Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Tragedi Bulutangkis

Hari ini kita lagi PORSENI (Pekan Olah Raga dan Seni). Kalo ditanya aku lebih bisa olah raga atau seni, aku bakalan milih diam. Soalnya aku gak bakat di dua-duanya. Ibuku aja, sejak aku kecil selalu diledekin kalo nyanyi, katanya kalo aku nyanyi tuh, lurus-luruuus aja, mau ada tembok, ada pohon, gak bakal belok. Dengan kata lain, aku itu buta rabun nada, gak tau yang mana do yang mana re, bedanya cuman penyebutannya (do->bibir mengkerucut, re->bibir ketarik ke samping). Whatever. Tapi di sini kita gak bakalan ngomongin tentang bakat nyanyiku yang dari lahir udah dimentahkan sama ibuku sendiri. Ini tentang anak-anak kelasku waktu lagi lomba bulu tangkis di sekolah. Cekidot.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku Sok Jago, Gelaja Sindrom Jupolonginimini

Kalo anak kecil, naik kelas berarti baju baru, buku baru, teman-teman baru. Buatku, naik kelas kali ini adalah kehidupan baru, serpihan cerita yang nantinya bukan sekedar menjadi bagian dari hidupku, tapi menjadi hidup itu sendiri.

Hari ini pertama kali kami menginjakkan kaki di ruang kelas XI IA 1 (XI Ilmu Alam 1) sebagai siswa kelas XI. Ruangan ini tidak seperti sekolah di kota-kota besar yang dilengkapi pendingin ruangan, tegel putih atau pun kursi yang nyaman--setidaknya kursi yang terlihat bagus. Ruangan ini berada di sudut, ditutupi oleh ruang kelas X1, sehingga cahayanya agak kurang. Di sebelah kirinya ada kantin. Kalo pagi, alamak, bau bakso bikin gak nahan. Ini yang nantinya bikin aku susah shaum di hari sekolah dan makan bakso tiap hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

My Project: PHOENIX--Never Ending to Fight

Sebenarnya project ini udah dari kapan tau. Inget banget pas ulang taun yang ke 20--taun lalu lho, aku kan, masih 21--aku target pengen nyelesein kumpulan cerpen tentang Phoenix dengan target di akhir umur 20 udah harus selesai. Tapi sampe sekarang, gak ada satu pun, bahkan satu kata pun, yang jadi. Aku bahkan sempet lupa kalo aku pernah punya target kayak gitu :D Pelajaran #1, Tulislah targetmu. Bukan buat pamer atau apa, tapi kita manusia, apalagi kayak aku yang punya banyak banget impian, dan menderita sindrom lupa tingkat dewa, sering melupakan impian-impian lama. Aku sering tergiur sama sesuatu yang baru. Kadang saat aku sadar, ternyata impian lamaku lebih berharga untuk dikejar, tapi aku lupa. Lagian, aku pernah baca ya--reading text pas tes TOEFL kemarin--kalo orang yang mempublikasikan impian atau kesepakatannya lebih cenderung memenuhinya. So, why not? it will worth a try.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta yang Dewasa

"Setelah puluhan abad hunian manusia di bumi, tidak ada satu kata pun yang kutemukan mampu menggambarkan perasaanku padanya. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku langsung menyadari dialah anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku. Bila saja mampu kuraih bulan, akan kuhadiahkan untuknya, karena senyumnya ibarat rembulan di malam hari bagiku. Tangisnya mengiris hatiku, meski kadang air mata itu menetes karena aku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tangisan Subuh

Subuh ini rasanya ada yang berbeda. Entah apa, tapi aku merasakannya. Ah, peduli amat, yang jelas satu hal yang tidak berbeda dari biasanya,bahwa aku harus berangkat ke mesjid untuk shalat Subuh. Aku berjalan menuju WC dan memanjakan diriku dengan buaian air wudhu yang cukup untuk membuat mataku terbuka begitu pula dengan hatiku.

Di perjalanan aku mendengar suara adzan yang merasuk sadarku, jauh hingga ke relung-relung hati. “Indah nian panggilan itu.” Sejenak aku merasa begitu beruntung, masih bisa mendengar panggilan surga dengan hati yang telah kubangunkan dari kelalaian. Aku rasanya begitu asyik dengan semuanya, dan tidak ingin ini berlalu. Tapi…entah apa yang kupirkan, anganku hampir malangkah terlalu jauh sedangkan langkah kakiku sudah tidak jauh lagi dari rumah Tuhan yang kutuju.

Aku terbuai dengan kekhusyukanku dengan Allah dalam mesjid berlantai dua ini. Seusai sahalat, seperti biasanya aku bersalaman dengan jamaah yang rutin hadir untuk shalat di mesjid. Saat manggengggam tangan mereka ada rasa tidak ingin berpisah.

“Pak, maaf ya, kalau selama ini saya ada salah!” ucapku pada mereka yang hampir semuanya adalah orang dewasa.
“Memangnya Nak Hasyim ada salah apa? Setahu Bapak Nak Hasyim orang baik dan sopan,” kata Pak Sanusi. Dia menatapku seolah penuh tanda tanya.
“Namanya juga manusia Pak, pasti tidak mampu luput dari kesalahan. Termasuk saya.” Entah ada apa denganku, tapi sesuatu yang berbeda sejak tadi begitu terasa. Aku duduk temenung di atas sajadah biru yang sudah begitu akrab dengan kening ini.

Saat mata ini tetuju pada sosok pria berjanggut lebat, tiba-tiba tetesan air mata membasahi pipiku. Beliau adalah H.Hasan. Orang yang telah merawatku hingga dewasa. Meski dia bukan ayah kandungku,tapi dia telah membawaku dari jalanan.

“Pak, maafkan saya. Salama ini saya telah merepotkan Bapak. Saya….” sudah tidak ada lagi kata yang sanggup kuucapkan. Aku bersimpuh di hadapannya yang sedang bersandar di tembok mesjid.
“Nak,ada apa denganmu pagi ini? Kau terlihat aneh, Bapak merasakannya.” H.Hasan membelai kepalaku,membuat air mataku mengalir semakin deras.
“Kamu tidak ada dosa apa-apa sama Bapak, tenaglah! Atau mungkin kamu sedang ada masalah, ceritakan saja Nak!”
“Tidak,Pak!”
* * *
Adzan Subuh kembali menjemputku dengan buaiannya. Beberapa hari ini aku merasakan sesuatu yang aneh, terlebih saat berangkat ke mesjid setiap Subuh. Tapi untuk kali ini aku merasakan ada kelegaan, apalagi beberapa hari yang lalu aku telah minta maaf. Entah karena apa, tapi aku merasa harus melakukannya.

Seusai shalat Subuh, aku memohon maaf kepada Allah atas segala kekhilafanku. Tanpa kusadari, air mataku menetes. Saat aku bangun dari dudukku, ada kelegaan yang melebihi segala rasa lega yang pernah kurasakan.

“La…ilaha illallah Muhammadarrasulullah!” kalimat ini rasanya tak ingin lepas dari bibirku dan lekat di hatiku. Sepertinya diriku ini menjadi begitu dekat dengan sang Khaliq. Tiba-tiba aku merinding, lalu sekali lagi, dua kalimat tauhid itu kulafadzkan. Semakin dekat kurasa diriku dengan Rabb seluruh alam.

Semuanya menjadi ringan namun di sisi lain terasa begitu sakit. Entah sisi mana yang sakit. Bahkan selama hidup, inilah masa tersakit yang kurasakan. Apa ini pertanda?

Lalu kulihat H.Hasan menengok tubuhku yang terjatuh di lantai mesjid.
“Ina lillahi wa inna ilaihi rajiun!” ucap H.Hasan.
Ternyata kini Malaikat Izrail telah menjemputku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Terbalas Tanpa Terkirim

“Kak Putri, aku…., ah tidak ah! Lupakan saja!” ucapku pada Kak Putri saat itu. Sebenarnya aku ingin memberitahu Kak Putri, sayangnya aku malu. Melihat tingkahku ini, dia hanya mengerutkan dahi tanpa meminta penjelasan lebih lanjut dariku.

Keesokan harinya, Kak Putri meng-hampiriku di kelas.
“Nisa, kemarin kamu mau bilang apa?”
“Soal….soal perasaanku.”
“Kalau begitu bilang saja!”
“Tapi… aku malu!”gurat merah jambu kurasakan terlukis halus di wajahku.
“Adikku yang manis, tidak usah malu. Kakak tahu kok…ikhwan itu anak sini juga, kan?”
“Darimana Kakak tahu?” suasana hening sejenak, “tapi…ini bukan salahku kalau aku mengaguminya, siapa suruh Kak Firman terlalu memukau.”
“Nah lho, sekarang Kakak tahu deh, ternyata yang bikin wajah adikku jadi pinky sweety begini Kak Firman toh.”
“Lo, bukannya Kakak sudah tahu?”
“Kakak memang tahu kalau kamu sedang terjangkit the pinky virus, jadi Kak Putri pancing saja. Eh, kebetulan umpan Kakak tepat, he...he....”

Perbincangan kami menjadi semakin seru. Seperti biasa pasti selalu ada ceramah yang muncul di tengah pembicaraanku dengan Kak Putri. Katanya, wajar kalau banyak akhwat yang mengagumi kesholehan Kak Firman, tapi yang penting itu sejauh mana posisinya dalam hati kita. Jangan terlalu istimewa, apalagi sampai mendominasi keranjang cinta yang jelas sudah pembagiannya.

Beberapa hari ini, aku terus merenungi kata-kata Kak Putri. Tapi, tanpa kusadari perasaan itu semakin dalam. Bahkan niatku untuk godhul bashor kini nyaris hilang tanpa jejak. Saat dia lewat, mata ini tak sanggup melirik yang lain hingga ia hilang dari pandangan.

Waktu terus berlalu dan membawa rasaku semakin jauh. Kadang bila aku mencoba memejamkan mata ini, bayangannya muncul walau hanya sekejap lalu hilang lagi. Tidak salah lagi, dia mirip penampakan di acara Uji Nyali, tapi bedanya dia merupakan penampakan yang muncul di hatiku dan………!!!!?

Akhirnya ide nekatku muncul juga. Aku memutuskan untuk memberitahu Kak Firman tentang perasaanku lewat secarik kertas surat berwarna pink yang bagian bawahnya tertulis kalimat”There is no more special place than in your heart. So, let me to be there!” Sepertinya kalimat itu telah merangkum semua isi hatiku. Tapi aku memberi sedikit tambahan untuk menambah kesan pada surat cintaku yang pertama ini.

Saat aku mencari amplop untuk suratku, aku menemukan sebuah buletin berwarna hijau. Buletin itu terbitan IKRAMULLA. Kupikir mungkin saja ada sesuatu yang membuatku lebih tahu tentang Kak Firman dan dunia rohisnya yang belum genap setahun kugeluti.

Benar juga dugaanku, aku menemukan sebuah artikel yang ditulis oleh Kak Firman.

“Pemuda-pemudi zaman sekarang, tidak ketinggalan berbagai peluang untuk jihad. Salah satunya adalah dengan memendam rasa “suka” pada seseorang. Apalagi budaya kiriman dari acara Katakan Cinta yang makin marak dilakukan oleh remaja-remaja zaman sekarang. Semakin besar godaan untuk mengutarakan rasa suka, semakin besar pahalanya jika bisa memendam rasa itu. Katakan cinta bukannya tidak boleh, tapi lihat tujuannya. Kalau tujuannya untuk melamar calon pasangan hidup, tentu saja boleh, bahkan sangat dianjurkan. Tapi kebanyakan yang dilakukan remaja sekarang, bertujuan untuk menjalin hubungan yang memang tidak diniatkan untuk pernikahan.”

Ups….

Hatiku bagaikan tersambar sesuatu yang rasanya lebih dahsyat dari sambaran petir. Meskipun aku belum pernah disambar petir, tapi ...... entahlah, itu cara hatiku mendefinisikan perasaanku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kerajaan XI IA 1

Written by:Nila Sartika Achmadi

Konon di sebuah masa, hiduplah kerajaan yang aman, damai, dan sejahtera. Rajanya adalah Baginda Jupridin yang doyan makan kacang. Hingga akhirnya dia memerintahkan Dewi Nila, salah seorang dari tujuh dewi yang sering turun kebumi saat ada pelangi, untuk menghidupkan kacang yang ada di kebunnya. Tapi, Dewi Nila salah kira, dia mengira bahwa kacang itu harus hidup layaknya manusia. Bekerjasama dengan sekuntum bunga Melati dan tumbuhan Muniran, Dewi Nila memohon kepada sang Pencipta untuk menghidupkan kacang itu. Lalu mereka membawanya kepada Baginda Jupridin. Beliau menjadi sangat tekejut, kacang yang hanya diharapkan tumbuh subur di kebun agar kerajaan bisa terlihat Asri-anti juga agar baginda bisa mudah makan kacang, Tenri Sannah-sanna kini menjadi seorang manusia.

Baginda Jupridin menjadi gusar. Sebuah pertanyaan terus menghantuinya ”Apakah ini tidak melanggar Norma adat dan menyalahi Fitrah?” Kemudian duet penasihat Yusuf bin Husain dan Farid bin Huzein mengusulkan untuk mengadakan rapat dengan seluruh warga di rumah keAgungan istana. Akhirnya mereka berIkram untuk memelihara jelmaan kacang itu dan sepakat bahwa hal itu bukanlah pelanggaran Norma dan Fitrah.

Pada hari Jumat-hir, Baginda Jupridin memberikan nama resmi kepada kacang itu. Namanya adalah…Achan’k. Baginda berpesan untuk senantiasa melakukan Amaliah-amaliah, tapi jangan sampai Ria!

Karena sangat sayang kepada Achan’k, Baginda menghadiahinya trio dayang andalan yang terdiri dari Irma, Rahma dan Wiwi, juga tiga orang penjaga bernama Erdi, Divar, dan Lutfi. Bahagianya Achan’k (^_^)! Bukan hanya itu, dia juga memperoleh tiket semalam di Musdalifah.

Sekarang, Achan’k beserta trio dayang andalan, dan tiga orang algojo berangkat ke Musdalifah. Di perjalanan, rombongan Achan’k menjadi sangat takjub, seekor anjing lucu dan seekor kucing manis terlihat begitu akrab. Mereka juga pandai berbicara, nama anjing itu adalah Shipo dog dan kucingnya bernama Uchi cat. Karena terlalu asyik, Achan’k tidak sadar bahwa seekor ular sedang mengincarnya, hingga ular itu mematuk langannya. Semua orang menjadi panik. Lalu seorang tabib sakti yang berasal dari celupan Ilahi lewat. Tabib itu bernama Sibghatullah. Dia memberinya Asy-Syifa yang sangat manjur.

Achan’k dan rombongan sudah merasa lapar. Bekal mereka pun sudah habis. Kemudian mereka singgah diwarung milik Erna dan Naima untuk makan dan membeli berbagai cemilan. Salah satu cemilan yang dia beli adalah kacang Sukri, yang rencananya akan dijadikan oleh-oleh untuk Baginda.

Setibanya di Musdalifah, Achan’k bertemu orang yang mengaku Malaikat Ri-wan yang ingi membawanya ke surga. Tetapi rombongan Achan’k ternyata diterbangkan menuju suatu kerajaan yang dikepalai oleh Raja Damang. Ternyata surga yang dimaksud adalah SMANSA Maros, he he he !!!!


This is a gift for my friends, just to remind that we ever be together in our class room, and I want to be forever in their heart

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pa Citak
(Pacaran Ala Cinta Kodok)

written by: Nila Sartika Achmadi
“Masa-masa remaja memang saat terheboh sepanjang usia kita.”
Setidaknya itulah yang terpikir olehku kini di usiaku yang akan menginjak sweet seventeen. Uh, kapan sweet seventeen itu datang? Tiap hari kutanyakan itu pada hatiku. Namun kuhibur diriku dengan berkata, “Ini memang bukan sweet seventeen, but it’s my nice sixteen,” sambil kuputar badanku di depan kaca dan senyum-senyum sendiri. Sweet seventeen, nice sixteen, uh, dari tadi Bahasa Inggris terus, ya. Tapi begitulah, namanya juga era globalisasi, asal sudah bisa pake bahasa Bule’, semuanya keren, deh. Memangnya mau dibilang big baby kalau tidak tahu Bahasa Inggris? Oh, no.
Kalau berbicara soal remaja, yang terpikir pastinya adalah pemberontakannya, ribuan pertanyaaannya, perdebatan, persahabatan, hingga percintaan. Kompleks, itulah masa remaja. Aku memang tertarik waktu Papa bilang bahwa masa remaja adalah puncak pemberontakan manusia sebagai seorang anak, sebagai bagian dari masyarakat, juga sebagai hamba Tuhannya. Aku juga senang mendengar Mama bercerita tentang persahabatan tanpa akhir—meski kadang jadi sok solider—yang dilaluinya saat masih remaja dulu. Namun aku lebih girang ketika diam-diam Papa dan Mama curhat padaku tentang cintanya di masa muda. He…he…hitung-hitung pengalaman, siapa tahu bisa jadi pelajaran.
Pokoknya, mereka seolah kembali muda saat bercerita tentang masa remaja mereka. Masa pacaran yang gila, juga sakitnya saat mereka patah hati. Wess..., “ngiris,” katanya.
Duk...duk..., duk..duk.... Bumm, yee... welcome to my sweet seventeen. Jarum jam menunjukkan pukul 12/1 (pukul 12 lewat 1 detik) tanggal 12/1 (tanggal 12 bulan Januari¬).
Akhirnya aku tiba juga di usia 17 tahun. Usia yang sangat kutunggu-tunggu, boleh jadi juga hal yang sangat dinantikan oleh remaja-remaja lain. Yah, ini tidak lebih dari sekedar keinginan seorang remaja untuk memperoleh kebebasan. Karena asumsi masyarakat bahwa usia 17 tahun adalah masa awal remaja untuk mampu menimbang baik buruknya sesuatu. Jadi, orang tua tidak perlu terlalu khawatir—setidaknya itu yang ada di pikiran kebanyakan remaja, mungkin termasuk aku. Jadi ingat lagunya Melly Goeslaw,
“Bebaskan aku oh, Mama
kuingin coba semua
hidupku tak berarti tanpa
mencoba semua.”
(soundtrack film Eiffel...I’m in Love)
Hal yang wajar jika remaja menginginkan sebuah ruangan bermerk kebebasan. Bayangkan saja, sejak kecil mereka berada di bawah pengawasan orang tua 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pokoknya, everytime and everywhere lah. Tapi, kebebasan bukan berarti liar, bukan berarti hidup tanpa aturan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung—kata-kata ini dikutip saat mama lagi ngomel.
Malah remaja dan cintanya adalah hal paling unik, dan tak henti-hentinya mengisi ruang teristimewa di galeri masa remaja. Bagiku sendiri, cinta adalah kata termanis, meski mungkin hiperbolis kalau kukatakan tak tertandingi. He...he....
Ngomong soal cinta, ada berbagai kisah yang dapat kita kutip. Di Indonesia, ada kasih tak sampainya Siti Nurbaya-Samsul Bahri. Di negeri Tirai Bambu, ada kisahnya Sampek-Engtay. Ada lagi kisah Layla-Majnun, dan yang paling laris adalah cerita tentang Romeo-Juliet yang mati konyol atas nama cinta, he...he....
Setiap makhluk bernyawa pasti merasakan yang namanya cinta. Seorang pembunuh bayaran saja—populer dengan sebutan Hit Man—bisa merasakan getar-getar cinta, apalagi orang-orang yang bahkan tidak mampu membunuh seekor kecoa —nyindir nih, ye.
Tapi mungin, sekarang telah terjadi evolusi cara pengekspresian cinta dari zaman kakek-nenek dulu sampai zaman sekarang. Ada adaptasi, seleksi alam, dan mutasi—ayo, pasti ada yang teringat buku Biologinya, kan. Orang-orang dulu mengekspresikan cintanya dengan cara yang lugu—bukan lucu dan guriting (^_^)—penuh etika, kalem—eh...eh... bukan kayak lembu (“,)—juga penuh pertimbangan norma. Pokoknya, keep my finger for them, lah.
Namun, dengan batasan tersebut, mereka masih dapat menikmati yang namanya fese romantis. Perasaan yang tertata membuat mereka terlihat lebih anggun dalam pengekspresiannya.
Meski demikian, aku merasa sangat susah untuk menjadi anggun seperti mereka. Jatuh cinta saja, entah sudah yang keberapa kali, padahal aku baru kelas XI SMA. He...he.... Tapi kalau ditanya apa definisi cinta, aku sendiri susah menjawabnya. Buka kamus, yuk!
Berdasarkan kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS. Poerwadarminta, arti cinta itu ada 4. Kalau kita lihat di kamus Oxford, arti cinta lebih kompleks lagi. Untuk cinta yang digolangkan sebagai noun (kata benda), ada sekitar 6 definisi, sedangkan untuk kata cinta yang tergolong verb (kata kerja) ada 3 definisi. Uh...entahlah, cinta memang memusingkan, bahkan Ti Pat Kay punya pepatah sendiri tentang cinta. “Cinta, deritanya tiada pernah berakhir.”
Tapi, yang membuat aku bertanya-tanya, mengapa rasa cinta itu berpindah-pindah. Mengapa aku tidak hanya mencintai satu orang lak-laki saja, lalu biarlah cintaku untuk dia saja, sampai kumenutup mata—kayak lagunya Acha.
Entah, aku ini orangnya bagaimana, tapi kadang aku melakukan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya. Ini dia salah satunya.
Pacaran. Hayo...siapa yang lagi pacaran ? Ah, aku tidak nyindir orang lain, kok. Hm.... Pacar itu batang inai sebangsa Leswonia. Biasanya dipakai sebagai pemerah kuku. Warnanya merah bata, habis itu lama-lama hilang, kalau mau pakai lagi.
Mungkin itu analoginya. Pacaran adalah sebuah warna bagi jalan hidup kita. Suatu saat nanti kalau hilang atau bosan, bisa diganti “pacar” baru.
Ya, mungkin begitulah nasib orang-orang yang pacaran—aku, kamu, dan mereka. Cinta atau tidak saja belum jelas, eh, mau jalin hubungan. Belum lagi, cintanya lompat sana-sini. Kayak kodok saja. Bisa dibayangngkan bagaimana jadinya kalau kodok pakai pacar. Rasanya tidak jauh beda dengan manusia yang pacaran.
Kodok pakai pacar, lompatnya ke sana ke mari dengan kuku merah bata—kodok punya kuku tidak, ya?—sedangkan manusia yang pacaran, cintanya berpindah-pindah, pacarnya juga berganti-ganti.
Uakh... tidak... mana mungkin kusamakan diriku dengan kodok.
Ya, iyalah. Kodok yang lompat-lompat, tidak butuh aturan, kan, kalau masih perawan atau perjaka, lompatnya ke arah sini, yang sudah nikah, lompatnya ke sana. Sama saja dengan pacaran, ikatannya tidak jelas, aturannya tidak ada.
Tapi, ini bisa jadi jalan untuk mengenal lebih jauh calon pasangan hidupku.
Ce...ile.... Memangnya kamu kalau pacaran tidak pernah pakai jaim—jaga imej—ya? Pasti ada saja, hal yang kamu sembunyikan, kalau bukan untuk kelihatan sempurna di hadapan doi, setidaknya biar kamu tidak kelihatan hancur-hancur amat.
Tapi, kami kan, saling cinta, wajarlah kalau kami pacaran.
Uh... cintanya kok, diagung-agungkan. Lagian, perasaan kamu untuk sekarang ini, masih cinta kodok. Tidak ada ikatan, tidak jelas tujuannya, lompat-lompat lagi. Ini sih, pacaran ala cinta kodok.
“Hai kaum Hawa, pacaran itu sarat dengan berbagai pelecehan. Mulai dari pelecehan fisik, sampai denga pelecehan psikis. Pelecehan fisik, misalnya yang sampai fisiknya “digerayangi” sama manusia yang dianggapnya pacar. Pemerkosaan atas nama cinta juga tidak jarang terjadi. Maklumlah, perempuan itu hatinya gampang luluh, jadi ya...gitu deh. Kalau pelecehan psikis misalnya tidak PD, munculnya rasa takut kehilangan (possesive), ketergantungan, bahkan tidak merdeka dalam mengambil keputusan.”
“Hai kaum Adam, tidak malukah kalian, mempermainkan makhluk yang berasal dari golongan ibu kalian—bahasanya kayak titah raja. Seharusnya kalian menjaga para perempuan, mengayomi mereka, bukan malah sebaliknya. Jika mereka terbawa nafsu, seharusnya kalian bisa meluruskannya, bukan malah membuatnya semakin salah arah. Kalian kan, lebih bisa mengesampingkan perasaan dan mendahulukan logika, secara fisik kalian juga lebih baik. Tapi mana tanggung jawab kalian. Payah.”
“Dasar, kodok-kodok muda.” Mama terlihat mengakhiri latihan pidatonya sambil tertawa cekikikan di depan cermin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS