Cinta yang Dewasa

"Setelah puluhan abad hunian manusia di bumi, tidak ada satu kata pun yang kutemukan mampu menggambarkan perasaanku padanya. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku langsung menyadari dialah anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku. Bila saja mampu kuraih bulan, akan kuhadiahkan untuknya, karena senyumnya ibarat rembulan di malam hari bagiku. Tangisnya mengiris hatiku, meski kadang air mata itu menetes karena aku.
Bila ini yang disebut cinta, maka aku tidak ingin ini buta. Aku ingin mencintai dengan bijaksana. Aku ingin mengajarkannya tentang dunia, agar kelak dia dapat mengajarkan kepada dunia tentang kebenaran. Aku mencintainya, meski terkadang aku harus tegas menolak inginnya, karena kutau itu tak baik untuknya. Sudah kukatakan padamu, cintaku ini adalah cinta yang dewasa, merasakan dan memikirkan, agar tak terjerumus pada jurang tanpa langit.
Masih kuingat saat pertama kali dia memanggilku, binar matanya hanyutkan hatiku seolah perih akan hilang meski ditabur garam. Pertama kali kupegang tangannya saat dia mulai berjalan, aku hampir meneteskan air mata. Janin yang kukandung sembilan bulan telah mampu berjalan walau terpatah-patah.
Saat itu belum terpikir olehku dia suatu saat akan berpisah denganku, mengikutimu, karena engkau adalah pasangan hidup yang dipilih Allah untuknya. Aku tidak akan memberimu nasihat yang panjang tentang kehidupan berumah tangga, karena kupercaya kau dapat menjadi imamnya. Aku hanya ingin menitipkan putri kecilku padamu. Sayangi dia, lalu dia akan mencintaimu seperti dia tak pernah mengenal cinta sebelumnya. Hormati dia, maka dia akan menyayangimu dan enggan menghianatimu meski godaan di sekelilingnya. Bila kelak engkau marah padanya, ingatlah, dia adalah putri kecilku, didiklah dia dengan cinta yang dewasa."

Abdillah mengusap setetes air mata yang mengalir di pipinya. Surat itu dititipkan sang mertua, tepat di hari pertama dia resmi mempersunting Adelia.

ditulis oleh: Nila Sartika Achmadi