Ini pertama kalinya kau memperoleh pengalaman seperti ini. Hari itu, aku dan tim debat IM Telkom harus persentasi makalah untuk semi final PMDC 2009 (Perbanas Marketing Debate Championship 2009). Bukan lolos semi finalnya yag menjadi pengalaman pertamaku, tapi apa yang sedang kurasakan.
Saat terbangun tadi Subuh, aku mendapati, temanku Nisa, badannya demam. Padahal yang mendapat tugas presentasi makalah adalah aku dan Nisa. Mungkin saja aku membatalkan Nisa ikut presentasi, dan kutangani sendiri, tapi poin kerja sama kami akan rendah. Aku nanya Nisa bisa presentasi atau gak, katanya sih, bisa. Aku gak mau maksain dia untuk presentasi, aku gak mau mengeksploitasi teman sendiri hanya demi kemenangan, lagian gak mungkin aku maksain dia presentasi, trus tiba-tiba pingan di panggung. Waktu itu aku udah parno sejauh itu.
Sebenarnya, bukan hanya Nisa yang sakit pagi itu. Aku pun sedang gak enak badan. Punggung sampai betisku mengalami ngilu-ngilu gak jelas, pegel, dan kayak mau patah. Biasanya sih, ini adalah gejala seperti ini adalah warning bahwa aku bakalan demam. Ya Allah, aku takut banget, tapi aku gak mau bilang atau ngeluh apa pun ke siapa pun, aku gak mau orang-orang juga ikut khawatir ke aku, dan untuk menguatkan Nisa, aku harus kuat dulu.
Saat di bus menuju Perbanas, aku nelpon ibuku. Entah mengapa, ada rasa haru yang menghujam hatiku. Biasa lah, ya, kalo lagi sakit, mode Melankolisnya pasti on. Aku hanya bisa menyebutkan satu kalimat, agar ibuku mendoakan yang terbaik untuk aku dan timku. Ibuku bilang, tanpa kuminta dia akan selalu mendoakanku. Aku sebenarnya kepengen cerita kalo aku lagi gak enak badan, bla... bla... bla... tapi kuurungkan niatku, mataku keburu basah karena nangis. Mendengar suara ibuku, kantong air mataku langsung bocor, sekali aku ngeluarin kalimat baru, pasti ketahuan bahwa aku nangis. Aku gak mau bikin ibuku khawatir. Well, sampai sekarang, aku masih bisa tahan untuk gak cerita ke siapa pun, dan aku harus bisa tetap terlihat kuat. aku perlu menjadi kuat untuk dapat menguatkan.
Aku dan rombongan IM Telkom, juga panitia PMDC ’09 ngusahain obat buat Nisa. Akhirnya diputuskan untuk mengurangi persentasi Nisa, dan dialihkan ke aku. Saat maju persentasi, aku bersyukur Nisa gak terlihat seperti orang sakit, setidaknya dari cara persentasinya (mungkin hanya terlihat dari wajahnya yang pucat). Saat presentasi semi final, aku sempat ragu, soalnya waktunya gak cukup, dan aku harus ngomong kayak pembalap dan melakukan skip-skip di beberapa tempat. Untungnya kami tertolong oleh sesi tanya jawab. Adit, anggota tim kami yang tidak ikut presentasi, mendominasi sesi tanya jawab, lalu sisanya dilengkapi oleh aku dan Nisa.
Aku ingat pesan Bu Ine, pendamping tim IM Telkom, bahwa aku sebaiknya menjawab dengan Bahasa Inggris kalo ada juri yang nanya pake Bahasa Inggris. Kebetulan, salah seorang jurinya nanya pake Bahasa Inggris, dan aku bilang ke Adit kalo aku pengen jawab pertayaan itu. Akhirnya aku menjawab dengan Bahasa Inggris.
Saat kami persentasi di panggung, Bu Ine sibuk promosi di bangku penonton. Aku ingat bagian yang dia ceritakan pada panitia PMDC ’09 tentang aku. Ibu bilang bahwa aku ini cewek paling aneh karena suka ngomong sendiri di depan cermin, haha... asal tau saja, aku memang doyan ngomong di depan cermin, pura-puranya aku lagi debat Bahasa Inggris, atau lagi speech. Biasanya sih, di depan cermin itu, aku mencari kalimat “penghasut” plus gaya yang cocok untuk membawakannya agar juri bisa yakin pada timku. Menurut Bu Ine, kebiasaan anehku itu membuatku mengerti manner public speaking.
Satu lagi yang Ibu ceritakan tentang aku. Melihat katanya aku lancar ngomong pake Bahasa Inggris, dia malah bilang bahwa kalo ngeliat lidahku yang lancar ngomong Bahasa Inggris, itu sangat bertolak belakang dengan selera lidahku dalam memilih makanan. Walau lidahku lancar ngomong bule’, tapi seleranya tetep, ikan asin. Mm... aku jadi ingat suatu saat waktu aku sakit di rumah, aku kehilangan selera makan, gak pengen makan apa pun. Ibuku akhirnya nanya aku mau makan apa, biar dibikinin. Aku gak kepengen makan apa pun kecuali ikan asin tumis asam buatan ibuku dengan kuah yang buaanyaak banget. Ikan asin... oh... ikan asin....
Setelah presentasi semi final, akhirnya aku bilang bahwa sebenarnya punggungku lagi sakit banget. Aku pun gak makan siang, aku cuman makan kerupuk dari dus makananku, dan makanan Adit kalo gak salah. Setelah Adit makan, aku dan dia jalan ke Mesjid. Akhirnya aku bisa nyeritain semuanya ke Adit. Aku bilang, aku udah gak sanggup berdiri lagi, punggungku sakit banget.
Allah memberi kami kemudahan untuk tampil presentasi dengan kondisi dua dari tiga orang anggota tim kami sedang tidak fit. Dan, subhanallah, pada posisi itu, hasil presentasi semi final menempatkan kami di peringkat tertinggi.
Menjelang final, aku akhirnya jujur pada ibuku bahwa aku sedang sakit dan aku ingin dia meneleponku. Aku meninggalkan ruangan dan duduk di tangga sendirian sambil ngobrol dengan ibuku. Aku menangis tersedu-sedu di HP. Entah kapan terakhir kutemukan diriku menangis di hadapan ibuku, menangis dengan penuh sedu sedan, tanpa harus ada yang kutahan. Aku selama ini, selama aku mulai dewasa, tidak ingin tampak menangis di hadapan ibuku. Bahkan, saat pertama kali dia meninggalkan ku untuk menjadi anak kostan di Bnadung, aku tidak menangis di hadapannya. Aku tidak ingin dia mengkhawatirkanku. Tapi sore itu, kutemukan kembali sebuah kenyataan bahwa ibuku seorang yang kuat. Dia mendengarkan seluruh keluhanku, bahkan tetap tenang walau aku berlumur air mata.
Ibuku berpesan bahwa semua ini adalah ujian dari Allah. Aku sama sekali belum pernah mengalami kondisi seperti ini. Aku sakit saat semi final dan final debat. Ini adalah cara Allah memastikan bahwa aku tetap berpegang teguh pada-Nya di saat seperti ini. Saat aku bahkan harus shalat duduk karena kakiku gemetaran saat lama berdiri, the show must go on. Aku tetap harus berdebat di final, dan tidak mungkin aku berdebat sambil duduk. Ketika aku dihadapkan pada berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan kakiku tiba-tiba tak bisa menopang badanku saat berdiri dalam final debat, ibuku meyakinkan bahwa harapan itu masih ada. Aku tidak perlu takut akan kegagalan, karena ada Allah yang akan menjaminku. Hal yang perlu kutakutkan adalah, Allah murka padaku dan melepaskan pertolongannya untukku. Bila Allah di pihakku, siapa dan apa lagi yang harsu kutakutkan, tapi bila Allah berpaling dariku, maka kepada siapa lagi aku akan berlindung dan memohon pertolongan? Ibuku mengingatkanku kalimat itu. Kalimat itu yang selalu kugunakan sejak SMA dalam semua pertandingan yang kuikuti, dan aku selalu berpegang teguh pada hal tersebut. Maka dari itu, hal yang perlu kulakukan adalah menyerahkan diriku seutuhnya pada Allah dan memaksimalkan usaha dan doaku.
Pernah saat lomba debat di SMA, karena pernyataan juri yang mengatakan bahwa pernyataanku tidak disertai bukti yang kuat. Karena hal itu, kukira aku akan kalah dan bahkan tidak akan lolos 24 besar dalam pencarian debater terbaik se-Sulawesi Selatan. Aku sangat kecewa waktu itu. Aku menelepon ibuku dan hanya bisa berbicara beberapa kata, lalu aku diam karena menangis. Sorenya, ibuku menjengukku di asrama tempat semua peserta menginap. Dia menenangkanku bahwa Allah sedang merencanakan sebuah skenarion terbaik.
Dalam masa menanti pengumuman hasil penilaian juri, aku memang tampak tak punya harapan lagi. Di depan semua orang, bahkan guru pembimbingku, aku telah memohon maaf atas kegagalanku. Tapi, hati, pikiran, dan doaku teap menggantungkan harapan pada Allah. Aku yakin bahwa sebelum pengumuman, sebelum kedengar langsung bahwa diriku gagal, aku tidak akan menyatakan kegagalan, khususnya dalam doaku. Aku tetap berdoa pada Allah, kuserahkan diriku seutuhnya pada Dia. Dan, ternyata aku terlalu keras menghadapi diri sendiri. Saat pengumuman 24 besar, aku alhamdulillah lolos. Bahkan, temanku yang awalnya yakin lolos, justru namanya tidak ada dalam pengumuman. Semua berlangsung bagai keajaiban, dan aku percaya ini terjadi karena aku yakin pada Allah, dan Dia menuruti persangkaan hamba-Nya. Bukan hanya gelar 24 besar yang Allah berikan padaku, aku bahkan lolos sampai babak final. Subhanallah, dan aku dinobatkan sebagai 6 besar debater terbaik se Sulawesi Selatan.
Kembali ke PMDC ’09. Kami akhirnya dinobatkan sebagai juara II, well, ada yang bilang, juara itu hanya sebutan untuk dia yang meraih gelar terbaik, juara hanya ada untuk Juara I, sedangkan untuk yang ke II dan seterusnya, hanya ada sebutan peringkat. I appreciate people’s opinion, but in my mind... gelar juara ada bagi semua orang yang merasa dirinya seorang juara. Apalagi, di plakan piala dan medali yang kuperoleh, tidak ada tulisan peringkat II, yang ada hanya juara II.
Allah mencintai dengan cara-Nya. Kadang mugnkin ini di luar logika manusia, tapi Allah sang pembuat skenario terbaik. Manusia banyak mengeluh dan tidak mengerti karena akal yang Allah berikan, tidak sebanding dengan Kemahatahuan sang Pemberi akal. Subhanallah....
oleh: Nila Sartika Achmadi
0 comments:
Post a Comment