RaSa itU


Hidup itu memang rumit. Ibarat jalan panjang yang seolah tak berujung. Kadang saat berada di jalan tersebut, hujan deras tiba-tiba menggoyahkan hasrat untuk meneruskan perjalanan. Kadang panas terik membuat dahaga mencekik kerongkongan seolah isyarat bahwa kita akan mati perlahan. Kadang jalan itu terasa sejuk, mungkin terlalu melenakan, hingga enggan melangkah maju. Namun, hidup tidak selamanya demikian. Ada bagian dari hidup--banyak, namun kadang terabaikan--yang merupakan sebuah alasan untuk maju, baik sendiri maupun bersama.

Kemarin, kutemukan sebuah rasa di ujung jalan. Menghampiriku dan bergelayut manja di sudut hatiku. Rasa ini muncul tanpa tanda. Seolah terserang hasrat ingin hidup, hidup bersamaku. Rasa ini seakang menangis haru di hadapanku, hingga tak perlu banyak waktu untuk memastikannya meraih tempat walau hanya di sudut hatiku. Rasa "kecil" yang kekira takkan banyak berpengaruh pada asaku.

Hari ini, rasa itu masih tersimpan di hatiku, dalam... cukup dalam tempat yang disinggahinya, hingga kini aku pun tak mampu menyentuhnya. Dia tumbuh di hatiku, lalu mengambil alih peran nalarku. Terlihat bodoh, ya... kutau persis aku yang bodoh, tapi aku bahkan tidak dapat mengatakan atau melakukan apa pun. Aku dan rasa itu ibarat jantung dan debarannya. Hidup bersama atau mati.

Bila diriku telah cukup dewasa, seharusnya aku telah mampu mengolah rasa itu. Rasa yang sebenarnya dapat dikendalikan. Tanganku tidak mampu menyentuhnya, apalagi untuk mengeluarkannya dari hatiku. Ada perih yang harus kutanggung beriringan dengan tumbuhnya rasa itu. Perih yang kurasakan sejak pertama rasa itu menghampiriku. Perih yang tak cukup cerdik untuk kudefinisikan di awal waktu. Perih yang menemaniku menjalani hari.

Aku hanya ingin menunggu. Tapi itu berarti mengikis hidupku perlahan-lahan. Aku sedang mencari langkah yang tepat untuk menjaga rasa itu bila memang tak cukup mampu untuk kuhilangkan. Menjaga agar rasa itu tidak merongrong hidupku, kini, dan nanti. Tidak ada hal yang sempurna untuk dijadikan pilihan, namun kita harus menyempurnakan ikhtiar, doa, dan tawakkal untuk memperoleh pilihan terbaik.

oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tujuan-Tujuan Tarbiyah Bagi Akhwat Muslimah


Pengertian Tarbiyah
Dari segi bahasa tarbiyah islamiyah bermakna: Rabba-yarbu (tumbuh berkembang), rabbiya-yarba (tumbuh secara alami), rabba-yarabbu (memperbaiki, meningkatkan). Sedangkan secara istilah Tarbiyah Islamiyah adalah memperbaiki sesuatu, menjaga serta memeliharanya.

Tarbiyaah memiliki pengertian cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata) ataupun secara tidak langsung (dengan keteladanan) untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.
Tarbiyah Islamiyah berarti proses mempersiapkan orang dengan persiapan yang menyenuh seluruh aspek kehidupan meliputi jasmani, ruhani, dan akal pikiran. Demikian juga dengan kehidupan duniawinya, dengan segenap aspek hubungan dan kemaslahatan yang mengikatnya, dan kehidupan akhirat dengan segala amal yang sihisabnya yang membuat Allah ridha atau murka.

Jadi secara ringkas tarbiyah islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang saleh, yakni agar tercipta suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Keseimbangan potensi yang dimaksud adalah hendaknya jangan sampai kemunculan potensi menyebabkan lenyapnya potensi yang lain atau suatu potensi sengaja dimandulkan agar muncul potensi yang lain.

Juga keseimbangan antara potensi ruhani, jasmani, dan akal pikiran, keseimbangan antara kebutuhan primer dan sekundernya, antara cita-cita dan realitasnya, antara jiwa ambisi pribadi dan jiwa kebersamaannya, antara keyakinan kepada alam ghaib dan keyakinan pada alam kasat mata, keseimbangan antara makan, minum, pakaian, dan tempat tinggalnya, tanpa adanya sikap berlebih-lebihan si satu sisi dan pengabaian di sisi yang lain. Benar-benar keseimbangan yang mengantarkan pada sikap yang adil dalam segala hal.
(http://harokah.blogspot.com/2005/12/urgensi-tarbiyah-islamiyah.html)

Bagi akhwat muslimah, tarbiyah memiliki beberapa tujuan khusus.

Bagi individu
Bagi individu seorang muslimah,tarbiyah membantunya dalam proses pembentukan kepribadian muslimah integral. Muslimah integral adalah muslimah yang melaksanakan tugas-tugasnya sebagai muslimah dan berlaku seperti muslimah. Untuk meraih sosok muslimah integral tidak bisa dilakukan hanya dengan berpangku tangan dan menanti perubahan diri. Muslimah dituntut untuk menuntut ilmu dan tarbiyah tentu saja merupakan salah satu sarana untuk memperoleh ilmu.

Selain itu, tarbiyah juga membentuk kepribadian seorang da'iah. Da'i/da'iah adalah mereka yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Pembentukan kepribadian da'iah tentu saja melalui ilmu yang diperoleh dalam tarbiyah dan juga melalui keteladanan yang kita peroleh dari lingkungan tarbiyah itu sendiri. Pembagian tugas sebagai moderator, pemberi tausyiah, dan kegiatan lain yang biasanya menjadi rangkaian tarbiyah pekanan kita, misalnya, akan menjadi sebuah pelatihan dan ajang meraih pengalaman bagi seorang muslimah. Ala bisa karena biasa. Suatu saat tentunya kita insya Allah akan menjadi seorang murabbiyah dan pengalaman berbicara dalam forum akan menjadi salah satu bekal kita.

Tarbiyah tidak hanya melulu mengenai pembahasan materi, tapi kadang juga diisi dengan keterampilan praktis, misalnya memasak, menyulam, da sebagainya. Insya Allah para muslimah akan diperkaya dengan ilmu akhirat dan ilmu dunia.

Bagi Keluarga
Semua orang pasti bermimpi, berharap, dan berusaha... untuk memperoleh pasangan hidup yang terbaik. Seorang muslimah berharap bisa mendapatkan suami yang baik (walaupun definisi baik itu berbeda-beda). Ada yang berharap dapat suami yang pas-pasan aja... (pas butuh duit ada, pas pengen shopping bisa), ada juga yang berharap dapat suami yang miskin... (miskin hasrat untuk selingkuh, miskin hasrat untuk memarahi). Nah, di tarbiyah ini, muslimah dipertemukan dalam satu persepsi bahwa suami yang baik itu adalah seorang muslim yang medukung dakwah.

Dengan pasangan yang mendukung dakwahnya, mereka akan membentuk keluarga yang dipenuhi dengan bimbingan Islam dan terlibat dalam amal islami. Bukan hanya dalam keluarga yang terbentuk setelah pernikahan, tapi juga di lingkungan orang tua dan saudara-saudara.

Bagi Masyarakat
Setelah terjun ke masyarakat, para muslimah diharapkan mampu menumbuhkan kepekaan hati dan jiwanya dengan senantiasa berempati.

Tarbiyah menyiapkan muslimah sebagai sumber daya menusia yang berkualitas sebagai calon akhwat yang berperan dalam peradaban. Ketika kualitas sumber daya manusia kurang, maka peradaban pun tidak akan memenuhi kualitas yang diinginkan. Muslimah juga sebagai seorang pendidik bagi anak-anaknya yang merupakan calon penerus peradaban merupakan salah satu kunci kualitas SDM. Karena peran yang sangat penting ini, muslimah harus tampil sebagai sosok yang berkualitas.

Semua muslimah merupakan pemimpin karena tiap-tiap orang adalah pemimpin. Seorang muslimah adalah pemimpin bagi dirinya, pemimpin rumah dan harta suaminya, pemimpin anak-anaknya, pemimpin amanah yang sekarang diembannya. Maka dari itu, tarbiyah menyiapkan muslimah untuk peran-peran kepemimpinan.

Bagi Dakwah
Zaman kini semakin berkembang, ranah dakwah pun semakin meluas. Akhwat, tidak dapat dipungkiri, dibutuhkan untuk ranah-ranah dakwah tersebut. Tarbiyah mempersiapkan muslimah untuk memenuhi SDM berkualitas pada setiap ranah dakwah dan juga memperluas medan dakwah akhwat.

Muslimah sholehah, tidak hanya diharapkan bergaul dengan sesama muslimah sholehah atau sesama aktivis dakwa, tapi juga diharapkan bergaul di semua lini. Bergaul di lini dakwah akan menambah ilmunya, dan bergaul di luar lini dakwah akan menjadikannya icon dakwah yang semoga membuka mata masyarakat bahwa kita membutuhkan jalan dakwah. Dan Islam adalah agama yang menyelamatkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

When I was (part II)


Saat aku masih tinggal di rumah, aku sering dibuat jengkel oleh kedua adikku. Mereka akhirnya mengakui, mereka memang suka melihatku marah, ngamuk, dan ngambek, makanya mereka sering uuhhh…. Nyebelin.

Dulu itu aku…
Males banget keluar rumah. Pokoknya pagi ke sekolah, sore pulang sekolah, selebihnya aku gak kepengen lagi menginjak teras rumah. Males. Makanya, setiap aku mau jajan sesuatu, pasti minta tolong ke adikku, khususnya adikku yang bungsu. Tapi sayang, dia komersil banget. Kalo aku pengen jajan yang harganya Rp 1000, dia kadang minta gaji seribu juga, tidak jarang dia bahkan minta gaji plus harus dibagi jajanannya. Nyebelin gak tuh. Setiap aku bilang sebel ke dia, paling dia bilang, “Yaudah, beli sendiri aja.” Hm… akhirnya aku pun ngalah, karena gak mungkin aku keluar beli jajan sendiri. Males.

Dulu itu aku…
Egois banget. Sebagai seorang anak perempuan, anak sulung pula, seharusnya aku mau mengalah pada adikku. Tapi kata mengalah selalu ingin kuhapuskan dari kamusku. Kenapa selalu aku yang mengalah (lagu?). Misalnya, abis makan, adikku yang kedua (cowok) gak ngeberesin meja makan. Pasti aku akan ngamuk abis-abisan. Kalo Ibu liat, pasti aku yang disuruh ngeberesin mejanya. Padahal bukan aku yang makan. Kalo “si cowok” minta tolong diambilin segelas air, aku pasti bakalan ngomel panjang lebar dan bilang bahwa dia gak berhak nyuruh-nyuruh aku. Padahal, setelah kurubah sikapku, ternyata dia bisa lebih pengertian. Aku mulai terima kalo dia minta tolong diambilin apa-apa, aku juga mulai terima kalo harus ngeberis meja bekas dia makan. Akhirnya, dia menjadi patuh, aku minta tolong apa-apa dia mau. Mungkin selama ini dia gak tau harus belajar dari siapa cara untuk mengerti orang lain, tapi setelah melihat contoh dari kakaknya—hehe—dia akhirnya tau dan mau SEDIKIT mengerti orang lain.

Dulu itu aku…
Bukan Nila yang kuinginkan. Walaupun Ibu dan Bapak selalu membanggakanku di depan adik-adikku sebagi sosok teladan, tetap saja ada hal dari diriku yang sangat perlu untuk diubah. Memang Nila juga manusia yang jauh dari sempurna, apalagi untuk dijadikan sebagai teladan. Tapi itulah mereka—my Mom and Dad—yang selalu melihatku dari sudut pandang lain. Walau aku masih jauh dari sempurna, mereka selalu menganggapku sebagai anugerah terindah dari Allah. Mereka masih selalu melontarkan kata-kata, “Kalian contoh dong, Kakak Nila, dia itu… bla… bla… bla….”. yah, mungkin aku dulu itu seperti itu. Aku yang sekarang sudah seperti apa, aku pun belum sepenuhnya tau. Yang jelas aku terus berusaha untuk menempa diriku menjadi a better Nila.

by: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

When I was (part I)


Waktu itu aku lagi buka-buka komputer. Tanpa sengaja kutemukan sebuah dokumen yang aneh menurutku. Judulnya,
Pesan Untuk Kedua Kakak Kalau Misalnya Saya Sudah Tidak Ada”.

Kata-kata dalam judulnya lumayan panjang dan membuatku berpikir cukup panjang untuk yakin bahwa ini ditulis oleh adik bungsuku. Melihat waktu pembuatannya, tulisan ini dibuat saat dia masih duduk di bangku kelas 1 SMP.

Kuputuskan untuk membuka dokumennya.

“Untuk Kakak Nila yang sangat saya sayang. Ka, maaf kalo selama ini saya sering mengolok-ngolok kakak, tetapi dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat menyayangi kakak. Walaupun saya sering marah kalo kakak menyuruh saya, tetapi saya sangat ihklas. Itu hanya karna saya ingin melihat kaka marah. Ka, jujur saya ingin merasakan sekali saja diperhatikan oleh kaka saya. Terkadang saya iri kalo melihat teman saya bermain atau jalan-jalan sama kakak mereka. Karna setahu saya, kaka hanya sibuk dengan pelajaran dan sekolah kaka sendiri. Walaupun saya tau kakak berjuang keras untuk sekolah dengan baik hanya karna ingin melihat saya, kakak Herul dan Mama bahagia tetapi saya ingin sekali kaka bisa mengerti saya. Ka hanya itu satu satunya yang dapat membuat saya bahagia.”

“Untuk yang tersayang Kakak Haerul maaf kalo selama ini saya suka membangkan kepada kaka; walaupun saya tahu bahwa teguran kaka itu hanya demi kebaikan saya; karna kaka tidak mau melihat saya ditindas oleh siapapun kecuali mama ,bapa ,kaka nila dan kakak Haerul. Kakak hanya ingin melihat saya hidup tanpa ada tindasan dari orang lain.”

Ada gumpalan rasa yang susah diterangkan saat selesai aku membacanya. Pesan yang singkat namun bermakna.

Yah, aku dulu memang tidak banyak menyiapkan waktu untuk adik-adikku. Apalagi menginjak bangku SMA, aku akhirnya diizinkan untuk mengikuti kegiatan ekskul sebanyak yang kumau. Hampir setiap hari aku pulang sore dari sekolah, kadang sampai menjelang maghrib, pernah juga sampai shalat maghrib di mushalla sekolah. Hal tersebut terus berlangsung setiap hari.

Saat pulang dari sekolah, aku biasanya mengahbiskan waktu untuk beristirahat, kerja PR, atau nonton tv. Aku jarang meluangkan waktu untuk bermain bersama adik-adikku. Padahal adikku yang bungsu sebenarnya sedang membutuhkan perhatian yang lebih. Aku pun, termasuk orang yang tidak bisa diganggu. Apalagi saat aku bekerja di depan komputer, maka pintu kamar akan kukunci. Aku tidak bisa mengerjakan apa-apa saat ada orang yang terus mengajakku berbicara atau ada yang mengotak-atik barang-barang di kamarku.

Pernah, adik bungsuku entah kenapa kepengen banget masuk kamarku padahal aku lagi ngerjain tugas di komputer. Dia terus memaksa, akhirnya kuperbolehkan masuk dengan syarat: gak boleh ngajakin aku ngobrol, gak boleh megang atau mindahin barang apa pun di kamar, gak boleh ngomentarin apa-apa tentang tulisanku, atau apa pun, hanya boleh diam di atas tempat tidur. Dia pun setuju. Awalnya si bungsu mulai tidur, sampai akhirnya merasa suntuk sendiri dan keluar meninggalkanku sendiri.

Dulu mungkin—memang—aku terlalu disibukkan oleh berbagai organisasi dan lomba-lomba yang selalu kuikuti. Aku merasa rumah adalah tempat istirahat. Namun, tanpa kusadari aku melupakan adikku yang ternyata juga butuh dimengerti. Kuminta seisi rimah untuk mengerti kebutuhanku berorganisasi, mengerti kesibukanku di sekolah, mengerti bahwa aku butuh istirahat saat tiba di rumah, tapi aku kadang lupa untuk mengerti mereka.

I’m sorry!

By: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ukhti...Akhi... Puisi Ini Untukmu


By: Jumahir

Pada kakak yang disebut ikhwan
Aku ini elang
Menunggu sayap sempurna bulu
Lalu ajari aku terbang
Hingga ke atas awan
Tapi ceritakan padaku
Akhi, mengapa tangan tak boleh berjabat
Dengan kakak yang disebut akhwat

Pada kakak yang dipanggil Akhi
Aku ini elang
Menunggu kuku runcing sempurna
Lalu ajari aku mencakar
Hingga kezaliman terkoyak
Tapi beri aku jawaban
Akhi, kapan kita ke Palestina

Pada kakak yang disebut akhwat
Kisahkan aku tentang sahabiyah
Gambarkan aku tentang tarbiyah
Lalu kuwarnai dengan amaliah yaumiah
Tapi beri aku jawaban
Ukhti, mengapa mata tak boleh bertatap
Dengan kakak yang disebut ikhwan

Akhi...
Ukhti...
Puisi ini untukmu
Tapi cepat beri aku jawaban, ya!
Sebelum VMJ menyerangku
Akhi,...
Ini demi keselamatan Antum, Akhi...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS