Aisyah masih belia kala dinikahi oleh Rasulullah saw. Tidak jarang dia melakukan hal-hal yang membuat ibunya marah dam menghukumnya. Mengetahui hal tersebut, Rasulullah merasa sedih dan berkata kepada ibunya, “Wahai Ummu Ruman, berikanlah nasihat yang baik bagi Aisyah, dan jagalah aku di dalam dirinya.” (Mustadrak Hakim, 4/6, no. 6716).
Sebelum menikah dengan Aisyah, Rasulullah pernah bermimpi melihat wajahnya. Dalam sahih-nya, Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a., katanya, “Rasulullah saw. bersabda. ‘Engkau telah ditampakkan kepadaku dua kali sebelum kunikahi. Aku melihat malaikat membawamu dengan diselimuti sehelai sutra. Kukatakan kepadanya, ‘Bukalah.’ Malaikat itu mebukanya, dan ternyata itu adalah engkau kemudian aku berkata, ‘Jika ini dari Allah, maka Dia akan memastikannya.’ Kemudian aku melihat malaikan membawamu di balik sehelai sutra, aku berkata kepadanya, ‘Bukalah.’ Dia pun membukanya dan ternyata itu adalah engkau. Aku berkata, ‘Jika itu dari Allah, maka Dia akan memastikannya’.” (Sahih Bukhari, kitab at-Ta’bir, no. 7012, kitab al-Manaqib, no. 3895 dan kitab an-Nikah, no. 5078. Sahih Muslim, kitab Fadha’il ash-Shahabah, no.2438. musnad Imam Ahmadi, 6/41, no. 24188 dan 6/128, no.25015).
Pada zaman dulu, cuaca panas yang dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini. Bahasa Inggris mengistilahkannya precocious (pertumbuhan dini atau kematangan dini). Maka dari itu, memang pantas Aisyah dinikahkan di umur yang sangat muda.
diresume oleh: Nila Sartika Achmadi
Aisyah part 1: "Mari Berkenalan"
Hadist Arba'in 19
Abu Abbas Abdillah bin Abbas r.a. berkata, suatu hari aku berada di belakang Rasulullah saw, lalu beliau bersabda:
“Wahai pemuda! Aku hendak mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah maka Ia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati Ia bersamamu. Bila engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada-Nya, bila engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah.
Ketahuilah bahwa seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu yng bermanfaat bagimu, maka mereka tidak bisa memberi manfaat kepadamu kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepadamu. Dan seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu yang merugikanmu, maka mereka tidak bisa merugikanmu kecual dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah terhadapmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering tintanya (HR Tirmidzi)
Menurut riwayat lain selain Tirmidzi dijelaskan,
“Jagalah Allah, niscaya engkau akan bersama-Nya. Kenailah Allah di waktu lapang, niscaya Ia mengenalimu di waktu susah. Ketahuilah bahwa segala perbuatan salahmu belum tentu mencelakaimmu dan musivah yang menimpamu belum tentu akibat kesalaganmu. Ketahuilah bahwa kemenangan beserta kesabaran, kebahagiaan beserta kedukaan dan setiap kesulitan ada kemudahan!
Di atas adalah hadist arba’in yang ke 19. Dijelaskan bahwa tidak ada kemenangan tanpa kesabaran. Kita harus senantiasa bersabar dari keluh kesah, rasa sakit, maupun berbagai kepayahan. Sesungguhnya di balik semua itu, Allah sedang menggiring kita untuk menjadi seorang pemenang. Seorang pemenang harus memiliki mental juara, dan Allah membantu menempanya. “Ketahuilah bahwa kemenangan beserta kesabaran.” Tak ada kesuksesan atau kekuatan bila ruhiyah kita ringkih. Ruhiyah pun memiliki kebutuhan yang harus senantiasa dipenuhi.
Berikut adalah 5 syarat kemenangan:
1. Memiliki sikap bagaimana menentukan kemenangan
2. Memiliki leading concept. Leading concept atau konsep inti sebaiknya tersusun, sistematis, serta tertuluis.
3. Memiliki sistem yang unggul. Sistem yang unggul itu hendaklah flexible karena dunia ini senantiasa berubah. Tetapi, fleksibilitas harus disertai konsistensi. Walaupun teknis dari sistem yang kita miliki nantinya berubah, inti atau soul dari sistem tersebut harus tetap sesuai niat awal.
4. Memiliki tim atau jama’ah. Dalam berjuang, tidak selamanya kita kuat melakukan semuanya sendiri, kita sering goyah dan membutuhkan penopang. Berada dalam tim atau jama’ah akan memudahkan kita dalam kondisi seperti ini.
5. Memiliki tujuan yang memenangkan.
Selain itu, dalam hadist di atas juga dijelaskan bahwa beserta kebahagiaan ada kedukaan. Karena itu kita harus mengingat Allah di kala bahagia. Kadang kita khusyuk meminta dan berdoa kepada Allah di kala susah, karena kita ingin segera dilepaskan dari belenggu kesusahan tersebut. Namun, di kala bahagia, kadang kita terlena dan melupakan Allah. Sebaliknya, saat berada dalam kondisi duka, janganlah berlarut-larut, karena beserta kesulitan, ada kemudahan. Setiap satu kesulitan, ada dua kemudahan. Kemudahan pertama adalah saat kesulitannya dihentikan dan kemudahan yang kedua adalah hikmah di balik kesulitan tersebut.
Namun kadang, kita mengabaikan kemudahan yang diberikan Allah. Misalnya saat tertimpa sebuah musibah, pikiran kita terfokus pada betapa beratnya musibah yang kita hadapi. Kadang menyalahkan Allah karena kemudahan tak kunjung datang. Tapi tidakkah kita menyadari bahwa, saat kita masih memiliki sahabat untuk sekedar menyampaikan keluh kesah, itu pun merupakan kemudahan yang disediakan Allah? Atau saat tak ada orang yang layak dijadikan tempat berbagi, toh, masih ada Allah tempat mecurahkan keluh kesah. Bukankan itu kemudahan yang sering kita abaikan. Ibarat air mata, yang jasanya sering dilupakan. Tanpa air mata, mata kita akan kering dan tidak mampu melihat indahnya dunia. Tapi tidak banyak di antara kita yang menyadari jasanya dan bersyukur atas kehadirannya.
dirangkum oleh Nila Sartika Achmadi
Surat Dari sang Akhwat
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
“Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama lamanya.” (dikutip dari surat cinta Noura)
Saudaraku...
Jika ada hal yang kusesali karena memulainya, maka aku menyesal memulai semua ini. Karena jika aku tak memulainya, maka Allah akan memulainya untuk kita jika aku memang wanita yang diciptakan dari rusuk kirimu. Banyak hati yang tersakiti, karena ini memang belum saatnya.
Saudaraku...
Semua kenyamanan yang kurasakan saat ini, dan semua rasa yang kukira cinta, mungkin itu tak lebih dari sekedar nafsu belaka. Cinta itu suci, tumbuh atas dasar pengabdian kepada sang Kekasih abadi, namun nafsu hanya tuntutan manusiawi yang jika berlebihan akan menyengsarakan. Jika kukira cinta padahal ini jelas-jelas menentang-Nya, lalu dikemanakan kepatuhan qalbu? Tabiat nafsu itu, semakin diberi akan semakin meminta. Yah, itulah yang kurasakan. Namun cinta adalah kesabaran.
Saudaraku...
Bila kita meninggal sedangkan hati kita masih terpaut nafsu, bukankah itu hanya akan menimbulkan permusuhan di hari kemudian serta sesal yang tak berujung? Bukankan orang-orang yang bersekutu di dunia, kelak akan menjadi musuh dan saling menyalahkan, kecuali orang yang melandaskannya pada cinta karena Allah. Namun dalam hubungan ini, adakah Allah yang didahulukan, atau hanya nafsu yang mendominasi?
Saudaraku...
Sungguh bukan kapasitasku untu bicara seperti ini. Niatku bukan untuk menggurui, tapi ingin kuperingati diriku sendiri agar berhenti meminta sesuatu yang bukan haknya. Sekarang hati dan diriku ingin kukembalikan seutuhnya pada Rabbnya. Bila tiba saatnya, aku ingin Allah memilihkan yang terbaik untuk kita.
“Mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.” (dikutip dr http://motivation.byethost9.com/)
Maaf atas semua yang sudah aku lakukan. Tidak ada niat untuk menyisakan sakit pada siapa pun. Perubahan memang sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama, namun keputusan untuk berubah hanya perlu waktu beberapa saat. Demi Allah yang menggenggam hati-hati kita, semoga kesalahan yang serupa tak kan pernah lagi terulang. Syukran atas semuanya.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
PeRpiSaHaN
sahabat...
ada kaLanya kita betul harus terpisah...
karena itu hakikat penciptaan...
ada pertemuan, dan ada perpisahan...
namun, jarak yang memisahkan kita, bukan penghalang bagi sampainya kasih sayang.
karena cinta yang Allah karuniakan di hati hamba-Nya, "Tak Lekang Oleh Waktu",
biLa cinta itu berlandaskan cinta Illahi...
percayalah, Saudaraku...
hati ini pun, teramat sakit saat harus berpisah..
Tapi kita memiliki lembaran hidup masing-masing,
di dalamnya ada jalan-jalan yang bercabang,
kita telah bertemu di salah satu jalan,
namun, sekarang atau nanti, akan ada persimpangan yang membuat kita harus memilih,
sedangkan pilihan tersebut harus menjadikan kita terpisah.
Sungguh,
untuk perpisahan ini, ada hati yang tersakiti,
namun, darimu, aku belajar untuk merelakan.
karena walau sekuat tenaga kuinginkan kebersamaan,
Allah yang Maha Perkasa telah menggariskan takdir-Nya
Walau kita jauh,
ada doa yang dapat menjadikan kita saling menyapa.
Mencintai dengan lebih anggun.
Doa yang dipanjatkan pada sang Kekasih tertinggi,
tangisan kerinduan, untuk sahabat.
Karena Allah mengikat kita dalam sebuah ikatan suci, yang tak kan putus walau jarak membentang.
ikatan persaudaraan dalam tali iman.
Tapi, sahabat...
perpisahan ini bukan untuk selamanya.
kelak, di sebuah persimpangan, kita mungkin akan bertemu...
persimpangan yang disediakan Allah di bumi-Nya,
atau penghujung jalan yang dihamparkan Allah di surga-Nya.
Misi Manusia
“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah pada Allah. Dialah pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Q.S. Al Hajj: 77-78)
Dalam kalam-Nya, Allah menyampaikan misi manusia, yaitu:
1. Allah memerintahkan untuk rukuk, sujud, dan shalat;
2. Allah memerintahkan untuk menyembahnya;
3. Allah memerintahkan melakukan kebajikan sepanjang kemampuan.
Sesungguhnya kebaikan pertama adalah ketika kita menjauhi maksiat. Selain menjaga tempat-tempat suci, jihad diwajibkan bagi mereka yang memiliki kekuatan dan kemampuan. Allah memerintahkan untuk berangkat dalam keadaan ringan maupun berat.
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. At taubah: 41)
Pada masa Rsulullah saw., seorang sahabat bernama Ka’ab bin Malik yang mengulur-ulur waktu dalam sebuah peperangan. Padahal dia telah paham dan memiliki fasilitas. Sampai akhirnya perang dimulai, dan dia ketinggalan pasukan. Rasulullah saw. lalu melarang siapapun menyapanya selama 40 hari, 40 malam. Dalam masa itu, Ka’ab diuji dengan ajakan pihak musuh untuk bergabung melawan Rasulullah dengan iming-iming duniawi, namun Ka’ ab menolak.
Dari kisah di atas, dapat dilihat, betapa kita diperintahkan untuk segera berjihad, baik dalam keadaan berat, apalagi dalam keadaan ringan. Allah memilih mukmin untuk menjadi khalifah, bukannya Muslim. Karena mukmin benar-benar menempatkan Allah sebagai Illah-nya.
Muslim yang ingin membela agamanya harus memiliki kekuatan jiwa yang sangat kuat dengan pilar sebagai berikut:
1. Tekad membaja yang tidak pernah melemah;
2. Kesetiaan yang teguh tanpa disusupi pengkhianatan;
3. Pengorbanan yang tidak terbatas oleh keserakahan dan kekikiran;
4. Pengetahuan dan keyakinan;
5. Penghormatan yang tinggi terhadap ideologi yang dipegangnya.
Sebuah bangsa akan rapuh tanpa pilar-pilar di atas. Begitu pula ummat Islam, akan rapuh tanpanya. Perlu digarisbawahi pilar yang ke-5, di Indonesia kita mengenal ideologi Pancasila, namun sebagai Muslim, ideologi kita adalah Islam.
Bandingkan Muslim Indonesia dan Muslim Palestina. Kita dalam jumlah yang banyak ibarat kerupuk, yang terlihat besar, namun rapuh, dan rentan melemah hanya lantaran terkena air. Kita telah terbuai dengan dunia, sehingga tumbuh cinta dunia dan takut mati (al wahn).
Mari kita berjuang di ranah kita masing-masing, walau kepayahan, namun selama masih ada Allah di hati, Insya Allah kaki ini tak akan berhenti melangkah hingga tiba di jannah-Nya. Sesungguhnya Allah mennguji kita dalam kelemahan kita. Maka bersyukurlah saat diuji, berarti Allah masih memperhatikan kita. Yakinlah, bahwa semakin kita mendekatkan diri kepada Allah, maka semakin dekat pula pertolongan-Nya kepada kita.
(Resume kajian, dirangkum oleh: Nila Sartika Achmadi)
Aku_Tak_Biasa
Mungkin aku terlalu jaim,,,tapi itulah diriku. Aku tidak tau mengapa begitu sulit bagiku mengungkapkan perasaan yang selalu ada itu. Mungkin aku memang tidak biasa mengungkapkannya. Bukan karena aku arogan, bukan karena aku ingin menzalimi hatiku, tapi menurutku, rasa itu akan tetap ada, tetap inidah, meski cukup aku dan Allah yang mengetahuinya. Tapi kini yang kurasakan berebda, rasa itu bukan untuk sekedar dirasakan, tapi untuk diekspresikan dengan cara yang ma’ruf.
Waktu itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Karena aku tak biasa mengungkapkannya, kusimpan saja rasa itu di ruangan yang mungkin tidak terjamah–jauh di relung hatiku.
Hari itu kulihat dia tergolek kaku, menatap kosong di langit-langit ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan. Lidahnya kelu, tapi kurasakan bahwa dia ingin berkata banyak hal andai dia bisa.
Pikirku kembali pada hari sebelumnya. Dia ingin aku menemaninya, mungkin untuk terakhir kalinya, hanya saja dia tak berani memberitahuku. Aku sungguh ingin menemaninya, aku ingin memeluknya, aku ingin bersamanya. Tapi aku tidak terbiasa dengan semua ini. Aku hanya tersenyum simpul mencoba menetralisir keadaan.
Hari ini, saat dia tergolek tak berdaya, saat nyawanya ada namun seolah tak ada, mungkin dia ingin memintaku menemaninya, namun dia tak mampu lagi mengatakan semua itu. Aku memang terus ada di sampingnya, tapi bodohnya aku, aku tak berani mengekpresikan perasaanku kecuali dengan tetesan air mata yang mengaliri pipiku. Seharusnya kudekap dia, kukecup keningnya, kubantu dia mengingat Rabbnya, mungkin itu akan lebih berarti. Tapi tak kulakukan semua itu. Ya, aku tidak terbiasa.
Hingga akhirnya dia benar-benar pergi. Dia menginggalkanku, tanpa membiarkanku memberitahunya rasa itu.
Malam ini, dia dibaringkan di ruang tamu. Seluruh tubuhnya ditutup rapat dengan sehelai kain. Aku bersandar di pintu ruang tengah. Kutatap dia dari jauh, tapi aku tak berani mendekatinya. Aku tidak ingin orang lain melihatku mendekatinya. Karena… aku tak biasa dengan semua ini.
padahal aku… sungguh aku ingin memeluknya malam itu. Karena aku yakin, ini benar-benar terakhir kalinya kami bertemu di tempat ini. Walau dia tak kan bisa merasakan pelukanku lagi, aku hanya ingin memeluknya. Tapi, aku bukan orang yang terbiasa melakukan semua itu. Kupendam saja inginku, kubiarkan diriku berharap seseuatu yang sebenarnya boleh kulakukan, namun tak mampu kulaksanakan.
Kini, waktu itu telah berlalu sekitar 4 tahun. Aku hanya bisa menyesali mengapa tak kulakukan semua itu. Kini Ayahku, orang yang begitu kucintai, benar-benar telah pergi meninggalkanku ke suatu tempat yang tak mampu kukunjungi. Andai waktu dapat kuputar kembali, aku akan menemaninya malam itu saat dia memintaku ada di sampingnya. Akan kudekap jasadnya yang terbujur kaku tertutup kain di ruang tamu. Andai dapat kuulang waktu, akan kubuat diriku terbiasa mengungkapkan cintaku pad orang tuaku, orang yang memang layak kucintai, seharusnya kucintai, dan wajib kucintai karena Allah.
Tapi waktu tak pernah dapat kembali. Biarlah kini cinta itu ada dan kuungkapkan melalui bulir-bulir doaku untuk keselamatannya.
“I love you, Dad….”
oleh: Nila Sartika Achmadi
Buka Bareng '07 SMANSA Maros
Dua hari yang lalu, ada buka bareng yang diadakan angkatan ’07 SMANSA Maros. Ternyata namaku masuk kepanitiaan, tapi aku hampir gak pernah ikut persiapannya. Alasan pertama karena aku selama ini di Bandung, dan yang kedua, beberapa hari sebelum acara, walaupun aku udah di Maros, entah kenapa kayknya males aja ke sekolah. Mm... males ninggalin rumah tepatnya.
H-1, Ikram mampir ke rumahku karena kebetulan dia baru dari Makassar. Dia sekalian ngajakin ke sekolah buat bayar uang buat buka bareng. Ya Allah, well, Ikram memang bilang kalo rambutnya gondrong dan sebelum aku ngeliat dia, aku udah bilang kalo pasti dia jelek dengan rambut gondrong. Dan... dia ke rumahku dengan rambut gondrongnya, kacamata yang kutau tidak berlensa minus, plus, maupun silinder, dan topi. Saat kubuka gordin pintu tengah yang menghubungkan bagian dalam rumah dan ruang tamu tempat Ikram, ibu, dan adikku duduk berbincang, aku refleks langsung menutup gordin dan masuk lagi.
“Ikram!! Rambut kamu!! Ya Allah!” aku dengan suara sedikit melengking dari balik gordin. Lalu aku menghampirinya di ruang tamu. Bah! Sebenarnya dia gak jelek kok, dengan rambut gondrongnya, hanya saja, aku udah bilang ke anak PHOENIX bahwa aku gak suka ngeliat temen-temen cowokku erambut gondrong. Aku lebih suka mereka cepak, keliatan lebih rapi, keliatan masih seperti waltu kami SMA. Tapi tenang aja, gondrong atau cepak, selama mereka masih menyimpan kenangan kami, kami bakalan terus bareng sebagai PHOENIX. ^^,
Kami berdua jalan kaki di hangatnya sore Kabupaten Maros. Awalnya pengen naik angkot, tapi naik angkot juga tetep harus jalan ke SMANSA, pengen naik becak, gak mungkin kami duduk di becak yang sama, so, amannya ya jalan aja.
Beberapa belas menit berlalu. Ikram sempet bilang, aku waktu SMA harusnya jalan aja ke sekolah, gak usah pake naik becak segala, jaraknya deket kok. Akhirnya kami nyaris tiba di SMANSA. Entah kenapa, mungkin karena mendadak jadi gak PD waktu aku bilang dia jelek dengan rambut gondrongnya, Ikram nanya ke aku, “Nila, kamu malu gak, jalan ma aku?”
“Ha? Kamu malu jalan sama aku?” sengaja kupancing dengan ngebalik pertanyaannya.
“Gak... gak... maksudnya, kamunya, malu gak jalan sama aku?”
“Jah! Ikram. Gak ada alasan buat aku malu jalan sama kamu. Kenapa sih, tiba-tiba ngomong gitu?”
“Gak sih. Maaf yah, penampilan aku kayak gini,” katanya sambil ngebenerin posisi topi di kepalanya.
“Ih, apa-apaan sih, kamu gak perlu minta maaf. Aku bilang gak suka kamu gondrong bukan karena kamu jelek sebenarnya, tapi karena keliatan gak rapih aja.”
“Iya, makanya maaf.”
“Kamu tuh, siapa suruh minta maaf mulu. Kamu bikin aku ngerasa bersalah tau! Jangan minta maaf lagi! Udah!”
Kami akhirnya menjejakkan kaki di halaman SMANSA Maros tercinta. Dari ruang guru, terlihat seorang perempuan, sepertinya salah satu guru kami, tapi aku gak terlalu jelas ngeliat itu siapa, dia melihat ke arah kami. Ibu itu menaruh tangan di atas alisnya, tetap mencoba melihat ke arah kami, tapi akhirnya dia berhenti dan berjalan menuju bagian belakang sekolah.
Tiba di ruang guru, kucari Ibu yang tadi. Ups, tenyata Bu Sri to? Aku dan Ikram salam-salaman sama Ibu. Dia bilang, kami berdua bercahaya banget sampe ibunya silau dan gak bisa ngeliat siapa yang lagi jalan. Aku ngebayangi kami ini kayak vampir Twilight yang bersinar cerah di bawah matahari. Haha... padahal matahari berada tepat di belakang kami, jadi kalo tadi Ibu ngeliat ke arah kami, matanya disilaukan oleh matahari sore.
Kami menuju Mushalla Ulul Albab, mushalla SMANSA Maros. Bangunan mushalla sekolahku ini, sangat menunjukkan bahwa kami membangun mushalla bukan sekedar ruangan sisa, seperti... haha. Ikram shalat Ashar, dan aku ngobrol dulu sama K’ Dharma.
Setelah keliling gak jelas di sekolah, aku dan Ikram jalan menuju ruangan deket koperasi OSIS, entah sekarang itu dijadikan kelas apa, tapi dulu itu kelas XI IS (Ilmu Sosial) 1. Di sana ada
Musda, kami anak PHOENIX alias XII IA 1 bayar buka bareng ke dia.
Prosesi bayar-bayaran udah selesai, aku dan Ikram pamit pulang. Wali, ketua panitia buka bareng, anak XII IA 2, salah satu temenku yang kuliah di Jakarta, nanya.
“Kalo mau ngehubungin kamu, ke nomor yang mana?” tanya Wali ke aku.“Aku gak ganti nomor kok.”
“Iya, tapi nomor kamu berapa?”
“Kamu gak tau nomor aku?” sepintas kupikir HP sempet hilang atau apalah. Soalnya kemarin
kita keep contact kok. Ternyata dia mau ngarahin pertanyaannya ke, “HP kamu di mana?” Dan God, aku udah beneran hampir balik, tapi lupa kalo HP ku tadi kutinggal di bangku panjang depan ruang guru. Hehe... HP nya ada sama Musda. Alhamdulillah gak hilang. Ceroboh!
***
Pagi itu, Ikram ngajakin ke SMANSA bareng buat ikut persiapan buka bareng pas sorenya. Sekitar jam sembilanan rencananya kami bakalan berangkat. Setelah aku mandi dan siap-siap, tenyata Ikram batal ke rumahku. Katanya dia ke SMANSAnya abis Jumatan aja. Alasannya sih, takut di sekolah gak jelas bakal ngerjain apa. Kalo pun mau nyiapin kegiatan, takut bajunya kotor, trus harus shalat Jumat, gak mungkin dia balik ke rumahnya dulu dan kembali lagi ke sekolah. Aku bilang, gimana kalo dia bawa baju ganti aja. Tapi dia tetep gak mau, katanya takut bajunya lecek. Bah! Kalo gitu mah, udah gak ada jalan lagi kita pergi bareng. Aku gak mungkin nunggu dia sampe abis shalat Jumat, udah rapi-rapi gini.
Aku berangkat ke sekolah naik becak. Kamaren-kemaren sih, aku dianterin adek, tapi berangkat sepagi ini dia belom bangun. Hahagh.... Lagian, becak di sini gak semahal becak di Bandung, rata-rata ongkosnya cuman dua ribu rupiah. Dengan jarak yang sama di Bandung, aku harus bayar sekitar enam ribuan. Well, I love this part.
Tiba di sekolah, aku cuman ikut bersih-bersih ruangan dikit trus nyapu-nyapu lantai gitu. Setelah bersih-bersih, aku cuci tangan di keran depan kelasku dulu, XII IA 1, PHOENIX. Di depan terasnya, masih ada nama PHOENIX yang ditulis di atas semen beberapa tahun yang lalu. PHOENIX merupakan sebagian—hampir semua—kebahagiaanku masa SMA.
Ternyata, ujung-ujungnya makanan buat ta’jilnya diracik di rumahku. Alasannya, mereka kan, baru belanja, dan rumahku deket pasar, jadi katanya dibikannya di rumahku aja. Bah! Aku udah rapi ke sekolah, ujung-ujungnya harus balik lagi buat bantu-bantu bikin es kelapa muda dan es buah.
Ta’jil selesai, anak-anak pada balik ke sekolah. Aku shalat Ashar dulu baru berangkat. Nyampe di sekolah, aku bantu-bantu anak konsumsi ngelap piring, setelah itu karirku kembali ke asalnya, menjadi anak acara. Aku minta rundown acara sama Ippank, lalu nanya-nanya apa siapa kira-kira tamu istimewa yang perlu disapa di awal acara. Aku bertindak sebagai MC acara ceremonialnya. Aku ingat jaman SMA, hampir setiap ada acara resmi, aku yang ditnjuk jadi MC nya. Sampe-sampe, MOC (Mathematic Open Championship) yang diadain MSc (Mathematic Society) SMANSA Maros, selama aku SMA, tiga tahun berturut-turut selalu aku yang nge-MC acara pembukaan dan penutupnya. Haha.... Entahlah, mungkin karena mereka tersugesti oleh Pak Syahrir yang saat pertama kali aku nge-MC formal di sekolah, langsung muji-muji, katanya aku MC terbaik yang pernah Beliau liat di sekolah ini. Makanya semua pada percayain tugas MC
ke aku. Haha... iya gak, c? gtw juga deh....
Jadi inget pas acara anak Paskib. Waktu itu ada penyambutan anak Paskib SMA 5 kalo gak salah, yang berkunjung ke sekolah kami. Sebenarnya waktu itu aku jadi kadiv konsumsi (pertama dan terakhir aku masuk kepanitiaan SMA, gak jadi anak acara), tapi aku “dipaksa” jadi MC sama pembina Paskib. Aku seneng sih, soalnya gak perlu berkutat ma konsumsi, dan jiwaku memang acara. Tapi waktu itu suaraku lagi agak serak, tapi entah... Ibunya kekeuh harus aku.
Waktu nge-MC, di backstage aku ada asisten, Nunu, ade bungsuku. Huhu... dia kuminta megangin pulpen, kertas-kertasku, dan kipas. Kalo turun panggung, kadang aku minta dikipasin, atau aku ngipas sendiri kalo cara dia gak terlalu bagus. ^^, lagakku udah kayak tuan putri.
oleh: NiLa Sartika AChmadi
Mengakhiri Nafsu Berkedok Cinta
Aku pernah mencintai dan merasa ingin memiliki seutuhnya sesuatu yang bukan milikku. Aku sangat takut kehilangan padahal aku tidak mungkin kehilangan sesuatu yang bahkan tidak kumiliki.
Au mencintainya karena merasa diperlakukan seperti seorang putri. Waktu itu aku sempat bilang padanya, aku tidak tau permintaanku yang mana yang tidak dia penuhi. Kedekatan itu semakin menjadi saat kami terpilih menjadi ketua dan sekretaris umum OSIS. Sebenarnya aku menyadari bahwa ketertarikan pada lawan jenis itu adalah fitrah yang disematkan bersama penciptaanku sebagai menusia. Tapi rasa itu bukan untuk disemikan dengan cara saling mengungkapkan rasa, atau pun kedekatan yang melanggar syari’at agama. Kami memang tidak pernah keluar berdua atau nge-date seperti orang pacaran, tapi kami saling menyimpan rasa, mengungkapkannya, lalu buncahan-buncahan ketertarikan akan semakin mendesir dalam dada kami. Entah bagaimana caranya, tapi iblis sangat tau cara untuk menjerumuskan iman kami. Semua ini terlarang bagiku maupun dia, bukan hanya karena kami anak rohis sehingga tidak boleh terjebak skandal VMJ (Virus Merah Jambu), tapi juga karena kami ini hamba Allah, yang dititipi amanah hidup untuk beribadah pada-Nya, bukan untuk menuruti hawa nafsu yang bertopeng “cinta”.
Saat aku menyadari bahwa gayung telah bersambut, hatiku semakin terpaut padanya. Dulu aku sempat menjadi sangat posessive, begitu takut kehilangan dia, walaupun sisi hatiku yang lain menytakan bahwa tidak mungkin aku kehilangan, karena dia pernah berjanji padaku. Karena janjinya itu, aku mengabaikan bahwa Allah yang memutuskan semuanya, bahwa ada sesatu bernama takdir yang menantiku di ujung jalan ini, bahwa sekuat apa pun aku mempertahankannya, bila Allah menakdirkan aku dan dia bukan jodoh, maka tidak ada yang dapat kami lakukan.
Dia pernah berjanji padaku bahwa dia akan mencintai aku—hanya aku—untuk selamanya. Dengan berpegangan pada janji itu, aku menaruh keyakinan bahwa apa yang kai rasakan akan berlangsung untuk selamanya.
Aku tidak pernah menginginkan sesuatu lebih dari keinginanku untuk menikah dengan dia suatu saat nanti. Sesekali dia pernah mengingatkan bahwa ada takdir yang menentukan jalan kita nantinya, bila nanti kita tidak jodoh.... Tapi aku tidak pernah sepenuhnya mengerti dengan kalimat sederhana itu. Ketika dia mengatakan hal tersebut, aku langsung mengklaim bahwa dia sudah tidak mencintaiku lagi dan telah memutuskan untuk meninggalkanku. Mendengar klaimku yang sangat childish dan begitu posessive, dia pun serhenti hanya di pernyataan itu, tanpa memberi melakukan reasoning apalagi elaboration (dalam debat, dikenal assertion, reasoning, elaboration, lalu link back).
Semua kenangan yang kulalui bersama dia sejak kelas 2 SMA, kurasa tak akan pernah tergantikan. Kenangan itu ingin kumiliki untukku dan orang yang ditakdirkan sebagai suamiku kelak, dan aku ingin orang itu adalah “dia”. Aku merasa bahwa kenangan itu adalah kenangan terindah yang pernah dan akan kumiliki seumur hidupku, tak akan terulang maupun terganti dengan yang lain.
Sama seperti persahabatanku. Selepas SMA, saat memasuki bangku kuliah, aku tidak pernah menyangka akan menemukan persahabatan seperti yang kurasakan waktu SMA. Kukira sahabat masa SMA ku adalah yng terbaik, tak kan tergantikan oleh siapa pun yang kutemui di bangku kuliah. Aku merasa tidak akan ada yang dapat mengerti aku kecuali sahabat-sahabatku di SMA, Phoenix dan anak SMANSA Maros yang lain. Kukira selama kuliah aku hanya akan menemukan teman yang hadir lalu pergi lagi, tak kan ada sahabat dan tak kan ada kenangan yang tercipta untuk diingat di kemudian hari. Hanya saja, aku keliru, di sini, kuemukan begitu banyak sahabat, orang yang menerima aku apa adanya, dan mampu menemani proses belajarku menjadi seorang akhwat sejati.
Kini, cinta yang kurasakan pada orang itu tidak hilang bahkan semakin tumbuh hingga saat ini, saat aku memasuki tahun ketiga di bangku kuliah. Akan tetapi, cinta yang kurasakan, bukan lagi rasa ingin memiliki yang sedangkal dulu, bukan lagi sebuah pemaksaan atas takdir Allah, bahwa aku hanya menginginkan dia untuk masa depanku. Cinta yang kurasakan bukan lagi gejolak nafsu seperti dulu. Cinta yang kini kurasakan adalah kecintaan saudara kepada saudaranya. Aku mencintainya sebagai saudara seimanku, aku tidak ingin Allah memurkainya karena kedekatan kami yang melanggar syari’at.
Semua perubahan ini tidak berlangsung dalam waktu dekat dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku harus melawan hatiku yang masih sangat menginginkan dia, aku harus membiarkan pipiku terus dialiri air mata yang harus kusembunyikan dari dunia karena aku tidak ingin terlalu banyak yang menyadari betapa aku bersedih atas semua ini. Selama sekitar setahun empat bulan, hubungan kami begitu dingin, kami sempat saling menghindar, diam-diaman, pokoknya segala cara untuk melepaskan tautan yang sempat menghubungkan hati kami.
Kini, aku telah mampu mengikhaskannya. Melepasnya kembali pada Rabb seluruh alam. Tidak peduli siapa jodohku kelak, aku telah menyerahkan pada Allah untuk memilihkan untukku. Kini aku telah mampu tersenyum walaupun dia tidak lagi di sisiku sebagai orang yang mencintaiku seperti dulu. Dia tetap ada sebagai saudaraku, tidak lebih dari itu. Semoga ini menjadi perpisahan karena Allah. Mungkin kelak dia akan bertemu seorang akhwat yang jauh lebih baik dari aku yang dipihkan Allah baginya, begitu pula denganku dan masa depanku. Dan kini aku dapat tersenyum atas hal tersebut.
Kini aku telah menikmati indahnya ukhuwah tanpa embel macam-macam, tanpa digrogoti VMJ, dan aku sungguh menikmatinya. Alhamdulillah....
oleh: Nila Sartika Achmadi
15 Agustus 2009
Kalo dihitung dari hari ini, sekitar 21 hari lagi aku insya Allah balik ke Maros. Hm... kalo aku gak balik lagi Ramadhan ini, bisa-bisa aku jadi the next Bang Toyyib, tiga kali puasa tiga kali lebaran gak pulang-pulang.
Entah mengapa Ramadhan tahun ini banyak banget hal yang membuatku begitu kangen rumah. Yah, gak bisa kupungkiri juga ada beberapa orang yang menjadi stimulus keputusanku ini. Tapi walau stimulus itu ada, dan kurasakan ada keinginan di dalam hatiku, aku tidak ingin meminta pada Ibuku untuk mengizinkanku pulang. Aku ingin pulang kalo ibuku dulu yang nawarin buat pulang. Aku takut, kalo aku minta pulang, sebenarnya ibuku gak ada uang, tapi diusahain banget-banget karena tau aku udah minta. Secara, aku itu anaknya jarang meminta sesuatu, makanya sekali minta, kadang orang tuaku mengusahakan sekuat tenaga untuk memenuhi keinginanku.
Namun, untuk Ramadhan kali ini, ibuku yang langsung meminta aku untuk pulang. Bahkan, waktu masih di Surabaya, begitu tau aku ini lagi libur, dia langsung nanya, kenapa aku belum ngusahain untuk pulang. Artinya dia udah gak sabaran pengen ketemu aku. Haha... so do I Mom. Well, Ramadhan taun lalu, aku terlanjur cerita bahwa aku jadi sekretaris panitia Ramadhan. Hm... ibuku itu gak pernah mau ngeganggu sedikitpun kegiatan kuliahku maupun organisasi di kampus. Dia kepengen aku fokus sama semua yang aku kerjain di kampus. Aku tau dia kangen banget, begitu pula aku. Tapi dia melepaskan kerinduannya dan bilang bahwa aku gak usah kepikiran pulang atau apa pun, cukup aku fokus dengan yang lagi aku jalanin sekarang. Walaupun dia kangen, rasa kangen itu dapat ditunda, beda halnya dengan pengalaman yang sedang aku rajut, pengalaman itu belum tentu muncul untuk yang kedua kalinya.
Ibuku, melepaskanku pergi ke Bandung dengan penuh pengorbanan. Selama aku masih tinggal di rumah, sejak aku lahir sampai tamat SMA, jarang banget aku nginap di luar, baik di rumah keluarga, apalagi di rumah teman. Beda dengan adik-adikku yang sering nginap di rumah nenek, aku justru lengket banget sama orang tuaku. Jangankan nginap, keluar bentar aja dari rumah—dari aku kecil sampai SMP—pasti langsung dicariin. Adik-adikku yang lain, baru dcariin kalo udah mau Maghrib belum pulang juga. Padahal, aku ini anak sulung, tapi kadang aku merasa penjagaan orang tuaku kepadaku melebihi adik-adikku.
Aku tau, baik aku maupun ibuku tidak pernah lama berjauhan. Kini, dia harus rela melepaskanku, membiarkan dirinya menanggung kerinduan, demi cita-citaku. Seperti yang pernah kukatakan bahwa bila ada orang yang paling tersiksa karena jauh dariku, maka orang itu adalah ibuku. Hanya saja, dia tetap profesional, karena jaman dia kuliah dulu, dia juga jauh dari orang tuanya. Dia sepenuhnya menyadari bila membebankan kerinduannya padaku, hanya akan membuatku kepikiran rumah sepanjang tahun dan tidak mampu fokus pada pencapaian cita-citaku. Maka dari itu, dipendamnya kerinduan pada anaknya ini hanya bagi dirinya sendiri. Sangat jarang dia mengatakan rindu padaku, padahal aku mampu mendengar dari suara dan cara bicaranya bahwa ada secercah kerinduan yang menggelayut di ujung hatinya.
Waktu SMA, akhirnya kau diizinkan untuk ikut ekskul. Izin itu kujadikan momen untuk sibuk di sekolah. Aku pernah jadi sekretaris OSIS, kadiv Penerbitan Buletin Rohis, wakil ketua di English Fans Club, wakil bendahara di Mathematic Society, anggota KIR, aku juga sempat ikut-ikut club seni di jurusan drama. Hampir setiap hari aku pulang menjelang Maghrib. Saat pulang, ibuku tidak pernah mau tau aku baru aja udah makan atau belum, pokoknya nyampe rumah, ganti baju, langsung makan, kalo nggak, ibuku akan mengklaim bahwa aku sedang sakit. Makanya, kalo ada temen yang ngajakin makan sebelum pulang, jarang kuturuti, abisnya, makan sebelum pulang, nyampe rumah langsung makan lagi. Dan... kalo aku bilang udah makan di sekolah, pasti ditanya makan apa, paling aku cuman makan bakso atau mie pangsit, atau gado-gado, dan ibuku bakal bilang, “apa tuh, bakso, gak sehat, kamu kalo tiap hari makannya bakso mulu mau jadi apa?... bla... bla... bla....”
Coba bandingkan hidupku di Bandung sebagai anak kostan. Mana ada yang mau nyiapin aku makan tiap mau makan. Padahal dulu, kalo nyampe rumah, langsung disiapin makan, kalo ibuku lagi sibuk, biasanya adekku yang bungsu yang diminta ibu buat nyiapin aku makan. But now, it’s all by myself.
Hehe... tapi, kalo aku gak ngalamin ini semua, hidup sebagai anak kost, mana mungkin aku ngerasain pusingnya ibuku mikirin menu makan sekeluarga tiap hari. Aku aja yang hanya mikirin makan buat aku sendiri udah pusing, malah kadang sampe males makan. Kalo aku tetap jadi anak yang serba disiapin segala macamnya di rumah, aku nanti gak akan bisa nyiapin segala macam keperluan rumah tangga kalo udah nikah. Mungkin itu satu dari sekian hikmah menjadi anak kost, terpisah dari rumah, dan harus berjuang sendiri. Hidup anak kost!
oleh: Nila Sartika Achmadi
Biarkanlah Berlalu
16 Agustus 2009
Pagi ini kumulai hari dengan senyuman. Aku tidak peduli lagi kesalahan yang kulakukan di masa lalu. Aku tidak akan terus menyalahkan diriku atas apa yang telah kuperbuat karena aku tak akan mampu untuk mengulang waktu dan menghindarkan diriku dari kesalahan. Yang kutau bahwa kesalahan membuatku mengetahui kebenaran. Aku sungguh tidak perlu menyesalinya, karena penyesalan hanya akan membuatku terpuruk. Aku harus bangkit dan menghadapi sisa waktuku untuk memperbaiki segalanya dan menghadapi masa depanku yang cerah.
Pagi ini, aku ingin hatiku menemukan jalan terbaik untuk kulalui. Aku telah memutuskan untuk memberi diriku kesempatan. Hanya butuh waktu untuk belajar. Aku tau, merubah sisi buruk dalam diri dan hatiku tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi hal lain yang kuketahui adalah berdikit-dikit lama-lama jadi bukit. Dengan terus berusaha, berpikir positif bahwa aku bisa, walau sedikit demi sedikit, perubahan itu akan bermuara pada kebaikan, dunia dan akhirat. Bukannya Allah menuruti persangkaan hamba-Nya? Aku percaya bahwa Allah menyediakan sebuah skenario dahsyat untuk kuperankan. Dengan skenario itu, Dia akan menguji keteguhan imanku.
Hari ini, aku melangkah lagi. Wish me luck!
oleh: Nila Sartika Achmadi
22 Jam Terpanjang
Baru-baru ini, aku melalui 22 jam terpanjang yang pernah kurasakan. Pagi itu, semua terasa begitu tergesa-gesa. Aku dan teman-temanku yang lain harus mempersiapkan perjalanan ba’da Subuh kami dari Surabaya menuju Bandung dengan mengendarai Pregio. Sama sekali tidak ada yang buruk dengan semua itu. Hanya saja, pagi itu, kami seolah baru dimuntahkan oleh kelelahan panjang, sehingga tidak ada satu pun dari kami yang bangun Subuh tepat waktu walaupun semua alarm dibunyikan. Aku pun sama sekali tidak mendengar apa-apa, apadahal alaramku berbunyi 4.20 pagi.
Begitu bangun, aku segera wudhu. Setelah shalat Subuh dan menunggu yang lainnya menggunakan kamar mandi, sekarang giliranku. Aku tidak sempat mandi lagi, karena udah sikat gigi sebelum shalat, aku hanya cuci muka. Yah, ini memang bukan persiapan yang baik untuk menempuh perjalanan jauh. Tapi aku tau, waktunya tidak akan cukup bila 5 orang perempuan di kamar itu mandi sebelum berangkat. Aku tidak akan menceritakan siapa selain aku yag tidak mandi—aku bahkan tidak ingat lagi—tapi yang kutau, kami telat. Tidak mandi sebelum perjalanan jauh tak kulakukan tanpa persiapan. Malamnya aku udah mandi, keramas, dan segala macam, jadi gak perlu merasa hm.... Ups. It’s me!
Setelah semua penghuni kaar cewek di rombongan kami telah siap, aku mengecek anak-anak cowoknya. And guess what! Mereka belum pada siap. Hmmph... padahal tadi Subuh, saat ditelepon, mereka bilang udah siap berangkat. Well, kuakui aku ini orangnya sering ngaret, karena aku gak suka nunggu. Makanya, saat menghadapi anak-anak cowok yang telat membuatku menunggu selama 4 kali dalam 5 pertemuan, aku harus sedikit mengelus dada.
Ngomong-ngomong soal menjemput anak-anak cowok di kamar mereka, aku pengen nyeritain satu pengalaman ter... well, aku gak tau ini pengalaman ter-apa, tapi aku senang menceritakannya.
Here we go! Pagi itu, seperti biasanya, anak-anak cewek udah rapi dan siap berangkat, sedangkan para cowok belum muncul batang hidungnya di depan bangunan asrama. Sesuatu yang kubenci dari hal ini adalah; aku dan anak-anak cewek lainnya, harus buru-buru menyiapkan semuanya, kami menjadwalkan mandi maupun menyetrika pakaian agar bisa selesai tepat waktu. Kami tidak bisa berlama-lama menikmati mandi pagi agar tidak telat. Setelah kami semua siap, cowoknya belum pada muncul. Berdasarkan pengalaman hari-hari sebelumnya, saat kami siap, mereka baru antri untuk mandi sambil baring di atas tempat tidur. Good!
Kuputuskan untuk menjemout mereka. Dalam beberapa menit, aku tiba di lantai 2, di depan kamar 222, tempat anak-anak cowok kampusku nginap. Aku mengetuk pintu dan beri salam. Beberapa kali kulakukan, tidak ada jawaban dari dalam. Mm... maaf, tapi ini terpaksa kulakukan. Asumsi umumku berkata bahwa jika tidak ada jawaban dari dalam berarti ruangan itu kosong, tapi ke mana mereka jika tidak ada di kamarnya dan juga tidak ada di mobil padahal kami harus segera berangkat. Akhirnya, aku mengintip lewat lubang kunci. I meant no harm.
Ups... seharusnya kalo mereka sudah meninggalkan kamar, lubang kuncinya kosong. Tapi kulihat kunci masih tergantung di lubang kunci. Aku menyimpulkan bahwa masih ada orang di kamar tersebut. Kuketuk kamar itu sekali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Aku mulai penasaran. Kulihat di samping kamar itu ada jendela besar seukuran pintu. Beberapa jendelanya hanya kaca, bukan untuk dibuka-tutup. Kucek jendela terakhir yang masih tertutup gorden dan yah, terbuka. Jendela itu mengubungkan bagian depan dengan balkon belakang kamar anak-anak cowok. Kuputuskan untuk masuk lewat jendela. Ini darurat, kalau tidak, aku tidak akan melakukan hal ini, hehe....
Aku tiba di balkon mereka. Kuketuk pintunya, tetap tidak ada jawaban. Ada apa ini sebenarnya. Baiklah, mereka tidak memberi jawaban, padahal kunci masih terpasang di bagian dalam pintu depan, sedangkan di bawah, di lapangan parkir tepatnya, mobil dan semuanya sudah menunggu mereka.
Akhirnya kuputuskan untuk masuk saja, karena kebetulan pintu belakang kamar mereka tidak dikunci. Dan... ternyata, dua makhluk aneh—dua orang cowok utusan kampusku—duduk manis di tempat tidur mereka. Entah apa dan mengapa, mereka jelas-jelas mendengar ketukan pintunya sejak tadi tapi tidak satu pun dari mereka yang membukakan pintu. Di kamar itu, seharusnya juga ada mahasiswa dari kampus lain, tapi semuanya sudah berangkat, yang tersisa hanya kedua teman-temanku. What the... mmph....
Wo0keey... sekarang kita kembali pada cerita perjalanan pulang dari Surabaya menuju Bandung.
Kami meninggalkan asrama haji Surabaya sekitar hampir pukul 7 pagi, padahal kami rencana berangkat tepat setelah shalat Subuh. Saat tiba di sebuah mini market, tiba-tiba aku mules. Huhu... untung ada kamar mandinya. Thanks God.
Tiba jam makan siang, kami makan di sebuah rumah makan Padang. Mm... aku suka banget kepala ikannya. Yummy! Salah seorang temanku, ade kelas tepatnya, sangat suka mendesain sisa makanan setelah kita makan. Ini kali kedua kulihat dia bermain dengan sisa-sisa makanan. Ide mendandani sisa makanan itu cukup kreatif, tapi agak sedikit memualkan. Melihat semua tercampur aduk seperti... well, tidak perlu dideskripsikan.
Setelah makan siang, aku minum obat anti mabuk—mabuk darat. Wow, reaksinya sangat cepat. Tidak berapa lama setelah mobilnya jalan, aku telah masuk ke dunia mimpi. Entah ada kejadian apa saat aku tidur. Aku terbangun—hanya mendengar, namun belum sanggup membuka mata—saat mendengar orang-orang memanggil nama Bowo. Ada apa dengan Bowo?
Aku tidak merasakan gerakan maju mundur sebagai efek percepatan atau perlambatan mobil. Sepertinya mobil memang sedang berhenti. Semua masih terus menyebut-nyebut nama Bowo. Akhirnya kupaksakan diri untuk membuka mata walaupun sangat berat. Bowo udah gak ada—di mobil. Dia berdiri di depan pintu mobil, di sampingnya ada seorang wanita paruh baya sedang memeluknya. Bowo memanggil wanita itu Tante. Bukan... dia tidak dijemput oleh “tante”, tapi yang menjemputnya beneran tantenya, saudara dari orang tuanya. Alhamdulillah. Semua orang melepas kepergian Bowo dengan tantenya di suatu tempat di wilayah Jawa, I really didn’t know where we were. Semua orang melambaikan tangan pada Bowo kecuali aku sepertinya. Bukan... bukan karena aku benci Bowo karena dia telat mulu, atau karena dia selalu mengatai kami—mahasiswa cewek rombongan kampus—sebagai anak-anak aneh, bukan pula karena dia selalu numpang nge-charge HP di kamar kami, tapi karena aku memang udah gak punya tenaga, jangankan mau memberikan lambaian tangan perpisahan pada Bowo, buka mata pun kayaknya susah banget.
Aku kembali melanjutkan tidur. Huh, dasar, entah ini pure pengaruh obat atau karena aku memang capek, malamnya kurang tidur, kemarin siangnya jadwal padet, atau karena emang aku doyan tidur, seperti julukan yang diberikan bapakku, sang Putri Bantal dari negeri Al-Kasur.
Kali ini, saat aku terjaga, perlahan kubuka mata. Mobil telah berhenti. Semua orang yang duduk di jok di hadapanku, termasuk driver nya pun telah tiada, maksudnya tidak terlihat olehku. Entah semuanya ke mana. Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan di mana mereka, aku ngantuk, lalu kulanjutkan tidurku. Saat pikiranku melayang perlahan menuju perbatasan antara dunia nyata dan alam mimpi, kudengar beberapa orang dari jok belakang menyuruhku bangun karena mau lewat, dan aku sepenuhnya menghalangi jalan.
Duh, aku tidak tau untuk apa mereka keluar, tapi aku benar-benar tidak punya tenaga untuk bangun. Ngantuk berat! Kulihat di sampingku, semua orang juga udah gak ada. Awalnya aku hanya tidur dengan posisi duduk, akhirnya aku baring. Ups, ternyata semakin menghalangi jalan. Okey, aku tidak tau mereka yang kejebak macet di jok paling belakang tau kelemahanku atau tidak, tapi tiba-tiba ada yang mencolekku. Dari tadi mereka coba membangunkan, kurasakan ada yang menggoncang-goncangkan bahuku, or anywhere in my body, tapi aku tidak merasa terganggu. Hanya saja, aku benci dicolek, atau disentuh dengan ujung jari. Tindakan mereka mencolekku membuat aku teriak kencang di mobil. Mungkin seperti orang histeris, aku teriak sambil menghentak-hentakkan kaki, seolah aku ini pengendali bumi yang menghentak bumi untuk menyerang lawan.
Well, tindakan mereka cukup berhasil untuk membuat bergeser dan mebiarkan mereka keluar. Ternyata semua orang mampir di mushalla untuk shalat Dzuhur. Akhirnya kuputuskan—memang harus kulakukan—untuk turun dari mobil dan shalat Dzuhur. Saat turun, aku sempat oleng dan hamoir jatuh. Untuk ada Diah yang dengan sigap meraihku....
Hari mulai sore. Aku, Depoy, dan Anti memulai transfer-transfer foto. Dari HP Anti dan Depoy, ada sekitar 250an foto, belum dari camdi dan HP Teh Martha. Setelah transfer foto selesai, kami menyadari sesuatu. Cemilan habis, dan kami laper lagi. Oh, God! Waktu itu kami udah di Jogja. Semua sepakat untuk membeli gorengan. Lalu mata kami bertindak jeli memandang ke sebelah kiri dan mencari tukang jual gorengan. Setelah lama jelalatan, mata kami akhirnya menemukan tukang gorengan tapi sayangnya kami kurang koordinasi dengan driver. Mobil tetap melaju melewati tukang gorengan, dan dalam beberapa detik, tukang gorengannya telah terlewati cukup jauh.
Okay, kali ini driver mulai berhati-hati sampai akhirnya kami menemukan tukang gorengan berikutnya. Di mobil, ada 9 orang, dan Teh Martha membeli 50 biji gorengan untuk kami. Aku tidak tau pasti gorengannya habis atau tidak, yang jelas, aku makan lebih banyak singong goreng daripada bala-bala, padahal bala-bala is my favourite. (Penting ya?)
Perjalanan terus dilanjutkan. Adzan Maghrib berkumandang, dan diputuskan untuk mencari mesjid terdekat. Aku gak tau pasti kai mampir di pom bensin mana, yang jelas, kamar mandinya bauuu banget.... Saat di tempat wudhu, untuk akhwat, kerannya ada sekitar 4 buah. Yang 3 dari 4 keran itu tertutupi dari pandangan dunia, halah!! Depoy, tidak berjilbab, wudhu di keran nomor satu, yang terlihat dari luar. Saat aku sedang memakai jilbab, tiba-tiba salah teman-temanku yang berjilbab pada teriak. Ternyata ada seorang cowok yang ngira temptat itu tempat wudhu cowok dan NYARIS melihat temen-temenku yang berjilbab lagi wudhu. Menurut teori Depoy, mungkin dari belakang Depoy terlihat kayak cowok, makanya si cowok yang tadi ngira itu tempat wudhu cowok.
Perjalanan terus berlanjut. Kami makan malam sekitar setengah dua belas malam. Wow, untung tidak ada yang sedang terikat program diet. Dalam perjalanan ini, kami kerjaannya makan lalu tidur di mobil. But we enjoyed this, anyway. Hoho.....
Kami mampir di rumah makan Pringsewu kalo gak salah. Hal yang kusuka dari tempat itu, karena sembari menghidangkan makanan, seorang pegawai akan memperlihatkan kami sebuah sulap kartu. Otomatis semua mata menuju padanya. Apalagi kali ini, Anti dan Depoy yang duduk di ujung meja yang berbeda dengan tempat pegawai itu berdiri sampai harus nyamperin si pegawai biar bisa melihat trik magic dari dekat. Saat sulap plus triknya selesai dipaparkan oleh si pegawai, kami pasti dihadiahi kartu sulap, setelah fokus kami kembali ke meja maka, semua makanan telah terhidang. Jadi, kami tidak perlu repot-repot melihat pelayang menghidangkan makanan di meja panjang untuk kami karena kami fokus nonton sulap. Tepat setelah sulap selesai it’s like a magic, makanan pun telah siap. Seneng dech!!!
Salah seorang temanku, adik kelas, memesan es jeruk. Dia mengeluh, kok, es jeruknya asem. Entah itu pengaruh ngantuk atau kecapean di mobil, dia lupa ngaduk es jeruknya, sedangkan gula cair dari es itu masih utuh di bagian bawah. Setelah diaduk, es jeruknya masih rada asem. Ya iyalah. Jeruk nipis yang dipasang di ujung gelas, ikut jatuh ke jusnya. Sepertinya temanku yang satu itu memang lagi bermasalah dengan es jeruk. Tidak ada sendok untuk mengeluarkan jeruk nipis dari es jeruk, akhirnya kusuruh dia mengambilya dengan tangan, toh, jeruknya mengapung. Setelah itu, aku bilang ke dia untuk menghisap jeruk nipisnya, dan auw... alisnya mengernyit dan matanya berkedip, ekspresi kekecutan. Semua orang di meja kami tertawa melihat tingkahnya, saat dia mengeluh jeruk nipisnya kecut. Maaf. Aku gak bermaksud membuat hidupnya bersama es jeruk semakin tertekan, tapi aku cuman bercanda. Aku gak tau ada orang yang mau mengikuti saranku untuk mengisap jeruk nipis padahal dia dari awal mengeluh tentang rasa kecut. I’m sorry.
Perjalanan berlanjut, kami tiba di Banjar. Aku tidak tau pasti Banjar itu di mana, tapi salah seorang temanku harus turun di tempat ini. Sebenarnya aku itu orang yang tidak terlalu peduli hal-hal detail (pada kondisi umum), makanya kalo di perjalanan, aku kadang gak tau dari mana lewat mana dan sedang di mana, yang jelas kutau bahwa aku pasti sampai di tempat tujuan.
Entah sekitar jam berapa, yang jelas udah hampir Subuh, aku bangun. Kubalas sms yang ada sejak sekitar sejam yang lalu. Iseng aku menengadah langit. Ada bulan di sana. Tapi aku tak tau kenapa, bulan malam itu bukan bulan yang bisa kunikmati keindahannya, seperti biasa aku saat melihat bulan. Bulan itu putih, tapi ada awan hitam yang terus berjalan menutupinya perlahan, lalu menampakkannya lagi. Rada horor ngeliatnya.
Aku tiba di kostan Eel—karena aku memutuskan untuk ngetem dulu di tempat Eel sebelum pulang—sekitar pukul 5 subuh 13 Agustus 09. Kemarin, kami berangkat pukul 7 pagi 12 Agustus 09. Sekitar 22-23 jam perjalanan terpanjang yang pernah kurasakan.
oleh: Nila Sartika Achmadi
Semi dan Final PMDC '09
Ini pertama kalinya kau memperoleh pengalaman seperti ini. Hari itu, aku dan tim debat IM Telkom harus persentasi makalah untuk semi final PMDC 2009 (Perbanas Marketing Debate Championship 2009). Bukan lolos semi finalnya yag menjadi pengalaman pertamaku, tapi apa yang sedang kurasakan.
Saat terbangun tadi Subuh, aku mendapati, temanku Nisa, badannya demam. Padahal yang mendapat tugas presentasi makalah adalah aku dan Nisa. Mungkin saja aku membatalkan Nisa ikut presentasi, dan kutangani sendiri, tapi poin kerja sama kami akan rendah. Aku nanya Nisa bisa presentasi atau gak, katanya sih, bisa. Aku gak mau maksain dia untuk presentasi, aku gak mau mengeksploitasi teman sendiri hanya demi kemenangan, lagian gak mungkin aku maksain dia presentasi, trus tiba-tiba pingan di panggung. Waktu itu aku udah parno sejauh itu.
Sebenarnya, bukan hanya Nisa yang sakit pagi itu. Aku pun sedang gak enak badan. Punggung sampai betisku mengalami ngilu-ngilu gak jelas, pegel, dan kayak mau patah. Biasanya sih, ini adalah gejala seperti ini adalah warning bahwa aku bakalan demam. Ya Allah, aku takut banget, tapi aku gak mau bilang atau ngeluh apa pun ke siapa pun, aku gak mau orang-orang juga ikut khawatir ke aku, dan untuk menguatkan Nisa, aku harus kuat dulu.
Saat di bus menuju Perbanas, aku nelpon ibuku. Entah mengapa, ada rasa haru yang menghujam hatiku. Biasa lah, ya, kalo lagi sakit, mode Melankolisnya pasti on. Aku hanya bisa menyebutkan satu kalimat, agar ibuku mendoakan yang terbaik untuk aku dan timku. Ibuku bilang, tanpa kuminta dia akan selalu mendoakanku. Aku sebenarnya kepengen cerita kalo aku lagi gak enak badan, bla... bla... bla... tapi kuurungkan niatku, mataku keburu basah karena nangis. Mendengar suara ibuku, kantong air mataku langsung bocor, sekali aku ngeluarin kalimat baru, pasti ketahuan bahwa aku nangis. Aku gak mau bikin ibuku khawatir. Well, sampai sekarang, aku masih bisa tahan untuk gak cerita ke siapa pun, dan aku harus bisa tetap terlihat kuat. aku perlu menjadi kuat untuk dapat menguatkan.
Aku dan rombongan IM Telkom, juga panitia PMDC ’09 ngusahain obat buat Nisa. Akhirnya diputuskan untuk mengurangi persentasi Nisa, dan dialihkan ke aku. Saat maju persentasi, aku bersyukur Nisa gak terlihat seperti orang sakit, setidaknya dari cara persentasinya (mungkin hanya terlihat dari wajahnya yang pucat). Saat presentasi semi final, aku sempat ragu, soalnya waktunya gak cukup, dan aku harus ngomong kayak pembalap dan melakukan skip-skip di beberapa tempat. Untungnya kami tertolong oleh sesi tanya jawab. Adit, anggota tim kami yang tidak ikut presentasi, mendominasi sesi tanya jawab, lalu sisanya dilengkapi oleh aku dan Nisa.
Aku ingat pesan Bu Ine, pendamping tim IM Telkom, bahwa aku sebaiknya menjawab dengan Bahasa Inggris kalo ada juri yang nanya pake Bahasa Inggris. Kebetulan, salah seorang jurinya nanya pake Bahasa Inggris, dan aku bilang ke Adit kalo aku pengen jawab pertayaan itu. Akhirnya aku menjawab dengan Bahasa Inggris.
Saat kami persentasi di panggung, Bu Ine sibuk promosi di bangku penonton. Aku ingat bagian yang dia ceritakan pada panitia PMDC ’09 tentang aku. Ibu bilang bahwa aku ini cewek paling aneh karena suka ngomong sendiri di depan cermin, haha... asal tau saja, aku memang doyan ngomong di depan cermin, pura-puranya aku lagi debat Bahasa Inggris, atau lagi speech. Biasanya sih, di depan cermin itu, aku mencari kalimat “penghasut” plus gaya yang cocok untuk membawakannya agar juri bisa yakin pada timku. Menurut Bu Ine, kebiasaan anehku itu membuatku mengerti manner public speaking.
Satu lagi yang Ibu ceritakan tentang aku. Melihat katanya aku lancar ngomong pake Bahasa Inggris, dia malah bilang bahwa kalo ngeliat lidahku yang lancar ngomong Bahasa Inggris, itu sangat bertolak belakang dengan selera lidahku dalam memilih makanan. Walau lidahku lancar ngomong bule’, tapi seleranya tetep, ikan asin. Mm... aku jadi ingat suatu saat waktu aku sakit di rumah, aku kehilangan selera makan, gak pengen makan apa pun. Ibuku akhirnya nanya aku mau makan apa, biar dibikinin. Aku gak kepengen makan apa pun kecuali ikan asin tumis asam buatan ibuku dengan kuah yang buaanyaak banget. Ikan asin... oh... ikan asin....
Setelah presentasi semi final, akhirnya aku bilang bahwa sebenarnya punggungku lagi sakit banget. Aku pun gak makan siang, aku cuman makan kerupuk dari dus makananku, dan makanan Adit kalo gak salah. Setelah Adit makan, aku dan dia jalan ke Mesjid. Akhirnya aku bisa nyeritain semuanya ke Adit. Aku bilang, aku udah gak sanggup berdiri lagi, punggungku sakit banget.
Allah memberi kami kemudahan untuk tampil presentasi dengan kondisi dua dari tiga orang anggota tim kami sedang tidak fit. Dan, subhanallah, pada posisi itu, hasil presentasi semi final menempatkan kami di peringkat tertinggi.
Menjelang final, aku akhirnya jujur pada ibuku bahwa aku sedang sakit dan aku ingin dia meneleponku. Aku meninggalkan ruangan dan duduk di tangga sendirian sambil ngobrol dengan ibuku. Aku menangis tersedu-sedu di HP. Entah kapan terakhir kutemukan diriku menangis di hadapan ibuku, menangis dengan penuh sedu sedan, tanpa harus ada yang kutahan. Aku selama ini, selama aku mulai dewasa, tidak ingin tampak menangis di hadapan ibuku. Bahkan, saat pertama kali dia meninggalkan ku untuk menjadi anak kostan di Bnadung, aku tidak menangis di hadapannya. Aku tidak ingin dia mengkhawatirkanku. Tapi sore itu, kutemukan kembali sebuah kenyataan bahwa ibuku seorang yang kuat. Dia mendengarkan seluruh keluhanku, bahkan tetap tenang walau aku berlumur air mata.
Ibuku berpesan bahwa semua ini adalah ujian dari Allah. Aku sama sekali belum pernah mengalami kondisi seperti ini. Aku sakit saat semi final dan final debat. Ini adalah cara Allah memastikan bahwa aku tetap berpegang teguh pada-Nya di saat seperti ini. Saat aku bahkan harus shalat duduk karena kakiku gemetaran saat lama berdiri, the show must go on. Aku tetap harus berdebat di final, dan tidak mungkin aku berdebat sambil duduk. Ketika aku dihadapkan pada berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan kakiku tiba-tiba tak bisa menopang badanku saat berdiri dalam final debat, ibuku meyakinkan bahwa harapan itu masih ada. Aku tidak perlu takut akan kegagalan, karena ada Allah yang akan menjaminku. Hal yang perlu kutakutkan adalah, Allah murka padaku dan melepaskan pertolongannya untukku. Bila Allah di pihakku, siapa dan apa lagi yang harsu kutakutkan, tapi bila Allah berpaling dariku, maka kepada siapa lagi aku akan berlindung dan memohon pertolongan? Ibuku mengingatkanku kalimat itu. Kalimat itu yang selalu kugunakan sejak SMA dalam semua pertandingan yang kuikuti, dan aku selalu berpegang teguh pada hal tersebut. Maka dari itu, hal yang perlu kulakukan adalah menyerahkan diriku seutuhnya pada Allah dan memaksimalkan usaha dan doaku.
Pernah saat lomba debat di SMA, karena pernyataan juri yang mengatakan bahwa pernyataanku tidak disertai bukti yang kuat. Karena hal itu, kukira aku akan kalah dan bahkan tidak akan lolos 24 besar dalam pencarian debater terbaik se-Sulawesi Selatan. Aku sangat kecewa waktu itu. Aku menelepon ibuku dan hanya bisa berbicara beberapa kata, lalu aku diam karena menangis. Sorenya, ibuku menjengukku di asrama tempat semua peserta menginap. Dia menenangkanku bahwa Allah sedang merencanakan sebuah skenarion terbaik.
Dalam masa menanti pengumuman hasil penilaian juri, aku memang tampak tak punya harapan lagi. Di depan semua orang, bahkan guru pembimbingku, aku telah memohon maaf atas kegagalanku. Tapi, hati, pikiran, dan doaku teap menggantungkan harapan pada Allah. Aku yakin bahwa sebelum pengumuman, sebelum kedengar langsung bahwa diriku gagal, aku tidak akan menyatakan kegagalan, khususnya dalam doaku. Aku tetap berdoa pada Allah, kuserahkan diriku seutuhnya pada Dia. Dan, ternyata aku terlalu keras menghadapi diri sendiri. Saat pengumuman 24 besar, aku alhamdulillah lolos. Bahkan, temanku yang awalnya yakin lolos, justru namanya tidak ada dalam pengumuman. Semua berlangsung bagai keajaiban, dan aku percaya ini terjadi karena aku yakin pada Allah, dan Dia menuruti persangkaan hamba-Nya. Bukan hanya gelar 24 besar yang Allah berikan padaku, aku bahkan lolos sampai babak final. Subhanallah, dan aku dinobatkan sebagai 6 besar debater terbaik se Sulawesi Selatan.
Kembali ke PMDC ’09. Kami akhirnya dinobatkan sebagai juara II, well, ada yang bilang, juara itu hanya sebutan untuk dia yang meraih gelar terbaik, juara hanya ada untuk Juara I, sedangkan untuk yang ke II dan seterusnya, hanya ada sebutan peringkat. I appreciate people’s opinion, but in my mind... gelar juara ada bagi semua orang yang merasa dirinya seorang juara. Apalagi, di plakan piala dan medali yang kuperoleh, tidak ada tulisan peringkat II, yang ada hanya juara II.
Allah mencintai dengan cara-Nya. Kadang mugnkin ini di luar logika manusia, tapi Allah sang pembuat skenario terbaik. Manusia banyak mengeluh dan tidak mengerti karena akal yang Allah berikan, tidak sebanding dengan Kemahatahuan sang Pemberi akal. Subhanallah....
oleh: Nila Sartika Achmadi
WaRNa
Oleh: Nila Sartika Achmadi
Aku suka warna pink. Waktu kecil dulu, aku selalu ingin mengatakan bahwa warna pink yang terbaik. Tapi, semakin lama aku menyadari bahwa warna yang monoton samasekali tidak indah.
Aku suka pelangi. Mejikuhibiniu (merahjinggakuninghijaubirunilaungu).
Merah
Kata merah mengingatkanku pada map merah. Aku pernah kehilangannya sekali. Saat kutemukan kembali, aku berjanji tidak ingin kehilangannya lagi. Map itu berisi perjalanan prestasiku sejak SMA. Bukti nyata di atas kertas atas perjuanganku. Tak kan terganti.
Jingga
Aku suka jingga matahari sore. Bulat dan begitu mencolok. Ada ketenangan yang bersanding bersamanya. Ada pula haru yang terselip di balik tatapan anggunnya. Kedua rasa itu mengalir pelan memasuki hatiku melalui tangga yang terjalin dari sepasang mataku yang berakhir tepat di hatiku.
Aku suka jingga pada purnama. Jingga rembulan yang tak semua orang menyadari keberadaannya, namun telah membuatku jatuh hati. Pertama aku melihatnya, kulihat rembulan itu tanpa kacamataku. Aku meraba rupanya yang menawanku dalam samar. Namun, semakin kukenal dia, semakin tak kutemukan alasanku mengaguminya, karena aku mencintainya tanpa satu pun alasan pasti. Hal paling pasti yang kutemukan dalam diriku bahwa aku kagum pada rembulan jingga, juga pada keagungan Penciptanya.
Kuning
Ada segudang kenangan dalam warna itu. Kenangan masa SMA saat aku berseragam kuning—rok kuning kotak-kotak dengan lipit-lipit yang membuatnya menjadi sangat lebar. Saat naik tangga, rok itu harus kuangkat, sedangkan saat turun, rok itu akan menyapu tangga. Bukan... bukan adegan layaknya putri mahkota yang memakai gaun dan sedang berjalan di tangga itu yang membuatku seragam kuning. Banyak kenangan saat SMA yang melangkah seiring ayunannya. Melihatnya, seolah membawaku kembali pada sejuta cinta yang tersemat di SMANSA Maros. Tiga tahun untuk selamanya.
Hijau
Katanya, hijau itu warna surga. Kesanku tentang hijau di bumi adalah: fresh. Menyegarkan mata. Waktu kecil, aku pernah kepengen hidup di dunia Teletubbies. Padang rumputnya hijau dengan hidup yang tak kompleks, namun bahagia.
Aku suka hijau sawah dan pepohonan di tepi jalan menuju Bantimurung (air terjun di Maros). Aku juga suka hijau daun-daunan dari pohon rindang di sebuah kantor seberang jalan rujab bupati Maros. Pemandangan yang kulalui tiap hari dan mengantarku menuju SMANSA Maros. Aku pun senang melihat hijau pohon-pohon kecil di taman depan ruang kepsek dan wakasek SMANSA Maros. Serumpun kenangan berdendang bersama semilir angin yang menggoyangkan dedaunan. Kursi panjang samping ruang guru yang menghadap langsung ke taman itu menjadi saksi tanpa kata atas segala cinta yang pernah kurasakan dan terus terjaga di sebuah tempat di hatiku.
Biru
Aku suka laut dan pantai. Saat berada di pantai, aku melihat warna biru terbentang luas di depan mataku bertemu warna biru lainnya yang membentang jalan di atasku, di atas bumi, di atas pantai. Melihat birunya air laut dan mendengar deburan ombak yang menyapa pantai, seolah risauku terangkat, dibawa oleh angin yang menggerakkan air di lautan.
Namun, terkadang aku lebih menikmati pantai di malam hari, warnanya biru tua. Kuakui biru muda laut di siang hari lebih indah. Tapi, sesekali aku merasa biru muda itu keindahan semu. Indah, namun bukan milikku. Ada banyak orang yang bermain di pantai biru muda, menghalangi mataku menikmati sepenuhnya dan mencegah hatiku memiliki seutuhnya. Berbeda dengan pantai biru tua di malam hari, kadang tak kutemukan banyak orang atau tidak ada sama sekali. Sifat possesive yang sering mendominasi hatiku mencintai suasana ini, biru tua milikku.
Nila
Namaku Nila. Saat SD di kelas IPA, aku baru tau bahwa nila adalah salah satu warna pelangi. Aku seneng banget. Sebelumnya, aku dan teman-temanku hanya tau nila dari peribahasa “setetes nila rusak susu sebelanga”. Kukira nila it adalah racun, ternyata pewarna. Heee... aku keluar dari paradigma nila adalah racun dan masuk pada dunia yang menyatakan bahwa nila adalah bagian dari pelangi. Kebahagiaanku semakin membuncah saat membaca text book Bahasa Indonesiayang emuat cerita tentang asal muasal pelangi yang dulunya merupakan putri-putri raja. Di antaranya ada Dewi Nila yang selalu muncul saat ada pelangi.
Ungu
Ada yang bilang bahwa ungu itu warna janda. Mm... aku yang bahkan belum menikah, suka warna ungu. Ungu terkadang mirip pink. Aku tidak bisa bercerita banyak karena kesukaanku pada warna ungu berawal dari kecintaanku pada warna pink.
O ya, aku juga suka band Ungu.
“baiknya ku pergi... tinggalkan dirimu... sejauh mungkin... untuk melupakan... dirimu yang slalu... tak pedulikanku....”
“maafkan aku... menduakan cintamu... berat rasa hatiku tinggalkan dirinya....”
Hujan di Bulan Juni
15 Juni 2009
Sekarang aku lagi kejebak hujan di Murashalah. Aku duduk sendiri di teras akhwat. Kulihat tetes-tetes hujan yang membentuk aliran tepat di hadapanku. Di sekelilingku, dunia terasa kelabu. Langit tidak menunjukkan birunya karena awan enggan bergeser dari egonya. Di hadapanku, sebuah pohon yang besar dan rindang berhenti menggerakkan ranting-ranting dan dedadunan seiring semakin derasnya hujan.
Lampu jalan sebagian telah dinyalakan. Pukul 05.05 p.m. Hari mulai gelap. Kutengok hatiku yang sejak tadi menerawang jauh ke beberapa tempat, berbagai situasi, dengan kondisi yang nyaris sama. Aku pernah bilang gak, kalo aku melihat hujan, aku jadi sedih? That’s exactly what I feel now. Hatiku mengintai momen-momen sedih dan mengharukan yang masih tersimpan dalam memoriku. Momen bersama semua yang kucintai. Momen yang menindih hatiku dan menampakkan sebuah rasa yang kusebut kerinduan. Aku merindukan semua yang kucintai, yang kutinggalkan demi meraih impianku.
Melihat sekelilingku yang nampak kelabu, mencium bau debu basah yang perlahan tertelan hujan, dan mendengarkan setiap tetes gemericik air hujan, membuatku teringat rumahku nun jauh di Kabupaten Maros sana. Rumah yang menemani jalannya usiaku dan merekam setiap episode hidupku. Episode yang kelak harus kupertanggungjawabkan. Rumah yang sangat sederhana, bersahaja, namun penuh cinta. Rumah di mana bapak dan ibuku dengan leluasa mengungkapkan kecintaan pada kami, anak-anaknya.
Melihat pepohonan yang diguyur hujan, hatiku membawaku pada sosok ibuku. Dia bagaikan pohon besar yang berada di seberang jalan, tepat di hadapanku. Pohon itu kuat. Walaupun angin menghantamnya dan hujan menggoyahkan kehangatannya, dia tetap kokoh. Pohon itu rindang. Saat terik, banyak orang yang berteduh di bawahnya untuk menghindari sengatan matahari atau untuk sekedar merasakan kesejukannya.
Ibuku, wanita yang usianya telah lebih dari separuh abad harus berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna, begitupun Beliau. Dalam upayanya untuk menjadi yang terbaik, kadang dia khilaf, tapi toh, Allah menilai prosesnya. Saat Bapak masih ada, Ibu menjadi istri yang sabar merawat Bapak yang diuji dengan beberapa penyakit. Ketika usiaku—anak sulungnya—baru menginjak usia 14 tahun, Ibu harus menjadi single parent karena ternyata jatah Bapak hidup di dunia telah sampai pada penghujungnya. Ibuku juga harus sabar menghadapi kelakuan adik-adikku yang masih belum dewasa, ABG yang sedang mencari jati diri dengan sikap sensasionalnya. Tanpa didampingi seorang suami, dia berjuang sendirian. Tapi aku tahu, Allah tidak mungkin menguji hamba-Nya di luar kapasitas mereka. Allah Maha Mengetahui dan Dia tahu bahwa ibuku kuat menghadapi ini semua walau tanpa Bapak di sampingnya.
Aku hanya berharap bahwa ibuku dapat sabar dan berlapang dada, karena sesungguhnya setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Ini tak lebih dari sebuah cara bagi Allah untuk mencintainya, karena Allah ingin menaikkan derajatnya melalui kesabaran Beliau. Dan aku tahu bahwa Allah telah menyiapkan kekuatan baginya. Hanya perlu bersabar, terus berdoa, berikhriar, dan tawakkal. Kesabaran bukanlah duduk diam menanti semua berubah baik, tapi kesabaran adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita.
Nun jauh di sana, ibuku menantiku dengan sabar. Jika ada orang yang paling tersiksa oleh kerinduan karena aku tidak ada, maka orang itu adalah ibuku. Aku seharusnya ada untuk mendampinginya menghadapi adik-adikku, menghadapi semua ujian yang sedang dia hadapi tanpa Bapak. Namun, aku belajar dari dia tentang esensi cinta. Bahwa cinta bukanlah ego. Cinta akan merelakan orang yang dicintai pergi bila itu memang lebih baik. Walaupun dia kangen, dia tak kan mau mengusikku saat tahu bahwa aku sedang ujian. Dia sungguh mencintai dengan sabar, tanpa embel-embel egoisme.
Oleh: Nila Sartika Achmadi
Akhir Rasa Itu
8 Juni 2009
Sabtu kemarin aku Liqo’ (Lq) setelah bulan Mei sama sekali gak pernah Lq. Kalian tau gak, terasa ada cahaya iman yang mengisi kembali ruang-ruang kosong di hatiku. Ruang-ruang kosong yang menjadi awal kekeringan imanku sehingga bermuara pada sebuah kesalahan fatal yang harus segera kuakhiri.
Si Fulan. Dia bukan sebuah kesalahan, namun dia menjadi bagian dari kelalaian imanku dan ujian bagi keistiqomahanku. Dia datang sesaat setelah kuikrarkan bahwa aku akan menghilangkan “tuhan-tuhan” di hatiku agar Allah swt. menjadi the one and only. Ya, aku sadar bahwa selama ini di hatiku telah bercokol “tuhan-tuhan” tandingan tanpa kusadari. “tuhan” itu adalah sesuatu yang telah membuatku terlalu nyaman dan membuatku begitu takut kehilangan. Entah mengapa, waktu itu dalam beberapa ta’lim berturut-turut, aku memperoleh materi yang sama. Yaitu tentang Syirik. Bukan hanya menyembah berhala yang menyebabkan syirik, tapi juga ketergantungan kita pada makhluk melebihi pada sang Pemilik makhluk. Tepat setelah ikrar itu, dia dikirim untuk mengujiku.
Aku menyesal tidak menghindarinya dari awal. Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku mampu memutuskan untuk menjauh darinya. Tanpa kusadari, hatiku telah menjadi nyaman karena dia. Parahnya lagi, mungkin kenyamanan itu menggeser kenyamanan yang harusnya dirasakan hatiku dalam setiap sujudku. Astagfirullah! Untuk semua ini, aku memang mesti berkorban. Aku memang harus merasakan rasa sakit karena disapih dari kebutuhanku. Kebutuhan untuk dekat dengannya. Namun aku hanya dapat berharap bahwa rasa sakit yang kurasakan ini semoga menjadi penghapus dosa-dosaku. Amin….
Hari Sabtu itu juga, aku memutuskan bahwa aku harus menghentikan rutinitas yang selama ini kulakukan untuknya. Hal yang kulakukan setiap hari. Itu karena aku menyadari bahwa setiap aku melakukannya, aku perlahan merasa nyaman. Rasa nyaman bukan karena Allah. Padahal, kata aa’ Gym, hati-hatilah bila merasa nyaman dengan selain Allah, apalagi rasa nyaman itu tidak menyebabkan semakin dekatnya kita pada Allah. Jangan sampai dia membuatku nyaman dan membuatku bergantung padanya, padahal dia hanya makhluk.
Setelah shalat Dhuha, aku membaca sms yang baru saja dia kirim. Dia mengucapkan terima kasih. Aku… sempat goyah lagi dengan niatku. Aku gak tega meninggalkan rutinitas itu. Tapi alhamdulillah, Allah sungguh menyayangiku. Allah menguatkan hatiku. Sakit memang… sampai air mataku harus terus mengalir. Ya, tangisan karena hatiku harus mengembalikan tempat yang menjadi jatah Rabbnya. Dalam proses pengembalian itu, hati akan tersakiti. Tapi apa boleh buat, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma, begitu pula surga. Aku hanya yakin akan satu hal, bahwa rasa sakit yang kurasakan ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan derita yang akan kualami bila aku terjerumus ke dalam neraka. Rasa sakit ini juga tidak ada harganya bila dibandingkan dengan surga yang Dia janjikan. Aku sungguh tak akan rugi bila rasa sakit ini akhirnya membuatku lebih dekat dengan jannah-Nya.
“Kaki ini tidak akan berhenti melangkah sampai tiba di jannah-Nya”.
***
Aku gak nyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Malam itu—saat kuyakini keputusanku, aku emang udah kena gejala flu, sehingga kepalaku jadi sakit. Sakit kepalaku jadi semakin sakit karena nangis.
Ya Allah, aku telah—sedang berusaha—untuk melepasnya dari hatiku. Bila memang kami tidak bisa menjalin hubungan atas dasar cinta karena-Mu, maka pisahkanlah hatiku dan dirinya karena-Mu. Engkau mengatakan bahwa semua orang yang berhubungan di dunia akan saling menyalahkan di hari kemudian, kecuali orang yang melandaskan hubungannya karena-Mu. Bila hubungan kami tidak terjalin karena-Mu, aku sungguh takut dan tidak ingin saling menyalahkan dengannya di hari kemudian. Dan bila ini adalah caranya, maka bantu aku untuk ikhlas, ya Allah….
Kulihat di cermin, mataku merah banget. Kantung matanya bengkak karena nangis. Malam itu, lalu keesokan paginya, aku terus nangis. Kemarin siang pun, saat ada acara di kampus, aku menangis di pelukan sahabatku karena dia.
Aku ingin mencintainya dan memperhatikannya. Aku gak peduli bagaimana perasaanya terhadapku, karena itu memang gak penting. Tapi kini, aku tidak boleh lagi memperhatikannya dengan cara itu. Toh, ukhuwah itu dijalin bukan dengan banyaknya sms atau kata-kata indah, tapi dengan mengingat saudaranya dalam doanya. Biar Allah yang mencintai dia seutuhnya, yang menjada dia sepenuhnya. Aku cukup melangkah sampai di sini. Karena langkah yang lebih jauh lagi hanya akan membawa mudharat bagi aku, hatiku, dan juga dirinya.
Bila aku memang menyayanginya, aku tentu tidak akan larut dalam egoku untuk tetap menjalankan rutinitas seperti dulu, yang jelas hanya akan menyebabkan murka Allah. Bila aku memang menyayanginya, maka aku tidak akan mau menjadikan diriku penyebab murka Allah jatuh padanya. Bila aku tetap dengan caraku yang dulu, semua yang kurasakan ini tidak lebih dari nafsu semata, yang akan membakar kami—aku dan dirinya. Bila aku memang menyayanginya, tentu aku tidak akan melakukan hal-hal yang hanya akan menjauhkannya dari ridho Allah. Bila aku menyayanginya, maka aku harus ikhlas untuk melepasnya dari hatiku. Izinkan aku Ya Allah….
Oleh: Nila Sartika Achmadi
Pagi Ini....
Aku menyelami hatiku, mencoba menemukan berbagai opsi yang membuat perasaanku seperti ini. Apa mungkin karena hari ini ada ujian Matek? Huh... entah mengapa, mata kuliah yang satu ini sangat membebani pikiranku. Tahun lalu, tepat di semester yang sama ketika aku pertama mempelajarinya, hari-hari dapat kulalui dengan santai, bahkan tanpa melibatkan terlalu banyak energi seperti saat ini, aku tetap memiliki keyakinan, insya Allah bisa dapat nilai terbaik (A). Tapi, sekarang saat aku ngulang, sepertinya bebannya sangat berat. Aku tidak ingin dapat nilai selain A, karena aku melalui banyak hal sampai akhirnya ngulang bareng adek kelas. Mungkin ada sedikit gengsi, tapi insya Allah terus berupaya untuk ditepiskan, karena toh, aku sama sekali tidak punya hak untuk berbangga diri dan merasa lebih dari yang lain, sehingga tidak seharusnya aku ngulang.
Jujur, awalnya susah banget buat mengikhlaskan aku ngulang mata kuliah ini. Tapi, apa boleh buat nilaiku E. Bayangkan, dari target nilai A, aku hanya bisa mengantongi predikat E. Bukan karena nilai ujianku jeblok, atau karena gak ngumpulin tugas, tapi karena aku gak ikut UAS susulan dengan alasan terbodoh yang pernah ada se-dunia. Namun, keengganan untuk ngulang akhirnya dapat kunetralisir. Mungkin ini cara Allah untuk menguji keikhlasanku menuntut ilmu. Bila aku benar-benar ikhlas, aku akan rela memperdalam ilmu sekali lagi walau tindakan itu harus diberi label "Ngulang".
Menjelang ujian Matek, entah mengapa seolah ada beban yang menindih hatiku. Sindrom menjelang ujian Matek berhasil meluluhlantakkan persiapan pagiku. Rasanya laper, tapi susah makan. Bawaannya gelisah. Tapi, kalau ini benar sindrom Matek, kenapa pagi ini di kepalaku, kata Matek justru tidak dapat kutemukan? Apa mungkin aku kepikiran yang lain? Tapi bener, aku gak bisa menemukan satu kata yang secara pasti dipilih oleh otakku untuk dipikirkan. Atau, aku harus bertanya pada hatiku, karena sepertinyanya, hatiku yang merasakan semua ini.
Aku takut pagi ini menjadi begitu asing karena aku tau apa dan siapa yang harus kuhadapi? Aku harus menghadapi apa yang tidak ingin dihadapi oleh hatiku. Selain ujian Matek bagi otakku, hatiku juga tak lepas dari ujian. Setelah memutuskan untuk meninggalkan hal yang mungkin menjerumuskan hatiku pada tindakan kriminal menduakan cinta Allah, hari ini mungkin kesungguhannya akan diuji. Masihkah aku sanggup untuk berkata tidak pada sesuatu yang terlihat indah oleh satu sisi hatiku?
Entah apa jawaban dari kegelisahanku pagi ini. Tapi aku berharap, agar hari ini tetap berjalan dengan baik di bawah perlindungan-Nya.... Amin....
Oleh: Nila Sartika Achmadi
Indikator Dehidrasi Ruhiyah
"Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan (misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh." (http://id.wikipedia.org/wiki/Dehidrasi)
Itu dia definisi dehidrasi fisik. Gimana kalo yang dehidrasi itu adalah ruhiyah kita? Apa ada minuman khusus penyeimbang elektrolit ruhiyah? Dehidrasi ruhiyah memerlukan penanganan yang lebih intens dibandingkan dehidrasi fisik. Kekeringan ruhiyah dapat berujung pada menjauhnya seorang hamba dari Rabbnya. Jika terus dibiarkan, hamba tersebut bisa tersesat dan bermuara pada neraka. Na'udzubillah....
Berikut ini adalah indikator dehidrasi ruhiyah:
Melencengnya motivasi
Dalam beraktivitas, hendaknya semua yang kita kerjakan diniatkan untuk ibadah sebagaimana hakikat penciptaan kita yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Namun, seiring berjalannya waktu, niat atau motivasi kita sering saja melenceng. Awalnya bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Rabbnya, malah sekarang beraktivitas dengan tujuan untuk dikenal makhluk-Nya. Melencengnya motivasi dapat menjadi sarana awal bagi iblis untuk mengeringkan ruhiyah para ummat Rasulullah saw.
Mudah ngambek
Seseorang yang ruhiyahnya senantiasa dibasahi oleh iman, maka hatinya akan menjadi lapang. Hati yang lapang akan mudah memaafkan, sehingga tidak mudah baginya untuk ngambek. Sebaliknya, bagi hati yang tidak lapang, si empunya akan menjadi sensitif dan larut dalam emosi yang susah untuk dikendalikan. Hal ini yang menyebabkan seseorang mudah ngambek.
Mengutamakan istirahat (mentoleransi diri)
Terkadang, seorang aktivis terlalu disibukkan oleh organisasi dan berbagai aktivitas yang menyita waktu. Setelah berbagai kegiatan, kadang kita merasa butuh waktu untuk beristirahat--mungkin lebih lama dari yang seharusnya kita butuhkan. Memangs semua orang fitrahnya butuh istirahat, tapi jangan mengambil jatah lebih dari yang dibutuhkan oleh tubuh dan pikiran. Padahal, rehatnya seorang aktivis dakwah adalah ketika beribadah.
Merasa putus asa dengan diri sendiri dan tidak berdaya lagi melakukan rutinitas
Seseorang yang merasa putus asa berarti telah menunjukkan indikasi keringnya ruhiyah dan semakin jauhnya seseorang dari Rabbnya. Satu-satunya tempat bergantung dan meminta adalah Allah. Apakah kita tetap menempatkan Allah sebagai tempat bergantung dan meminta bila kita merasa putus asa? Rasa putus asa biasanya menimbulkan sikap menghindar dari rutinitas. Seseorang telah men-cap dirinya serba tidak berdaya, baik dalam menghadapi dirinya, maupun dalam melaksanakan rutinitasnya. Hal ini harus dihindari, karena kita adalah hamba Allah, dan ada Allah tempat memohon.
Mudah khawatir, panik dan tergesa-gesa dengan amanah yang diemban
Sikap tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Dalam melakukan segala hal, sebaiknya kita tetap tenang. Energi yang kita miliki akan banyak terkuras jika melakukan sesuatu dalam keadaan panik dan tergesa-gesa. Selain itu, ketergesa-gesaan dapat membuat kita lalai dari dzikir.
Melakukan kemaksiatan baik sadar maupun tidak
Semua orang pasti menghadapi fluktuasi keimanan. Saat kadar iman kita sedang turun, iblis akan mudah menjebak kita untuk melakukan kemaksiatan. Kemaksiatan yang besar akan menghancurkan kita, begitu pula kemaksiatan kecil yang dianggap enteng jiga akan menjerumuskan kita pada jurang kekeringan ruhiyah.
Semoga kita dapat memiliki ruhiyah yang bening dan terhindar dari kekeringan. Semoga jiwa kita senantiasa dibasahi oleh dzikir.... Amin....