WaRNa

Oleh: Nila Sartika Achmadi

Aku suka warna pink. Waktu kecil dulu, aku selalu ingin mengatakan bahwa warna pink yang terbaik. Tapi, semakin lama aku menyadari bahwa warna yang monoton samasekali tidak indah.
Aku suka pelangi. Mejikuhibiniu (merahjinggakuninghijaubirunilaungu).

Merah
Kata merah mengingatkanku pada map merah. Aku pernah kehilangannya sekali. Saat kutemukan kembali, aku berjanji tidak ingin kehilangannya lagi. Map itu berisi perjalanan prestasiku sejak SMA. Bukti nyata di atas kertas atas perjuanganku. Tak kan terganti.

Jingga
Aku suka jingga matahari sore. Bulat dan begitu mencolok. Ada ketenangan yang bersanding bersamanya. Ada pula haru yang terselip di balik tatapan anggunnya. Kedua rasa itu mengalir pelan memasuki hatiku melalui tangga yang terjalin dari sepasang mataku yang berakhir tepat di hatiku.

Aku suka jingga pada purnama. Jingga rembulan yang tak semua orang menyadari keberadaannya, namun telah membuatku jatuh hati. Pertama aku melihatnya, kulihat rembulan itu tanpa kacamataku. Aku meraba rupanya yang menawanku dalam samar. Namun, semakin kukenal dia, semakin tak kutemukan alasanku mengaguminya, karena aku mencintainya tanpa satu pun alasan pasti. Hal paling pasti yang kutemukan dalam diriku bahwa aku kagum pada rembulan jingga, juga pada keagungan Penciptanya.

Kuning
Ada segudang kenangan dalam warna itu. Kenangan masa SMA saat aku berseragam kuning—rok kuning kotak-kotak dengan lipit-lipit yang membuatnya menjadi sangat lebar. Saat naik tangga, rok itu harus kuangkat, sedangkan saat turun, rok itu akan menyapu tangga. Bukan... bukan adegan layaknya putri mahkota yang memakai gaun dan sedang berjalan di tangga itu yang membuatku seragam kuning. Banyak kenangan saat SMA yang melangkah seiring ayunannya. Melihatnya, seolah membawaku kembali pada sejuta cinta yang tersemat di SMANSA Maros. Tiga tahun untuk selamanya.

Hijau
Katanya, hijau itu warna surga. Kesanku tentang hijau di bumi adalah: fresh. Menyegarkan mata. Waktu kecil, aku pernah kepengen hidup di dunia Teletubbies. Padang rumputnya hijau dengan hidup yang tak kompleks, namun bahagia.

Aku suka hijau sawah dan pepohonan di tepi jalan menuju Bantimurung (air terjun di Maros). Aku juga suka hijau daun-daunan dari pohon rindang di sebuah kantor seberang jalan rujab bupati Maros. Pemandangan yang kulalui tiap hari dan mengantarku menuju SMANSA Maros. Aku pun senang melihat hijau pohon-pohon kecil di taman depan ruang kepsek dan wakasek SMANSA Maros. Serumpun kenangan berdendang bersama semilir angin yang menggoyangkan dedaunan. Kursi panjang samping ruang guru yang menghadap langsung ke taman itu menjadi saksi tanpa kata atas segala cinta yang pernah kurasakan dan terus terjaga di sebuah tempat di hatiku.

Biru
Aku suka laut dan pantai. Saat berada di pantai, aku melihat warna biru terbentang luas di depan mataku bertemu warna biru lainnya yang membentang jalan di atasku, di atas bumi, di atas pantai. Melihat birunya air laut dan mendengar deburan ombak yang menyapa pantai, seolah risauku terangkat, dibawa oleh angin yang menggerakkan air di lautan.

Namun, terkadang aku lebih menikmati pantai di malam hari, warnanya biru tua. Kuakui biru muda laut di siang hari lebih indah. Tapi, sesekali aku merasa biru muda itu keindahan semu. Indah, namun bukan milikku. Ada banyak orang yang bermain di pantai biru muda, menghalangi mataku menikmati sepenuhnya dan mencegah hatiku memiliki seutuhnya. Berbeda dengan pantai biru tua di malam hari, kadang tak kutemukan banyak orang atau tidak ada sama sekali. Sifat possesive yang sering mendominasi hatiku mencintai suasana ini, biru tua milikku.

Nila
Namaku Nila. Saat SD di kelas IPA, aku baru tau bahwa nila adalah salah satu warna pelangi. Aku seneng banget. Sebelumnya, aku dan teman-temanku hanya tau nila dari peribahasa “setetes nila rusak susu sebelanga”. Kukira nila it adalah racun, ternyata pewarna. Heee... aku keluar dari paradigma nila adalah racun dan masuk pada dunia yang menyatakan bahwa nila adalah bagian dari pelangi. Kebahagiaanku semakin membuncah saat membaca text book Bahasa Indonesiayang emuat cerita tentang asal muasal pelangi yang dulunya merupakan putri-putri raja. Di antaranya ada Dewi Nila yang selalu muncul saat ada pelangi.

Ungu
Ada yang bilang bahwa ungu itu warna janda. Mm... aku yang bahkan belum menikah, suka warna ungu. Ungu terkadang mirip pink. Aku tidak bisa bercerita banyak karena kesukaanku pada warna ungu berawal dari kecintaanku pada warna pink.
O ya, aku juga suka band Ungu.

“baiknya ku pergi... tinggalkan dirimu... sejauh mungkin... untuk melupakan... dirimu yang slalu... tak pedulikanku....”

“maafkan aku... menduakan cintamu... berat rasa hatiku tinggalkan dirinya....”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan di Bulan Juni

15 Juni 2009
Sekarang aku lagi kejebak hujan di Murashalah. Aku duduk sendiri di teras akhwat. Kulihat tetes-tetes hujan yang membentuk aliran tepat di hadapanku. Di sekelilingku, dunia terasa kelabu. Langit tidak menunjukkan birunya karena awan enggan bergeser dari egonya. Di hadapanku, sebuah pohon yang besar dan rindang berhenti menggerakkan ranting-ranting dan dedadunan seiring semakin derasnya hujan.

Lampu jalan sebagian telah dinyalakan. Pukul 05.05 p.m. Hari mulai gelap. Kutengok hatiku yang sejak tadi menerawang jauh ke beberapa tempat, berbagai situasi, dengan kondisi yang nyaris sama. Aku pernah bilang gak, kalo aku melihat hujan, aku jadi sedih? That’s exactly what I feel now. Hatiku mengintai momen-momen sedih dan mengharukan yang masih tersimpan dalam memoriku. Momen bersama semua yang kucintai. Momen yang menindih hatiku dan menampakkan sebuah rasa yang kusebut kerinduan. Aku merindukan semua yang kucintai, yang kutinggalkan demi meraih impianku.

Melihat sekelilingku yang nampak kelabu, mencium bau debu basah yang perlahan tertelan hujan, dan mendengarkan setiap tetes gemericik air hujan, membuatku teringat rumahku nun jauh di Kabupaten Maros sana. Rumah yang menemani jalannya usiaku dan merekam setiap episode hidupku. Episode yang kelak harus kupertanggungjawabkan. Rumah yang sangat sederhana, bersahaja, namun penuh cinta. Rumah di mana bapak dan ibuku dengan leluasa mengungkapkan kecintaan pada kami, anak-anaknya.

Melihat pepohonan yang diguyur hujan, hatiku membawaku pada sosok ibuku. Dia bagaikan pohon besar yang berada di seberang jalan, tepat di hadapanku. Pohon itu kuat. Walaupun angin menghantamnya dan hujan menggoyahkan kehangatannya, dia tetap kokoh. Pohon itu rindang. Saat terik, banyak orang yang berteduh di bawahnya untuk menghindari sengatan matahari atau untuk sekedar merasakan kesejukannya.

Ibuku, wanita yang usianya telah lebih dari separuh abad harus berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna, begitupun Beliau. Dalam upayanya untuk menjadi yang terbaik, kadang dia khilaf, tapi toh, Allah menilai prosesnya. Saat Bapak masih ada, Ibu menjadi istri yang sabar merawat Bapak yang diuji dengan beberapa penyakit. Ketika usiaku—anak sulungnya—baru menginjak usia 14 tahun, Ibu harus menjadi single parent karena ternyata jatah Bapak hidup di dunia telah sampai pada penghujungnya. Ibuku juga harus sabar menghadapi kelakuan adik-adikku yang masih belum dewasa, ABG yang sedang mencari jati diri dengan sikap sensasionalnya. Tanpa didampingi seorang suami, dia berjuang sendirian. Tapi aku tahu, Allah tidak mungkin menguji hamba-Nya di luar kapasitas mereka. Allah Maha Mengetahui dan Dia tahu bahwa ibuku kuat menghadapi ini semua walau tanpa Bapak di sampingnya.

Aku hanya berharap bahwa ibuku dapat sabar dan berlapang dada, karena sesungguhnya setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Ini tak lebih dari sebuah cara bagi Allah untuk mencintainya, karena Allah ingin menaikkan derajatnya melalui kesabaran Beliau. Dan aku tahu bahwa Allah telah menyiapkan kekuatan baginya. Hanya perlu bersabar, terus berdoa, berikhriar, dan tawakkal. Kesabaran bukanlah duduk diam menanti semua berubah baik, tapi kesabaran adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita.

Nun jauh di sana, ibuku menantiku dengan sabar. Jika ada orang yang paling tersiksa oleh kerinduan karena aku tidak ada, maka orang itu adalah ibuku. Aku seharusnya ada untuk mendampinginya menghadapi adik-adikku, menghadapi semua ujian yang sedang dia hadapi tanpa Bapak. Namun, aku belajar dari dia tentang esensi cinta. Bahwa cinta bukanlah ego. Cinta akan merelakan orang yang dicintai pergi bila itu memang lebih baik. Walaupun dia kangen, dia tak kan mau mengusikku saat tahu bahwa aku sedang ujian. Dia sungguh mencintai dengan sabar, tanpa embel-embel egoisme.

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Akhir Rasa Itu

8 Juni 2009

Sabtu kemarin aku Liqo’ (Lq) setelah bulan Mei sama sekali gak pernah Lq. Kalian tau gak, terasa ada cahaya iman yang mengisi kembali ruang-ruang kosong di hatiku. Ruang-ruang kosong yang menjadi awal kekeringan imanku sehingga bermuara pada sebuah kesalahan fatal yang harus segera kuakhiri.

Si Fulan. Dia bukan sebuah kesalahan, namun dia menjadi bagian dari kelalaian imanku dan ujian bagi keistiqomahanku. Dia datang sesaat setelah kuikrarkan bahwa aku akan menghilangkan “tuhan-tuhan” di hatiku agar Allah swt. menjadi the one and only. Ya, aku sadar bahwa selama ini di hatiku telah bercokol “tuhan-tuhan” tandingan tanpa kusadari. “tuhan” itu adalah sesuatu yang telah membuatku terlalu nyaman dan membuatku begitu takut kehilangan. Entah mengapa, waktu itu dalam beberapa ta’lim berturut-turut, aku memperoleh materi yang sama. Yaitu tentang Syirik. Bukan hanya menyembah berhala yang menyebabkan syirik, tapi juga ketergantungan kita pada makhluk melebihi pada sang Pemilik makhluk. Tepat setelah ikrar itu, dia dikirim untuk mengujiku.
Aku menyesal tidak menghindarinya dari awal. Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku mampu memutuskan untuk menjauh darinya. Tanpa kusadari, hatiku telah menjadi nyaman karena dia. Parahnya lagi, mungkin kenyamanan itu menggeser kenyamanan yang harusnya dirasakan hatiku dalam setiap sujudku. Astagfirullah! Untuk semua ini, aku memang mesti berkorban. Aku memang harus merasakan rasa sakit karena disapih dari kebutuhanku. Kebutuhan untuk dekat dengannya. Namun aku hanya dapat berharap bahwa rasa sakit yang kurasakan ini semoga menjadi penghapus dosa-dosaku. Amin….

Hari Sabtu itu juga, aku memutuskan bahwa aku harus menghentikan rutinitas yang selama ini kulakukan untuknya. Hal yang kulakukan setiap hari. Itu karena aku menyadari bahwa setiap aku melakukannya, aku perlahan merasa nyaman. Rasa nyaman bukan karena Allah. Padahal, kata aa’ Gym, hati-hatilah bila merasa nyaman dengan selain Allah, apalagi rasa nyaman itu tidak menyebabkan semakin dekatnya kita pada Allah. Jangan sampai dia membuatku nyaman dan membuatku bergantung padanya, padahal dia hanya makhluk.
Setelah shalat Dhuha, aku membaca sms yang baru saja dia kirim. Dia mengucapkan terima kasih. Aku… sempat goyah lagi dengan niatku. Aku gak tega meninggalkan rutinitas itu. Tapi alhamdulillah, Allah sungguh menyayangiku. Allah menguatkan hatiku. Sakit memang… sampai air mataku harus terus mengalir. Ya, tangisan karena hatiku harus mengembalikan tempat yang menjadi jatah Rabbnya. Dalam proses pengembalian itu, hati akan tersakiti. Tapi apa boleh buat, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma, begitu pula surga. Aku hanya yakin akan satu hal, bahwa rasa sakit yang kurasakan ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan derita yang akan kualami bila aku terjerumus ke dalam neraka. Rasa sakit ini juga tidak ada harganya bila dibandingkan dengan surga yang Dia janjikan. Aku sungguh tak akan rugi bila rasa sakit ini akhirnya membuatku lebih dekat dengan jannah-Nya.
“Kaki ini tidak akan berhenti melangkah sampai tiba di jannah-Nya”.

***

Aku gak nyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Malam itu—saat kuyakini keputusanku, aku emang udah kena gejala flu, sehingga kepalaku jadi sakit. Sakit kepalaku jadi semakin sakit karena nangis.

Ya Allah, aku telah—sedang berusaha—untuk melepasnya dari hatiku. Bila memang kami tidak bisa menjalin hubungan atas dasar cinta karena-Mu, maka pisahkanlah hatiku dan dirinya karena-Mu. Engkau mengatakan bahwa semua orang yang berhubungan di dunia akan saling menyalahkan di hari kemudian, kecuali orang yang melandaskan hubungannya karena-Mu. Bila hubungan kami tidak terjalin karena-Mu, aku sungguh takut dan tidak ingin saling menyalahkan dengannya di hari kemudian. Dan bila ini adalah caranya, maka bantu aku untuk ikhlas, ya Allah….

Kulihat di cermin, mataku merah banget. Kantung matanya bengkak karena nangis. Malam itu, lalu keesokan paginya, aku terus nangis. Kemarin siang pun, saat ada acara di kampus, aku menangis di pelukan sahabatku karena dia.

Aku ingin mencintainya dan memperhatikannya. Aku gak peduli bagaimana perasaanya terhadapku, karena itu memang gak penting. Tapi kini, aku tidak boleh lagi memperhatikannya dengan cara itu. Toh, ukhuwah itu dijalin bukan dengan banyaknya sms atau kata-kata indah, tapi dengan mengingat saudaranya dalam doanya. Biar Allah yang mencintai dia seutuhnya, yang menjada dia sepenuhnya. Aku cukup melangkah sampai di sini. Karena langkah yang lebih jauh lagi hanya akan membawa mudharat bagi aku, hatiku, dan juga dirinya.

Bila aku memang menyayanginya, aku tentu tidak akan larut dalam egoku untuk tetap menjalankan rutinitas seperti dulu, yang jelas hanya akan menyebabkan murka Allah. Bila aku memang menyayanginya, maka aku tidak akan mau menjadikan diriku penyebab murka Allah jatuh padanya. Bila aku tetap dengan caraku yang dulu, semua yang kurasakan ini tidak lebih dari nafsu semata, yang akan membakar kami—aku dan dirinya. Bila aku memang menyayanginya, tentu aku tidak akan melakukan hal-hal yang hanya akan menjauhkannya dari ridho Allah. Bila aku menyayanginya, maka aku harus ikhlas untuk melepasnya dari hatiku. Izinkan aku Ya Allah….

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pagi Ini....

Hari ini, aku bangun dengan segumpal kegundahan di hatiku. Entah mengapa, aku terus saja gelisah. Perasaanku seolah kalut, resah, tidak tenang, dan... apalah namanya, intinya aku merasa gak nyaman pagi ini.

Aku menyelami hatiku, mencoba menemukan berbagai opsi yang membuat perasaanku seperti ini. Apa mungkin karena hari ini ada ujian Matek? Huh... entah mengapa, mata kuliah yang satu ini sangat membebani pikiranku. Tahun lalu, tepat di semester yang sama ketika aku pertama mempelajarinya, hari-hari dapat kulalui dengan santai, bahkan tanpa melibatkan terlalu banyak energi seperti saat ini, aku tetap memiliki keyakinan, insya Allah bisa dapat nilai terbaik (A). Tapi, sekarang saat aku ngulang, sepertinya bebannya sangat berat. Aku tidak ingin dapat nilai selain A, karena aku melalui banyak hal sampai akhirnya ngulang bareng adek kelas. Mungkin ada sedikit gengsi, tapi insya Allah terus berupaya untuk ditepiskan, karena toh, aku sama sekali tidak punya hak untuk berbangga diri dan merasa lebih dari yang lain, sehingga tidak seharusnya aku ngulang.

Jujur, awalnya susah banget buat mengikhlaskan aku ngulang mata kuliah ini. Tapi, apa boleh buat nilaiku E. Bayangkan, dari target nilai A, aku hanya bisa mengantongi predikat E. Bukan karena nilai ujianku jeblok, atau karena gak ngumpulin tugas, tapi karena aku gak ikut UAS susulan dengan alasan terbodoh yang pernah ada se-dunia. Namun, keengganan untuk ngulang akhirnya dapat kunetralisir. Mungkin ini cara Allah untuk menguji keikhlasanku menuntut ilmu. Bila aku benar-benar ikhlas, aku akan rela memperdalam ilmu sekali lagi walau tindakan itu harus diberi label "Ngulang".

Menjelang ujian Matek, entah mengapa seolah ada beban yang menindih hatiku. Sindrom menjelang ujian Matek berhasil meluluhlantakkan persiapan pagiku. Rasanya laper, tapi susah makan. Bawaannya gelisah. Tapi, kalau ini benar sindrom Matek, kenapa pagi ini di kepalaku, kata Matek justru tidak dapat kutemukan? Apa mungkin aku kepikiran yang lain? Tapi bener, aku gak bisa menemukan satu kata yang secara pasti dipilih oleh otakku untuk dipikirkan. Atau, aku harus bertanya pada hatiku, karena sepertinyanya, hatiku yang merasakan semua ini.

Aku takut pagi ini menjadi begitu asing karena aku tau apa dan siapa yang harus kuhadapi? Aku harus menghadapi apa yang tidak ingin dihadapi oleh hatiku. Selain ujian Matek bagi otakku, hatiku juga tak lepas dari ujian. Setelah memutuskan untuk meninggalkan hal yang mungkin menjerumuskan hatiku pada tindakan kriminal menduakan cinta Allah, hari ini mungkin kesungguhannya akan diuji. Masihkah aku sanggup untuk berkata tidak pada sesuatu yang terlihat indah oleh satu sisi hatiku?

Entah apa jawaban dari kegelisahanku pagi ini. Tapi aku berharap, agar hari ini tetap berjalan dengan baik di bawah perlindungan-Nya.... Amin....

Oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Indikator Dehidrasi Ruhiyah

"Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan (misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh." (http://id.wikipedia.org/wiki/Dehidrasi)

Itu dia definisi dehidrasi fisik. Gimana kalo yang dehidrasi itu adalah ruhiyah kita? Apa ada minuman khusus penyeimbang elektrolit ruhiyah? Dehidrasi ruhiyah memerlukan penanganan yang lebih intens dibandingkan dehidrasi fisik. Kekeringan ruhiyah dapat berujung pada menjauhnya seorang hamba dari Rabbnya. Jika terus dibiarkan, hamba tersebut bisa tersesat dan bermuara pada neraka. Na'udzubillah....

Berikut ini adalah indikator dehidrasi ruhiyah:

Melencengnya motivasi
Dalam beraktivitas, hendaknya semua yang kita kerjakan diniatkan untuk ibadah sebagaimana hakikat penciptaan kita yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Namun, seiring berjalannya waktu, niat atau motivasi kita sering saja melenceng. Awalnya bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Rabbnya, malah sekarang beraktivitas dengan tujuan untuk dikenal makhluk-Nya. Melencengnya motivasi dapat menjadi sarana awal bagi iblis untuk mengeringkan ruhiyah para ummat Rasulullah saw.

Mudah ngambek
Seseorang yang ruhiyahnya senantiasa dibasahi oleh iman, maka hatinya akan menjadi lapang. Hati yang lapang akan mudah memaafkan, sehingga tidak mudah baginya untuk ngambek. Sebaliknya, bagi hati yang tidak lapang, si empunya akan menjadi sensitif dan larut dalam emosi yang susah untuk dikendalikan. Hal ini yang menyebabkan seseorang mudah ngambek.

Mengutamakan istirahat (mentoleransi diri)
Terkadang, seorang aktivis terlalu disibukkan oleh organisasi dan berbagai aktivitas yang menyita waktu. Setelah berbagai kegiatan, kadang kita merasa butuh waktu untuk beristirahat--mungkin lebih lama dari yang seharusnya kita butuhkan. Memangs semua orang fitrahnya butuh istirahat, tapi jangan mengambil jatah lebih dari yang dibutuhkan oleh tubuh dan pikiran. Padahal, rehatnya seorang aktivis dakwah adalah ketika beribadah.


Merasa putus asa dengan diri sendiri dan tidak berdaya lagi melakukan rutinitas
Seseorang yang merasa putus asa berarti telah menunjukkan indikasi keringnya ruhiyah dan semakin jauhnya seseorang dari Rabbnya. Satu-satunya tempat bergantung dan meminta adalah Allah. Apakah kita tetap menempatkan Allah sebagai tempat bergantung dan meminta bila kita merasa putus asa? Rasa putus asa biasanya menimbulkan sikap menghindar dari rutinitas. Seseorang telah men-cap dirinya serba tidak berdaya, baik dalam menghadapi dirinya, maupun dalam melaksanakan rutinitasnya. Hal ini harus dihindari, karena kita adalah hamba Allah, dan ada Allah tempat memohon.


Mudah khawatir, panik dan tergesa-gesa dengan amanah yang diemban
Sikap tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Dalam melakukan segala hal, sebaiknya kita tetap tenang. Energi yang kita miliki akan banyak terkuras jika melakukan sesuatu dalam keadaan panik dan tergesa-gesa. Selain itu, ketergesa-gesaan dapat membuat kita lalai dari dzikir.

Melakukan kemaksiatan baik sadar maupun tidak
Semua orang pasti menghadapi fluktuasi keimanan. Saat kadar iman kita sedang turun, iblis akan mudah menjebak kita untuk melakukan kemaksiatan. Kemaksiatan yang besar akan menghancurkan kita, begitu pula kemaksiatan kecil yang dianggap enteng jiga akan menjerumuskan kita pada jurang kekeringan ruhiyah.

Semoga kita dapat memiliki ruhiyah yang bening dan terhindar dari kekeringan. Semoga jiwa kita senantiasa dibasahi oleh dzikir.... Amin....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lanjutan Rasa Itu

Oleh: Nila Sartika Achmadi

Hari ini kulihat seseorang sedang bermuram durja. Wajahnya tampak lesu seolah tiada matahari baginya hari ini. Kantung matanya yang bengkak menceritakan kesedihan yang dilaluinya tadi dalam. Ada gumpalan tanya yang ingin kulontarkan. Tapi dia sedang menggerakkan bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi... tidak... dia masih diam.


Wajahnya memelas. Saat melihatnya, aku seolah ingin memeluknya dan memberitau bahwa aku bersedia menjadi teman berbagi jika ia ingin menceritakan sesuatu.


Saat aku mendekatkan tanganku padanya, ada sebuah sekat yang memisahkan kami. dingin. Sebuah cermin. Orang yang kulihat sedang bersedih itu adalah diriku. Mungkinkah hari ini aku seburuk itu? Apakah upayaku untuk mengikis rasa ini terlalu menyakitkan, hingga raut-raut kesedihan melekat erat di wajahku?


Kemarin, setelah kuputuskan untuk tegas pada hatiku, kurasakan sakit yang meradang.
Mungkin ini yang terbaik, karena perlu banyak ujian untuk menempa kedewasaanku.
Walau sakit, asal dapat kuselamatkan hatiku dari kekangan rasa ini, akan kuterima sepenuh hati.
Sepotong senyum yang tersimpan rapi di sakuku, semoga dapat kumunculkan kembali dan kupasang di wajahku. Agar dapat kusembunyikan kesedihan ini dari dunia. Cukup aku dan hatiku yang bersedih...


Selamat tinggal rasa...
Bila kelak kita bertemu lagi, tolong ingatkan aku bahwa aku pernah sakit karenamu, agar aku berhati-hati....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

RaSa itU


Hidup itu memang rumit. Ibarat jalan panjang yang seolah tak berujung. Kadang saat berada di jalan tersebut, hujan deras tiba-tiba menggoyahkan hasrat untuk meneruskan perjalanan. Kadang panas terik membuat dahaga mencekik kerongkongan seolah isyarat bahwa kita akan mati perlahan. Kadang jalan itu terasa sejuk, mungkin terlalu melenakan, hingga enggan melangkah maju. Namun, hidup tidak selamanya demikian. Ada bagian dari hidup--banyak, namun kadang terabaikan--yang merupakan sebuah alasan untuk maju, baik sendiri maupun bersama.

Kemarin, kutemukan sebuah rasa di ujung jalan. Menghampiriku dan bergelayut manja di sudut hatiku. Rasa ini muncul tanpa tanda. Seolah terserang hasrat ingin hidup, hidup bersamaku. Rasa ini seakang menangis haru di hadapanku, hingga tak perlu banyak waktu untuk memastikannya meraih tempat walau hanya di sudut hatiku. Rasa "kecil" yang kekira takkan banyak berpengaruh pada asaku.

Hari ini, rasa itu masih tersimpan di hatiku, dalam... cukup dalam tempat yang disinggahinya, hingga kini aku pun tak mampu menyentuhnya. Dia tumbuh di hatiku, lalu mengambil alih peran nalarku. Terlihat bodoh, ya... kutau persis aku yang bodoh, tapi aku bahkan tidak dapat mengatakan atau melakukan apa pun. Aku dan rasa itu ibarat jantung dan debarannya. Hidup bersama atau mati.

Bila diriku telah cukup dewasa, seharusnya aku telah mampu mengolah rasa itu. Rasa yang sebenarnya dapat dikendalikan. Tanganku tidak mampu menyentuhnya, apalagi untuk mengeluarkannya dari hatiku. Ada perih yang harus kutanggung beriringan dengan tumbuhnya rasa itu. Perih yang kurasakan sejak pertama rasa itu menghampiriku. Perih yang tak cukup cerdik untuk kudefinisikan di awal waktu. Perih yang menemaniku menjalani hari.

Aku hanya ingin menunggu. Tapi itu berarti mengikis hidupku perlahan-lahan. Aku sedang mencari langkah yang tepat untuk menjaga rasa itu bila memang tak cukup mampu untuk kuhilangkan. Menjaga agar rasa itu tidak merongrong hidupku, kini, dan nanti. Tidak ada hal yang sempurna untuk dijadikan pilihan, namun kita harus menyempurnakan ikhtiar, doa, dan tawakkal untuk memperoleh pilihan terbaik.

oleh: Nila Sartika Achmadi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS