereka selalu ada untuk berkata kaulah yang terbaik. Bila kau terjatuh, mereka akan menjadi orang pertama yang mengulurkan tangannya dan menjemputmu dengan secercah cahaya yang dikulum dalam senyumnya. Saat kecilmu kau bermain pisau, mereka akan menegurmu, bila kau tetap diam, mereka mungkin memarahimu atau bahkan akan melayangkan pukulan agar kau melepaskan pisau itu. Kau mungkin menangis dan marah dengan semua ini. Namun mereka tidak peduli dengan marahmu, karena mereka lebih peduli pada keselamatanmu, mereka sayang pada dirimu, karena mereka mencintaimu.

Apakah kau temukan alasan dari orang tua semacam itu untuk lalai dari tugasmu? Kau pelajar muda muslim. Tidak malukah engkau setelah semua yang mereka berikan, sedangkan engkau hanya duduk berpangku tangan, tidak peduli pada omongan dosenmu di kelas, terdiam saat kau kembali ke rumah, hingga kau tidak memperoleh manfaat dari perananmu sebagai pelajar? Tidakkah kau merasa bersalah atas setiap doa dan harapan yang dititipkan orang tuamu namun kau lalaikan? Tidakkah engkau merasa cinta pada mereka sehingga kau membiarkannya kecewa? Tidak takutkah kau bila ajal menjemput mereka sedangkan di akhir hayatnya mereka memperoleh kekecewaan atas kelalaianmu? Kuberitahukan padamu, bila kau saksikan ajal itu menjemput mereka di depan matamu sedangkan hal terakhir yang kau berikan pada mereka adalah kekecewaan, air mata akan mengalir dari kedua pangkal matamu. Tapi jangan kau remehkan air mata itu. Untuk menetes ke pipimu, dia akan membuat hatimu remuk dan menyesakkan dadamu. Namun bila kau tahan, itu justru akan lebih menyakitkanmu. Hatimu akan tersayat menjadi sobekan-sobekan kecil, tulang-tulangmu serasa kelu sehingga tanganmu tak dapat kau gerakkan meski sekedar untuk mengelus dada. Jangan katakan aku tidak memperingatkanmu tentang semua ini bila ternyata kelak kau temui kejadian serupa.

Jalankan peranmu sebagai seorang anak! Saat kau masih bayi, kau ditimang dan dinyanyikan lagu pengantar tidur. Mereka rela menjadi penyanyi walau bersuara sumbang, menjadi pelawak meski garing, demi melihat sepotong senyuman dari bibirmu dan gurat-gurat kebahagiaan di pipi mungilmu. Mereka rela kelaparan demi mengisi perutmu, rela menangguhkan keinginannya untuk memiliki pakaian baru meski pakaiannya telah usang demi memenuhi kebutuhanmu. Peluh-peluh menetes di tubuh mereka demi mengais rupiah untukmu. Meskipun lelah, mereka tetap berjuang. Getar-getar cinta yang memenuhi diri mereka yang membuatnya melakukan semua ini untukmu.

Apakah kau masih bisa menyia-nyiakan orang tuamu, enggan datang kepadanya ketika kau dipanggil? Lalu saat mereka tua, saat badannya tak mampu lagi digerakkan dan terpaksa buang air di tempat tidur, apakah engkau akan berpikir dua kali untuk merawatnya? Apakah kau akan takut tanganmu bau saat membersihkan kotorannya, sedangkan dulu mereka tidak pernah mengkhawatirkan yang demikian saat kau masih kecil? Mungkin kau bisa berkata tidak saat ini karena orang tuamu masih sanggup melakukannya sendiri. Tapi yang kuinginkan adalah pembuktianmu, mungkin 5-10 tahun lagi atau 10-20 tahun lagi. Sesungguhnya Allah yang menjadi saksi atas kata yang berbisik di hatimu.

Jalankan peranmu sebagai saudara dan sahabat! Rasulullah saw. bersabda bahwa tidak dikatakan sempurna iman seorang muslim sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Kutanyakan padamu tentang cinta pada saudaramu yang bersemayam atau mungkin tertidur lelap di hatimu sehingga ia hanya diam saat seharusnya kau bergerak untuk menyelamatkan saudaramu. Apa kau tinggal diam bila orang yang kau cintai berada di tepi jurang dan hampir terjatuh? Aku tidak tahu cinta yang seperti apa yang kau namakan cinta, namun bagiku cinta itu akan menggerakkanku untuk menarikanya dari tepi jurang. Meski harus kusakiti dia, yang jelas dia jauh dari tempat itu. Mungkin dia akan membenciku, namun aku yakin Allah kelak akan membuka matanya bahwa ini semua kulakukan karena aku mencintainya. Mungkin cinta itu tidak akan dia sadari di dunia, namun di akhirat kelak, semua pasti terbuka.

Bila mengaku cinta, mengapa tak kau tegur saudaramu saat melampaui batas? Mengapa sengaja kau lembut-lembutkan teguranmu padahal ia sebentar lagi jatuh ke jurang? Mengapa kau hanya diam? Itukah yang kau sebut cinta? Sebodoh itukah cinta? Selemah itukah cinta? Atau benar kecurigaanku, itu bukan cinta. Cinta untuk saudara yang Allah amanahkan kepada kita ternyata belum ada.

Cinta itu ibarat sambel pete’, dia pedas, bikin mulut bau, tapi bikin orang mau lagi. Ketika benar-benar mecintai, kita akan rela menegurnya walau berbuah kemarahan darinya, toh, itu memang demi kebaikannya. Kita pun akan menegurnya, memarahinya, atau kalau perlu memukulnya agar dia menjauh dari tepi jurang meskipun itu akan berbuah kebencian darinya. Ya, kau mungkin sakit hati atas kebenciannya, itulah rasa pedas yang akan kau temukan dalam cintamu. Karena kebenciannya padamu, mungkin dia akan menjauhimu seperti menjauhi orang yang habis makan pete’. Tapi semua itu tetap tidak akan merubah cintamu dan tidak pula mengurangi kekuatan cinta untuk terus menjauhkan orang yang kau cintai dari hal-hal yang bisa menjerumuskannya. Meski mungkin kau tak bisa lagi menegurnya atau memarahinya atas kesalahan yang dia perbuat, kau akan terus menyebut namanya dalam doa-doa malammu saat kau berkhalwat dengan Rabbmu.

Seorang sahabatku yang kucintai karena Allah dan peduli padaku karena Allah berkata, “Mungkin aku orang tebodoh di dunia yang setiap hari mengkhawatirkan teman-temannya, tapi dia sendiri tidak pernah dipikirkan oleh temannya kecuali hanya sedikit dari mereka. Apa yang harus kulakukan? Mana suaramu?”

Kukatakan dengan santai, “Tau arti cinta? Tau kesederhanaannya? Cinta itu merasakan tanpa minta dirasakan, memikirkan meski kita diabaikan. Bukankah cinta pada saudara-saudara memang amanah dari Allah? Mencintai karena Nya, peduli karena Nya, mendoakan karena Nya. Toh, balasan yang dijanjikan memang bukan dari saudara yang kita cintai tapi dari Dzat yang menganugerahkan cinta itu.”

“Aku tahu hal itu,” katanya, “Aku tidak berharap mendapat balasan untuk diriku sendiri. Aku hanya mau kita dan saudara-saudara yang lain saling memperhatikan.”

Akhirnya aku mengerti apa yang dia maksud. Dia merindukan cinta yang tak sekedar dideklarasikan atau hanya dirasakan. Dia menginginkan cinta yang punya pembuktian. Cinta yang punya kekuatan untuk membimbing orang yang dicintai menuju kebenaran. Cinta yang menyebabkan kita memperoleh naungan di hari kemudian saat tidak ada lagi naungan selain dari-Nya. Saat itu dipanggillah beberapa golongan untuk memperoleh naungan tersebut. Salah satunya adalah golongan orang yang saling mencintai karena Allah.

Cinta telah membawa kita sejauh ini. Cinta dari saudaramu telah membangunkanmu dari tidur panjang yang berujung kelalaian. Cinta dari orang tuamu telah hidupmu memiliki tujuan. Cinta dari rasulmu telah menunjukkanmu jalan menuju surga Rabbmu. Cinta dari Rabbmu telah memberikan semua yang kau butuhkan meski tak kau minta. Maka jadikanlah cinta itu alasan bagimu untuk maju.

Saudaraku, ini saatnya kau bertindak, jangan tinggal diam. Setelah semua ini, apakah kau masih punya alasan untuk tetap diam? Kecuali bila hatimu memang terbuat dari batu dan tidak ada tempat di dalamya untuk cinta. Saudaraku, bergeraklah, raih duniamu dan kumpulkan bekal untuk akhiratmu. Kelak kita harus menjadi muslim yang unggul tidak hanya secara kuantitas tapi juga kualitas.

Hal terakhir yang ingin kukatakan,
“Sampai jumpa di naungan Allah di hari kemudian. Di sana kita bersama bertasbih mengagungkan asma-Nya lantaran cinta tak bertepi yang dianugerahkan-Nya pada kita, lalu berterima kasih atas nama cinta Rasulullah saw., orang tua, dan saudara-saudara kita.”

“Selamat berjuang atas nama cinta.”

written by: Nila Sartika Achamdi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment