Tragedi Bulutangkis

Hari ini kita lagi PORSENI (Pekan Olah Raga dan Seni). Kalo ditanya aku lebih bisa olah raga atau seni, aku bakalan milih diam. Soalnya aku gak bakat di dua-duanya. Ibuku aja, sejak aku kecil selalu diledekin kalo nyanyi, katanya kalo aku nyanyi tuh, lurus-luruuus aja, mau ada tembok, ada pohon, gak bakal belok. Dengan kata lain, aku itu buta rabun nada, gak tau yang mana do yang mana re, bedanya cuman penyebutannya (do->bibir mengkerucut, re->bibir ketarik ke samping). Whatever. Tapi di sini kita gak bakalan ngomongin tentang bakat nyanyiku yang dari lahir udah dimentahkan sama ibuku sendiri. Ini tentang anak-anak kelasku waktu lagi lomba bulu tangkis di sekolah. Cekidot.

Hari itu, kita udah semangat banget, punya tim ganda putri yang hebat, Erna dan Wiwi. Guys, kalo ngeliat bodi Erna yang size XL, agak susah buat percaya kalo dia itu jago olah raga. Padahal aku yang lebih ramping (uhhuyy) dari Erna aja ngos-ngosan ngejar kok (aku abis googling dan bener ya, tulisannya kayak gini :D) nya. Nah, itu yang bikin aku dan temen-temen kecewa banget sama tragedi hari itu.

Berhubung aku gak terlalu tau peraturan main bulu tangkis, aku gak merhatiin dan sekarang udah lupa pas ronde berapa atau pas udah poin berapa, kejadian naas itu terjadi. Pokoknya, kita main lawan adik kelas. Kedua tim, baik kelasku maupun adik kelasku punya suporter yang heboh banget. Mainnya di aula, yang gak ada tempat duduk khusus buat penonton. Aku aja yah, yang gak terlalu tertarik olah raga, kebawa loh, sama suasananya.

"Ayo Erna!"
"Wiwiiiiiii..!!"

Sahutan udah kayak artis terus dilayangkan untuk tim favorit kita. Karena semangatnya, para penononton pendukung masing-masing tim gak jarang memasuki garis lapangan. Hahaa... yayaya... ini adalah bibit anarkisme tingkat awal suporter olah raga. Pak Rasyid, yang akrab dipanggil Pak Aci', menjadi wasit hari itu, sampe berulang-ulang negur kita yang memasuki lapangan.

"Hei... liat itu garisnya!" dengan suara Pak Aci' yang lantang. Serentak semua mundur.

Kok yang terbang ke arah kanan lapangan memancing--kembali--penonton untuk yang ke sekian kalinya masuk dari sisi kiri lapangan, seolah mengejar kok, sedangkan yang di sisi kanan, histeris sambil buru-buru mundur.

"Uuuuuu...," teriak kami heboh saat ganda putri kami hampir berhasil mencetak poin. Mulai service, penonton tenang, dan mundur buru-buru, keluar dari lapangan, kaget karena ternyata kakinya masuk lagi di dalam garis--kekagetan yang terjadi berulang-ulang. Pak Aci' sepertinya mulai naik darah, alisnya berkerut, giginya menggerutu, dan terlihat jelas tatapan matanya benci melihat tingkah kami.

"Aaaaaa...," kembali teriakan penonton di pinggir lapangan menggema. Benar-benar tidak sadar, ada lagi yang memasuki lapangan.

"Hei, kalo ada lagi yang masuk lapangan, suporter tim yang mana pun, tim nya langsung gugur, tim lawannya menang," Pak Aci' menegur keras para suporter dengan suara yang tegas, lantang, terdengar jelas meski tanpa TOA.

Semua refleks mundur minimal dua langkah dari tempatnya sekarang berdiri. Ups!

Saat-saat menegangkan, mendekati poin-poin kemenangan, suporter kembali riuh. Aku jelas-jelas melihat di seberang lapangan suporter tim adik kelasku ada yang memasuki lapangan, tapi, bukan hanya mereka, kami pun ternyata sekali lagi refleks ngejar kok ke lapangan. Tiba-tiba, Pak Aci', teriak, " XII IA 1 didiskualifikasi! Suporternya melanggar."

Apa??

"Pak, bukan cuman kita, Pak, mereka juga melanggar!" aku berteriak sekuat tenaga sambil jalan mendekati Pak Aci'. Bukan cuma aku, semua anak-anak kelas pada teriak, protes, sampe aku gak yakin bapak jelas atau gak dengea keluhan kami. Gak lama proses teriak-teriak ke wasit dan wasit teriak-teriak ke kami, kami dengar satu komando. Suaranya nyaring,

"Ayo, semua IA 1 masuk ke kelas, kita keluar saja. Percuma!" suara Munir, wakil ketua kelas kami memecah suasana. Awalnya kami masih berpikir untuk protes sampai benar-benar diakui bahwa kedua suporter tim salah. Satu komando itu, langsung membuat semua anak IA 1 keluar, menjauh dari lapangan, jalan penuh kekesalan menuju kelas.

Namun, aku sama sekali gak terima. Aku ingat banget muka adik kelas yang juga masuk ke lapangan. Aku menghadap Pak Aci' dengan penuh emosi. Di hadapan Pak Aci', aku memanggil adik kelas itu.

"Hei... kamu... sini!!!" aku udah lupa kalo itu sama sekali gak anggun. Aku neriakin adek kelas, suaraku gede banget, di depan guru pula.
"Kenapa, kak?" tanyanya agak tegang.
"Kamu ngaku gak, kalo kamu tadi juga masuk lapangan," gayaku menantang sambil mata melotot.
"Nggak kok, kak. Bener."
"Halaah, jangan sok gak salah, ngaku aja deh."
"Beneran kak, aku gak masuk lapangan pas udah dilarang Bapak." Entah adik kelas ini bohong atau dia gak nyadar tadi dia masuk lapangan, tapi aku jelas-jelas ngeliat dia masuk lapangan. Akhirnya emosiku pun memuncak.

Aku berusaha menarik leher bajunya, "ngaku gak?" suaraku semakin lantang dirasuki kemarahan.
"Eh, apa-apaan, ini?" Pak Aci' menarik mundur adik kelas itu, sedangkan temanku yang lain menenangkanku dan akhirnya kulepaskan cengkramanku di leher bajunya.

Aku ngambek abis-abisan, sebel. Sebel banget deh. Anak-anak sampe benci sama Pak Aci' beberapa minggu, setidaknya sampai liburan selesai (soalnya PORSENI pas kita libur). Pernah, Pak Aci' ke kelas untuk ngasih kita soal Matematika, bukan dalam rangka ngajar sih, dia cuman mau ngasih lembar fotokopian soal buat kita latihan ngerjain. Tapi hampir sekelas buang muka pas Bapak di pintu. Semua pura-pura sibuk. Untung ada Erna yang lagi nongkrong depan kelas, dia yang nerima soalnya.

Sampe, salah satu teman kelasku, Syifa, dia pengen balas dendam.
"Nil, gimana kalo kita bales aja tuh, Pak Aci'? Kalo dia ngajar, sekelas pada nyuekin, biar dia tau rasa."
"Jangan Syif, kita kan, udah kelas 3, bentar lagi UAN, kalo kita gak bisa ngerjain gimana? Kalo kita kualat gimana?"
"Iya juga sih." Akhirnya rencana balas dendam gak jadi dijalankan. Siapa coba, yang mau gak lulus UAN gara-gara pas diajarin Matematika, gak merhatiin, karena dendam sama gurunya.

Siapa sangka benci berubah jadi cinta. Kebencian kita di awal, berakhir dengan kedekatan kita sama Pak Aci'. Di lain cerita aku bakal ngejelasin kenapa. Beliau jadi salah satu bapaknya XII IA 1. Dan yah, tindakanku hari itu pas PORSENI sama sekali gak patut dicontoh. Akhwat yang gak bisa ngendaliin emosinya. Teriak-teriak di depan umum, sampe narik leher baju orang, apalagi adik kelas yang JUGA ngelanggar itu tuh, cowok. Aku waktu itu ngerasa gak salah, karena aku gak nyentuh dia, cuman narik bajunya. Sekarang sih, aku udah lebih bisa ngendaliin emosi, insya Allah. But, yah, I'm still working on it.