Mungkin aku terlalu jaim,,,tapi itulah diriku. Aku tidak tau mengapa begitu sulit bagiku mengungkapkan perasaan yang selalu ada itu. Mungkin aku memang tidak biasa mengungkapkannya. Bukan karena aku arogan, bukan karena aku ingin menzalimi hatiku, tapi menurutku, rasa itu akan tetap ada, tetap inidah, meski cukup aku dan Allah yang mengetahuinya. Tapi kini yang kurasakan berebda, rasa itu bukan untuk sekedar dirasakan, tapi untuk diekspresikan dengan cara yang ma’ruf.
Waktu itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Karena aku tak biasa mengungkapkannya, kusimpan saja rasa itu di ruangan yang mungkin tidak terjamah–jauh di relung hatiku.
Hari itu kulihat dia tergolek kaku, menatap kosong di langit-langit ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan. Lidahnya kelu, tapi kurasakan bahwa dia ingin berkata banyak hal andai dia bisa.
Pikirku kembali pada hari sebelumnya. Dia ingin aku menemaninya, mungkin untuk terakhir kalinya, hanya saja dia tak berani memberitahuku. Aku sungguh ingin menemaninya, aku ingin memeluknya, aku ingin bersamanya. Tapi aku tidak terbiasa dengan semua ini. Aku hanya tersenyum simpul mencoba menetralisir keadaan.
Hari ini, saat dia tergolek tak berdaya, saat nyawanya ada namun seolah tak ada, mungkin dia ingin memintaku menemaninya, namun dia tak mampu lagi mengatakan semua itu. Aku memang terus ada di sampingnya, tapi bodohnya aku, aku tak berani mengekpresikan perasaanku kecuali dengan tetesan air mata yang mengaliri pipiku. Seharusnya kudekap dia, kukecup keningnya, kubantu dia mengingat Rabbnya, mungkin itu akan lebih berarti. Tapi tak kulakukan semua itu. Ya, aku tidak terbiasa.
Hingga akhirnya dia benar-benar pergi. Dia menginggalkanku, tanpa membiarkanku memberitahunya rasa itu.
Malam ini, dia dibaringkan di ruang tamu. Seluruh tubuhnya ditutup rapat dengan sehelai kain. Aku bersandar di pintu ruang tengah. Kutatap dia dari jauh, tapi aku tak berani mendekatinya. Aku tidak ingin orang lain melihatku mendekatinya. Karena… aku tak biasa dengan semua ini.
padahal aku… sungguh aku ingin memeluknya malam itu. Karena aku yakin, ini benar-benar terakhir kalinya kami bertemu di tempat ini. Walau dia tak kan bisa merasakan pelukanku lagi, aku hanya ingin memeluknya. Tapi, aku bukan orang yang terbiasa melakukan semua itu. Kupendam saja inginku, kubiarkan diriku berharap seseuatu yang sebenarnya boleh kulakukan, namun tak mampu kulaksanakan.
Kini, waktu itu telah berlalu sekitar 4 tahun. Aku hanya bisa menyesali mengapa tak kulakukan semua itu. Kini Ayahku, orang yang begitu kucintai, benar-benar telah pergi meninggalkanku ke suatu tempat yang tak mampu kukunjungi. Andai waktu dapat kuputar kembali, aku akan menemaninya malam itu saat dia memintaku ada di sampingnya. Akan kudekap jasadnya yang terbujur kaku tertutup kain di ruang tamu. Andai dapat kuulang waktu, akan kubuat diriku terbiasa mengungkapkan cintaku pad orang tuaku, orang yang memang layak kucintai, seharusnya kucintai, dan wajib kucintai karena Allah.
Tapi waktu tak pernah dapat kembali. Biarlah kini cinta itu ada dan kuungkapkan melalui bulir-bulir doaku untuk keselamatannya.
“I love you, Dad….”
oleh: Nila Sartika Achmadi
0 comments:
Post a Comment