Pa Citak
(Pacaran Ala Cinta Kodok)
written by: Nila Sartika Achmadi
“Masa-masa remaja memang saat terheboh sepanjang usia kita.”
Setidaknya itulah yang terpikir olehku kini di usiaku yang akan menginjak sweet seventeen. Uh, kapan sweet seventeen itu datang? Tiap hari kutanyakan itu pada hatiku. Namun kuhibur diriku dengan berkata, “Ini memang bukan sweet seventeen, but it’s my nice sixteen,” sambil kuputar badanku di depan kaca dan senyum-senyum sendiri. Sweet seventeen, nice sixteen, uh, dari tadi Bahasa Inggris terus, ya. Tapi begitulah, namanya juga era globalisasi, asal sudah bisa pake bahasa Bule’, semuanya keren, deh. Memangnya mau dibilang big baby kalau tidak tahu Bahasa Inggris? Oh, no.
Kalau berbicara soal remaja, yang terpikir pastinya adalah pemberontakannya, ribuan pertanyaaannya, perdebatan, persahabatan, hingga percintaan. Kompleks, itulah masa remaja. Aku memang tertarik waktu Papa bilang bahwa masa remaja adalah puncak pemberontakan manusia sebagai seorang anak, sebagai bagian dari masyarakat, juga sebagai hamba Tuhannya. Aku juga senang mendengar Mama bercerita tentang persahabatan tanpa akhir—meski kadang jadi sok solider—yang dilaluinya saat masih remaja dulu. Namun aku lebih girang ketika diam-diam Papa dan Mama curhat padaku tentang cintanya di masa muda. He…he…hitung-hitung pengalaman, siapa tahu bisa jadi pelajaran.
Pokoknya, mereka seolah kembali muda saat bercerita tentang masa remaja mereka. Masa pacaran yang gila, juga sakitnya saat mereka patah hati. Wess..., “ngiris,” katanya.
Duk...duk..., duk..duk.... Bumm, yee... welcome to my sweet seventeen. Jarum jam menunjukkan pukul 12/1 (pukul 12 lewat 1 detik) tanggal 12/1 (tanggal 12 bulan Januari¬).
Akhirnya aku tiba juga di usia 17 tahun. Usia yang sangat kutunggu-tunggu, boleh jadi juga hal yang sangat dinantikan oleh remaja-remaja lain. Yah, ini tidak lebih dari sekedar keinginan seorang remaja untuk memperoleh kebebasan. Karena asumsi masyarakat bahwa usia 17 tahun adalah masa awal remaja untuk mampu menimbang baik buruknya sesuatu. Jadi, orang tua tidak perlu terlalu khawatir—setidaknya itu yang ada di pikiran kebanyakan remaja, mungkin termasuk aku. Jadi ingat lagunya Melly Goeslaw,
“Bebaskan aku oh, Mama
kuingin coba semua
hidupku tak berarti tanpa
mencoba semua.”
(soundtrack film Eiffel...I’m in Love)
Hal yang wajar jika remaja menginginkan sebuah ruangan bermerk kebebasan. Bayangkan saja, sejak kecil mereka berada di bawah pengawasan orang tua 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pokoknya, everytime and everywhere lah. Tapi, kebebasan bukan berarti liar, bukan berarti hidup tanpa aturan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung—kata-kata ini dikutip saat mama lagi ngomel.
Malah remaja dan cintanya adalah hal paling unik, dan tak henti-hentinya mengisi ruang teristimewa di galeri masa remaja. Bagiku sendiri, cinta adalah kata termanis, meski mungkin hiperbolis kalau kukatakan tak tertandingi. He...he....
Ngomong soal cinta, ada berbagai kisah yang dapat kita kutip. Di Indonesia, ada kasih tak sampainya Siti Nurbaya-Samsul Bahri. Di negeri Tirai Bambu, ada kisahnya Sampek-Engtay. Ada lagi kisah Layla-Majnun, dan yang paling laris adalah cerita tentang Romeo-Juliet yang mati konyol atas nama cinta, he...he....
Setiap makhluk bernyawa pasti merasakan yang namanya cinta. Seorang pembunuh bayaran saja—populer dengan sebutan Hit Man—bisa merasakan getar-getar cinta, apalagi orang-orang yang bahkan tidak mampu membunuh seekor kecoa —nyindir nih, ye.
Tapi mungin, sekarang telah terjadi evolusi cara pengekspresian cinta dari zaman kakek-nenek dulu sampai zaman sekarang. Ada adaptasi, seleksi alam, dan mutasi—ayo, pasti ada yang teringat buku Biologinya, kan. Orang-orang dulu mengekspresikan cintanya dengan cara yang lugu—bukan lucu dan guriting (^_^)—penuh etika, kalem—eh...eh... bukan kayak lembu (“,)—juga penuh pertimbangan norma. Pokoknya, keep my finger for them, lah.
Namun, dengan batasan tersebut, mereka masih dapat menikmati yang namanya fese romantis. Perasaan yang tertata membuat mereka terlihat lebih anggun dalam pengekspresiannya.
Meski demikian, aku merasa sangat susah untuk menjadi anggun seperti mereka. Jatuh cinta saja, entah sudah yang keberapa kali, padahal aku baru kelas XI SMA. He...he.... Tapi kalau ditanya apa definisi cinta, aku sendiri susah menjawabnya. Buka kamus, yuk!
Berdasarkan kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS. Poerwadarminta, arti cinta itu ada 4. Kalau kita lihat di kamus Oxford, arti cinta lebih kompleks lagi. Untuk cinta yang digolangkan sebagai noun (kata benda), ada sekitar 6 definisi, sedangkan untuk kata cinta yang tergolong verb (kata kerja) ada 3 definisi. Uh...entahlah, cinta memang memusingkan, bahkan Ti Pat Kay punya pepatah sendiri tentang cinta. “Cinta, deritanya tiada pernah berakhir.”
Tapi, yang membuat aku bertanya-tanya, mengapa rasa cinta itu berpindah-pindah. Mengapa aku tidak hanya mencintai satu orang lak-laki saja, lalu biarlah cintaku untuk dia saja, sampai kumenutup mata—kayak lagunya Acha.
Entah, aku ini orangnya bagaimana, tapi kadang aku melakukan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya. Ini dia salah satunya.
Pacaran. Hayo...siapa yang lagi pacaran ? Ah, aku tidak nyindir orang lain, kok. Hm.... Pacar itu batang inai sebangsa Leswonia. Biasanya dipakai sebagai pemerah kuku. Warnanya merah bata, habis itu lama-lama hilang, kalau mau pakai lagi.
Mungkin itu analoginya. Pacaran adalah sebuah warna bagi jalan hidup kita. Suatu saat nanti kalau hilang atau bosan, bisa diganti “pacar” baru.
Ya, mungkin begitulah nasib orang-orang yang pacaran—aku, kamu, dan mereka. Cinta atau tidak saja belum jelas, eh, mau jalin hubungan. Belum lagi, cintanya lompat sana-sini. Kayak kodok saja. Bisa dibayangngkan bagaimana jadinya kalau kodok pakai pacar. Rasanya tidak jauh beda dengan manusia yang pacaran.
Kodok pakai pacar, lompatnya ke sana ke mari dengan kuku merah bata—kodok punya kuku tidak, ya?—sedangkan manusia yang pacaran, cintanya berpindah-pindah, pacarnya juga berganti-ganti.
Uakh... tidak... mana mungkin kusamakan diriku dengan kodok.
Ya, iyalah. Kodok yang lompat-lompat, tidak butuh aturan, kan, kalau masih perawan atau perjaka, lompatnya ke arah sini, yang sudah nikah, lompatnya ke sana. Sama saja dengan pacaran, ikatannya tidak jelas, aturannya tidak ada.
Tapi, ini bisa jadi jalan untuk mengenal lebih jauh calon pasangan hidupku.
Ce...ile.... Memangnya kamu kalau pacaran tidak pernah pakai jaim—jaga imej—ya? Pasti ada saja, hal yang kamu sembunyikan, kalau bukan untuk kelihatan sempurna di hadapan doi, setidaknya biar kamu tidak kelihatan hancur-hancur amat.
Tapi, kami kan, saling cinta, wajarlah kalau kami pacaran.
Uh... cintanya kok, diagung-agungkan. Lagian, perasaan kamu untuk sekarang ini, masih cinta kodok. Tidak ada ikatan, tidak jelas tujuannya, lompat-lompat lagi. Ini sih, pacaran ala cinta kodok.
“Hai kaum Hawa, pacaran itu sarat dengan berbagai pelecehan. Mulai dari pelecehan fisik, sampai denga pelecehan psikis. Pelecehan fisik, misalnya yang sampai fisiknya “digerayangi” sama manusia yang dianggapnya pacar. Pemerkosaan atas nama cinta juga tidak jarang terjadi. Maklumlah, perempuan itu hatinya gampang luluh, jadi ya...gitu deh. Kalau pelecehan psikis misalnya tidak PD, munculnya rasa takut kehilangan (possesive), ketergantungan, bahkan tidak merdeka dalam mengambil keputusan.”
“Hai kaum Adam, tidak malukah kalian, mempermainkan makhluk yang berasal dari golongan ibu kalian—bahasanya kayak titah raja. Seharusnya kalian menjaga para perempuan, mengayomi mereka, bukan malah sebaliknya. Jika mereka terbawa nafsu, seharusnya kalian bisa meluruskannya, bukan malah membuatnya semakin salah arah. Kalian kan, lebih bisa mengesampingkan perasaan dan mendahulukan logika, secara fisik kalian juga lebih baik. Tapi mana tanggung jawab kalian. Payah.”
“Dasar, kodok-kodok muda.” Mama terlihat mengakhiri latihan pidatonya sambil tertawa cekikikan di depan cermin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
ni ceriTa kocak bgT sih,NiLa..hehe
ada2 jh..
bgus..bgus..bRarTi sKrg udh ada perwakiLan dr AkhwT yg pnya sLera mNuLis humor..haha
Post a Comment