“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah pada Allah. Dialah pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Q.S. Al Hajj: 77-78)
Dalam kalam-Nya, Allah menyampaikan misi manusia, yaitu:
1. Allah memerintahkan untuk rukuk, sujud, dan shalat;
2. Allah memerintahkan untuk menyembahnya;
3. Allah memerintahkan melakukan kebajikan sepanjang kemampuan.
Sesungguhnya kebaikan pertama adalah ketika kita menjauhi maksiat. Selain menjaga tempat-tempat suci, jihad diwajibkan bagi mereka yang memiliki kekuatan dan kemampuan. Allah memerintahkan untuk berangkat dalam keadaan ringan maupun berat.
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. At taubah: 41)
Pada masa Rsulullah saw., seorang sahabat bernama Ka’ab bin Malik yang mengulur-ulur waktu dalam sebuah peperangan. Padahal dia telah paham dan memiliki fasilitas. Sampai akhirnya perang dimulai, dan dia ketinggalan pasukan. Rasulullah saw. lalu melarang siapapun menyapanya selama 40 hari, 40 malam. Dalam masa itu, Ka’ab diuji dengan ajakan pihak musuh untuk bergabung melawan Rasulullah dengan iming-iming duniawi, namun Ka’ ab menolak.
Dari kisah di atas, dapat dilihat, betapa kita diperintahkan untuk segera berjihad, baik dalam keadaan berat, apalagi dalam keadaan ringan. Allah memilih mukmin untuk menjadi khalifah, bukannya Muslim. Karena mukmin benar-benar menempatkan Allah sebagai Illah-nya.
Muslim yang ingin membela agamanya harus memiliki kekuatan jiwa yang sangat kuat dengan pilar sebagai berikut:
1. Tekad membaja yang tidak pernah melemah;
2. Kesetiaan yang teguh tanpa disusupi pengkhianatan;
3. Pengorbanan yang tidak terbatas oleh keserakahan dan kekikiran;
4. Pengetahuan dan keyakinan;
5. Penghormatan yang tinggi terhadap ideologi yang dipegangnya.
Sebuah bangsa akan rapuh tanpa pilar-pilar di atas. Begitu pula ummat Islam, akan rapuh tanpanya. Perlu digarisbawahi pilar yang ke-5, di Indonesia kita mengenal ideologi Pancasila, namun sebagai Muslim, ideologi kita adalah Islam.
Bandingkan Muslim Indonesia dan Muslim Palestina. Kita dalam jumlah yang banyak ibarat kerupuk, yang terlihat besar, namun rapuh, dan rentan melemah hanya lantaran terkena air. Kita telah terbuai dengan dunia, sehingga tumbuh cinta dunia dan takut mati (al wahn).
Mari kita berjuang di ranah kita masing-masing, walau kepayahan, namun selama masih ada Allah di hati, Insya Allah kaki ini tak akan berhenti melangkah hingga tiba di jannah-Nya. Sesungguhnya Allah mennguji kita dalam kelemahan kita. Maka bersyukurlah saat diuji, berarti Allah masih memperhatikan kita. Yakinlah, bahwa semakin kita mendekatkan diri kepada Allah, maka semakin dekat pula pertolongan-Nya kepada kita.
(Resume kajian, dirangkum oleh: Nila Sartika Achmadi)
Misi Manusia
Aku_Tak_Biasa
Mungkin aku terlalu jaim,,,tapi itulah diriku. Aku tidak tau mengapa begitu sulit bagiku mengungkapkan perasaan yang selalu ada itu. Mungkin aku memang tidak biasa mengungkapkannya. Bukan karena aku arogan, bukan karena aku ingin menzalimi hatiku, tapi menurutku, rasa itu akan tetap ada, tetap inidah, meski cukup aku dan Allah yang mengetahuinya. Tapi kini yang kurasakan berebda, rasa itu bukan untuk sekedar dirasakan, tapi untuk diekspresikan dengan cara yang ma’ruf.
Waktu itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Karena aku tak biasa mengungkapkannya, kusimpan saja rasa itu di ruangan yang mungkin tidak terjamah–jauh di relung hatiku.
Hari itu kulihat dia tergolek kaku, menatap kosong di langit-langit ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan. Lidahnya kelu, tapi kurasakan bahwa dia ingin berkata banyak hal andai dia bisa.
Pikirku kembali pada hari sebelumnya. Dia ingin aku menemaninya, mungkin untuk terakhir kalinya, hanya saja dia tak berani memberitahuku. Aku sungguh ingin menemaninya, aku ingin memeluknya, aku ingin bersamanya. Tapi aku tidak terbiasa dengan semua ini. Aku hanya tersenyum simpul mencoba menetralisir keadaan.
Hari ini, saat dia tergolek tak berdaya, saat nyawanya ada namun seolah tak ada, mungkin dia ingin memintaku menemaninya, namun dia tak mampu lagi mengatakan semua itu. Aku memang terus ada di sampingnya, tapi bodohnya aku, aku tak berani mengekpresikan perasaanku kecuali dengan tetesan air mata yang mengaliri pipiku. Seharusnya kudekap dia, kukecup keningnya, kubantu dia mengingat Rabbnya, mungkin itu akan lebih berarti. Tapi tak kulakukan semua itu. Ya, aku tidak terbiasa.
Hingga akhirnya dia benar-benar pergi. Dia menginggalkanku, tanpa membiarkanku memberitahunya rasa itu.
Malam ini, dia dibaringkan di ruang tamu. Seluruh tubuhnya ditutup rapat dengan sehelai kain. Aku bersandar di pintu ruang tengah. Kutatap dia dari jauh, tapi aku tak berani mendekatinya. Aku tidak ingin orang lain melihatku mendekatinya. Karena… aku tak biasa dengan semua ini.
padahal aku… sungguh aku ingin memeluknya malam itu. Karena aku yakin, ini benar-benar terakhir kalinya kami bertemu di tempat ini. Walau dia tak kan bisa merasakan pelukanku lagi, aku hanya ingin memeluknya. Tapi, aku bukan orang yang terbiasa melakukan semua itu. Kupendam saja inginku, kubiarkan diriku berharap seseuatu yang sebenarnya boleh kulakukan, namun tak mampu kulaksanakan.
Kini, waktu itu telah berlalu sekitar 4 tahun. Aku hanya bisa menyesali mengapa tak kulakukan semua itu. Kini Ayahku, orang yang begitu kucintai, benar-benar telah pergi meninggalkanku ke suatu tempat yang tak mampu kukunjungi. Andai waktu dapat kuputar kembali, aku akan menemaninya malam itu saat dia memintaku ada di sampingnya. Akan kudekap jasadnya yang terbujur kaku tertutup kain di ruang tamu. Andai dapat kuulang waktu, akan kubuat diriku terbiasa mengungkapkan cintaku pad orang tuaku, orang yang memang layak kucintai, seharusnya kucintai, dan wajib kucintai karena Allah.
Tapi waktu tak pernah dapat kembali. Biarlah kini cinta itu ada dan kuungkapkan melalui bulir-bulir doaku untuk keselamatannya.
“I love you, Dad….”
oleh: Nila Sartika Achmadi
Buka Bareng '07 SMANSA Maros
Dua hari yang lalu, ada buka bareng yang diadakan angkatan ’07 SMANSA Maros. Ternyata namaku masuk kepanitiaan, tapi aku hampir gak pernah ikut persiapannya. Alasan pertama karena aku selama ini di Bandung, dan yang kedua, beberapa hari sebelum acara, walaupun aku udah di Maros, entah kenapa kayknya males aja ke sekolah. Mm... males ninggalin rumah tepatnya.
H-1, Ikram mampir ke rumahku karena kebetulan dia baru dari Makassar. Dia sekalian ngajakin ke sekolah buat bayar uang buat buka bareng. Ya Allah, well, Ikram memang bilang kalo rambutnya gondrong dan sebelum aku ngeliat dia, aku udah bilang kalo pasti dia jelek dengan rambut gondrong. Dan... dia ke rumahku dengan rambut gondrongnya, kacamata yang kutau tidak berlensa minus, plus, maupun silinder, dan topi. Saat kubuka gordin pintu tengah yang menghubungkan bagian dalam rumah dan ruang tamu tempat Ikram, ibu, dan adikku duduk berbincang, aku refleks langsung menutup gordin dan masuk lagi.
“Ikram!! Rambut kamu!! Ya Allah!” aku dengan suara sedikit melengking dari balik gordin. Lalu aku menghampirinya di ruang tamu. Bah! Sebenarnya dia gak jelek kok, dengan rambut gondrongnya, hanya saja, aku udah bilang ke anak PHOENIX bahwa aku gak suka ngeliat temen-temen cowokku erambut gondrong. Aku lebih suka mereka cepak, keliatan lebih rapi, keliatan masih seperti waltu kami SMA. Tapi tenang aja, gondrong atau cepak, selama mereka masih menyimpan kenangan kami, kami bakalan terus bareng sebagai PHOENIX. ^^,
Kami berdua jalan kaki di hangatnya sore Kabupaten Maros. Awalnya pengen naik angkot, tapi naik angkot juga tetep harus jalan ke SMANSA, pengen naik becak, gak mungkin kami duduk di becak yang sama, so, amannya ya jalan aja.
Beberapa belas menit berlalu. Ikram sempet bilang, aku waktu SMA harusnya jalan aja ke sekolah, gak usah pake naik becak segala, jaraknya deket kok. Akhirnya kami nyaris tiba di SMANSA. Entah kenapa, mungkin karena mendadak jadi gak PD waktu aku bilang dia jelek dengan rambut gondrongnya, Ikram nanya ke aku, “Nila, kamu malu gak, jalan ma aku?”
“Ha? Kamu malu jalan sama aku?” sengaja kupancing dengan ngebalik pertanyaannya.
“Gak... gak... maksudnya, kamunya, malu gak jalan sama aku?”
“Jah! Ikram. Gak ada alasan buat aku malu jalan sama kamu. Kenapa sih, tiba-tiba ngomong gitu?”
“Gak sih. Maaf yah, penampilan aku kayak gini,” katanya sambil ngebenerin posisi topi di kepalanya.
“Ih, apa-apaan sih, kamu gak perlu minta maaf. Aku bilang gak suka kamu gondrong bukan karena kamu jelek sebenarnya, tapi karena keliatan gak rapih aja.”
“Iya, makanya maaf.”
“Kamu tuh, siapa suruh minta maaf mulu. Kamu bikin aku ngerasa bersalah tau! Jangan minta maaf lagi! Udah!”
Kami akhirnya menjejakkan kaki di halaman SMANSA Maros tercinta. Dari ruang guru, terlihat seorang perempuan, sepertinya salah satu guru kami, tapi aku gak terlalu jelas ngeliat itu siapa, dia melihat ke arah kami. Ibu itu menaruh tangan di atas alisnya, tetap mencoba melihat ke arah kami, tapi akhirnya dia berhenti dan berjalan menuju bagian belakang sekolah.
Tiba di ruang guru, kucari Ibu yang tadi. Ups, tenyata Bu Sri to? Aku dan Ikram salam-salaman sama Ibu. Dia bilang, kami berdua bercahaya banget sampe ibunya silau dan gak bisa ngeliat siapa yang lagi jalan. Aku ngebayangi kami ini kayak vampir Twilight yang bersinar cerah di bawah matahari. Haha... padahal matahari berada tepat di belakang kami, jadi kalo tadi Ibu ngeliat ke arah kami, matanya disilaukan oleh matahari sore.
Kami menuju Mushalla Ulul Albab, mushalla SMANSA Maros. Bangunan mushalla sekolahku ini, sangat menunjukkan bahwa kami membangun mushalla bukan sekedar ruangan sisa, seperti... haha. Ikram shalat Ashar, dan aku ngobrol dulu sama K’ Dharma.
Setelah keliling gak jelas di sekolah, aku dan Ikram jalan menuju ruangan deket koperasi OSIS, entah sekarang itu dijadikan kelas apa, tapi dulu itu kelas XI IS (Ilmu Sosial) 1. Di sana ada
Musda, kami anak PHOENIX alias XII IA 1 bayar buka bareng ke dia.
Prosesi bayar-bayaran udah selesai, aku dan Ikram pamit pulang. Wali, ketua panitia buka bareng, anak XII IA 2, salah satu temenku yang kuliah di Jakarta, nanya.
“Kalo mau ngehubungin kamu, ke nomor yang mana?” tanya Wali ke aku.“Aku gak ganti nomor kok.”
“Iya, tapi nomor kamu berapa?”
“Kamu gak tau nomor aku?” sepintas kupikir HP sempet hilang atau apalah. Soalnya kemarin
kita keep contact kok. Ternyata dia mau ngarahin pertanyaannya ke, “HP kamu di mana?” Dan God, aku udah beneran hampir balik, tapi lupa kalo HP ku tadi kutinggal di bangku panjang depan ruang guru. Hehe... HP nya ada sama Musda. Alhamdulillah gak hilang. Ceroboh!
***
Pagi itu, Ikram ngajakin ke SMANSA bareng buat ikut persiapan buka bareng pas sorenya. Sekitar jam sembilanan rencananya kami bakalan berangkat. Setelah aku mandi dan siap-siap, tenyata Ikram batal ke rumahku. Katanya dia ke SMANSAnya abis Jumatan aja. Alasannya sih, takut di sekolah gak jelas bakal ngerjain apa. Kalo pun mau nyiapin kegiatan, takut bajunya kotor, trus harus shalat Jumat, gak mungkin dia balik ke rumahnya dulu dan kembali lagi ke sekolah. Aku bilang, gimana kalo dia bawa baju ganti aja. Tapi dia tetep gak mau, katanya takut bajunya lecek. Bah! Kalo gitu mah, udah gak ada jalan lagi kita pergi bareng. Aku gak mungkin nunggu dia sampe abis shalat Jumat, udah rapi-rapi gini.
Aku berangkat ke sekolah naik becak. Kamaren-kemaren sih, aku dianterin adek, tapi berangkat sepagi ini dia belom bangun. Hahagh.... Lagian, becak di sini gak semahal becak di Bandung, rata-rata ongkosnya cuman dua ribu rupiah. Dengan jarak yang sama di Bandung, aku harus bayar sekitar enam ribuan. Well, I love this part.
Tiba di sekolah, aku cuman ikut bersih-bersih ruangan dikit trus nyapu-nyapu lantai gitu. Setelah bersih-bersih, aku cuci tangan di keran depan kelasku dulu, XII IA 1, PHOENIX. Di depan terasnya, masih ada nama PHOENIX yang ditulis di atas semen beberapa tahun yang lalu. PHOENIX merupakan sebagian—hampir semua—kebahagiaanku masa SMA.
Ternyata, ujung-ujungnya makanan buat ta’jilnya diracik di rumahku. Alasannya, mereka kan, baru belanja, dan rumahku deket pasar, jadi katanya dibikannya di rumahku aja. Bah! Aku udah rapi ke sekolah, ujung-ujungnya harus balik lagi buat bantu-bantu bikin es kelapa muda dan es buah.
Ta’jil selesai, anak-anak pada balik ke sekolah. Aku shalat Ashar dulu baru berangkat. Nyampe di sekolah, aku bantu-bantu anak konsumsi ngelap piring, setelah itu karirku kembali ke asalnya, menjadi anak acara. Aku minta rundown acara sama Ippank, lalu nanya-nanya apa siapa kira-kira tamu istimewa yang perlu disapa di awal acara. Aku bertindak sebagai MC acara ceremonialnya. Aku ingat jaman SMA, hampir setiap ada acara resmi, aku yang ditnjuk jadi MC nya. Sampe-sampe, MOC (Mathematic Open Championship) yang diadain MSc (Mathematic Society) SMANSA Maros, selama aku SMA, tiga tahun berturut-turut selalu aku yang nge-MC acara pembukaan dan penutupnya. Haha.... Entahlah, mungkin karena mereka tersugesti oleh Pak Syahrir yang saat pertama kali aku nge-MC formal di sekolah, langsung muji-muji, katanya aku MC terbaik yang pernah Beliau liat di sekolah ini. Makanya semua pada percayain tugas MC
ke aku. Haha... iya gak, c? gtw juga deh....
Jadi inget pas acara anak Paskib. Waktu itu ada penyambutan anak Paskib SMA 5 kalo gak salah, yang berkunjung ke sekolah kami. Sebenarnya waktu itu aku jadi kadiv konsumsi (pertama dan terakhir aku masuk kepanitiaan SMA, gak jadi anak acara), tapi aku “dipaksa” jadi MC sama pembina Paskib. Aku seneng sih, soalnya gak perlu berkutat ma konsumsi, dan jiwaku memang acara. Tapi waktu itu suaraku lagi agak serak, tapi entah... Ibunya kekeuh harus aku.
Waktu nge-MC, di backstage aku ada asisten, Nunu, ade bungsuku. Huhu... dia kuminta megangin pulpen, kertas-kertasku, dan kipas. Kalo turun panggung, kadang aku minta dikipasin, atau aku ngipas sendiri kalo cara dia gak terlalu bagus. ^^, lagakku udah kayak tuan putri.
oleh: NiLa Sartika AChmadi